Oleh: Yons Achmad, Kolumnis, tinggal di Depok
semarak.co -Dimedia (Detik/12/2/20), Kepala BPIP, Yudian Wahyudi menyebut agama jadi musuh terbesar Pancasila. Sungguh pernyataan yang kontroversial. Tapi, kalau kita baca dengan jernih, dia sebenarnya ingin mengatakan Islam sebagai musuh terbesar Pancasila.
Arahnya jelas, disebut ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Pembuat Ijma ulama untuk menentukan calon wakil presiden tahun lalu adalah contoh yang dilontarkannya. Jelas, pernyataan serampangan demikian sangat disayangkan dari seorang “Kepala Pancasila”. Begitu juga, alih-alih mempersatukan, justru membuat kegaduhan.
Tapi, di era pemerintahan Jokowi ini, umat Islam sepertinya sudah terbiasa mendengar komentar-komentar pejabat semacam itu. Sudah terlalu sering narasi Islam dibenturkan dengan narasi Pancasila.
Padahal, keduanya selaras. Bahkan, kalau boleh jujur perspektif apa yang paling memungkinkan ketika Pancasila ingin ditafsirkan? Ya Islam. Kenapa? Karena sebenarnya Pancasila itu inspirasi terbesarnya adalah dari Islam.
Bagaimana mungkin dalam hal ini agama dikesampingkan, bagaimana mungkin Islam bakal disingkirkan? Jadi, akrobat konyol dan menggelikan demikian tak pantas dipertontonkan oleh pejabat negara.
Alih-alih menyalahkan agama, dalam hal ini Islam sekaligus kelompok Islam, sebenarnya, justru yang perlu dilakukan adalah bagaimana Pancasila ditafsirkan dan dijalankan oleh penyelenggara negara.
Dengan keteladanan yang baik, saya kira ini usaha yang urgen untuk dilakukan. Kenapa hal ini perlu dilakukan? Karena Era sekarang, Pancasila sekadar “Lip Service” semata. Menjadi Pancasilais direduksi sekadar mengatakan “Pancasila Harga Mati”. Implementasinya? Nol.
Jauh hari, Prof. Kuntowijoyo (almarhum), salah satu pemikir Islam, aktivis Muhammadiyah, memberikan “wejangan” bagaimana mengukur implementasi Pancasila. Apakah sudah berjalan dan dilaksanakan dengan baik atau belum.
Setidaknya, ada tiga kriteria bagaimana Pancasila benar-benar diimplementasikan. Diantaranya adalah konsistensi, koherensi dan korespondensi.
Jeffrrie Geovani (2013) dalam buku “Civil Religion” memberikan penjelasan yang cukup baik. Konsistensi, berasal dari bahasa Latin “Consistere” berarti “Sesuai, “Harmoni,” atau “Hubungan Logis”.
Sila-sila dalam Pancasila harus mempunyai hubungan terpadu dengan semua dokumen konstitusi seperti UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (baik pusat maupun daerah) dan titah para pejabat.
Koherensi, berasal dari bahasa Latin “Cohaerere” berarti “lekat satu dengan lainnya”. Antara sila satu dengan yang lainnya harus terkait, tidak boleh terlepas. Menerapkan sila Ketuhanan misalnya, harus lekat dengan sila Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan dan Keadilan.
Sedangkan, Korespondensi yang berasal dari bahsa Latin “Co” yang artinya “Bersama” dan “respondere” yang berarti “Menjawab”. Korespondensi berarti kesamaan antara teori dan praktik, antara yang diucapkan dengan yang diterapkan.
Kalau melihat parameter itu, sungguh sangat gamblang. Daripada sekadar menyalahkan agama dan beragam cara orang menafsirkan agama, maka lebih baik adalah mendorong para pejabat, khususnya pemimpin negeri ini, apakah sudah melaksanakan Pancasila dengan baik atau belum?
Mulai dari Presiden Jokowi, apakah sudah konsisten menjalankan Pancasila, apakah sudah ada koherensi, apakah sudah ada kesamaan antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan? Ini lebih prioritas Pak “Kepala Pancasila”.
Bukan malah menuduh agama (Islam) sebagai musuh Pancasila. Kalau sekadar pernyataan demikian, sekelas Abu Janda dan Denny Siregar juga bisa. ***
sumber: WA Group Jurnalis Kemenag