Ahli Presiden Wahiduddin Adams menegaskan, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bukan lembaga superbody sebagaimana didalilkan dalam judicial review Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Semarak.co – Dia menyatakan, BAZNAS memang dibentuk undang-undang, tetapi kewenangan justru berada pada level yang lebih rendah, bahkan di bawah Peraturan Menteri. BAZNAS membuat ketentuan, dasar hukumnya merujuk pada Peraturan Menteri.
“Karena itu, tidak tepat jika BAZNAS disebut sebagai lembaga superbody,” ujar Wahiduddin Adams dalam sidang permohonan uji Materi di Mahkamah Konstitusi (MK), dirilis humas usai acara melalui WAGroup baznas Media Center (BMC) , Sabtu (31/5/2025).
Wahiduddin menjelaskan, fungsi BAZNAS bersifat terbatas, baik dari sisi daya ikat maupun cakupan materi. Peraturan tersebut disusun dalam rangka melaksanakan mandat dari peraturan yang lebih tinggi, seperti UU No. 23 Tahun 2011, PP No. 14 Tahun 2014, serta/atau Peraturan Menteri Agama terkait organisasi dan tata kerja BAZNAS.
“BAZNAS, termasuk BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota, dibina dan diawasi oleh Kementerian Agama. Artinya, BAZNAS tidak memiliki kekuasaan absolut. Bahkan kewenangannya dalam menjatuhkan sanksi pun sangat terbatas,” jelasnya.
Ia menyebut, bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan BAZNAS pun hanya berupa peringatan tertulis. Berdasarkan catatan yang ada, sanksi tersebut bahkan baru satu kali diberikan sejauh ini.
Ia menambahkan, kewenangan menjatuhkan sanksi administratif juga dimiliki Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Menag terkait organisasi BAZNAS. Hal ini memperkuat secara hukum, fungsi regulator, pengawas, maupun operator BAZNAS bersifat terbatas.
Wahidun menegaskan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 merupakan salah satu dari delapan undang-undang yang mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pandangan Wahiduddin, UU No. 23 Tahun 2011 (yang sebelumnya UU No. 38 Tahun 1999) tentang Pengelolaan Zakat. UU ini mengatur perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, dan pengawasan zakat. Saat itu muncul diskusi apakah UU ini mengatur fikih atau pengelolaan zakat. Disepakati bahwa UU ini bersifat administratif, bukan mengatur ibadah secara fikih
Wahiduddin mengatakan, beberapa tuntutan yang diajukan para pemohon dalam uji materi justru saling bertentangan dan tidak memberikan pilihan alternatif. Hal ini, menurutnya, dapat menyebabkan permohonan tidak memenuhi syarat formil.
“Fakta petitum (tuntutan) pengujian norma Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 90, dan Pasal 43 dalam UU No. 23 Tahun 2011 saling bertentangan satu sama lain dan tidak memberikan alternatif, menunjukkan permohonan tidak jelas atau kabur, sehingga harusnya dinyatakan tidak dapat diterima,” ucapnya. (hms/smr)