Oleh Agus Wahid *)
Semarak.co – Jutaan kubik air mengguyur beberapa daerah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Bagai “barikade udara” yang kompak. Pengguyurannya pun bukan hanya wilayah pemukiman dan kawasan industri. Tapi, wilayah kehutanan dan perkebunan pun menjadi sasaran “agresi” air.
Demikian massif dan ekstensif. Di sisi lain, angin beliung pun bersatu-padu: “menyerbu” di antara ketiga provinsi itu. Sungguh merupakan agresi besar-besaran, yang membikin kawasan kehutanan dan perkebunan, serta pemukiman dan penduduknya “takluk total”. Luluh-lantah.
Kita saksikan, kawasan hutan dan perkebunan tak mampu menyerap debit air yang berjuta kubik dalam masa bersamaan. Akibatnya, tanah-tanah berlongsoran. Gelombang air pun langsung mencari “hak” untuk “bersemayam” ke daerah yang lebih rendah permukaannya.
Maka, bukan hanya banjir yang menggenang, tapi air deras yang benar-benar menyerbu pemukiman. Hancur lebur sarana dan prasarana, termasuk penghuninya. Menelan korban demikian besar jumlahnya. Menurut data BNBP per hari ini, jumlah korban di Aceh mencapai 51 orang (meninggal), 47 orang hilang dan 8 orang luka-luka berat.
Di Sumatera Utara, jumlah korbannya 34 orang (meninggal), 32 orang (hilang), 11 orang luka-luka berat dan sebanyak 1.168 orang sebagai pengungsi. Dan di Suamtera Barat, terdapat 129 orang meninggal, 118 orang hilang dan 16 orang luka berat.
Perlu kita catat, bencana alam itu sungguh dahsyat. Memilukan bagi setiap insan yang menyaksikan, meski melalui media sosial. Tentu, merupakan penderitaan berat bagi korban. Juga, merupakan pukulan hebat bagi para keluarganya di manapun berada.
Maka, hanya satu kata yang perlu kita sampaikan: ikut berbela sungkawa sedalam-dalamnya atas musibah yang demikian dahsyat itu. Empati itu sudah semestinya ditunjukkan. Namun, tak boleh terhenti. Sebagai manusia normal dan mampu berfikir sehat, harus mencari causa primanya.
Di satu sisi, saat ini Indonesia memang sedang menghadapi La Nina dengan indeks Nino 3.4 dan Southern Oscillation Index (SOI) sebesar +15,5. La Nina memang mengakibatkan curah hujan tinggi. Karena itu, hujan deras memang bisa dinilai sebagai faktor determinan dari bencana itu.
Namun, causa prima itu perlu ditelisik lebih jauh. Karena, di sisi lain, terdapat gerakan massif pembalakan hutan untuk kepentingan industri penambangan. Juga, proyek deforestrasi: dari hutan lindung menjadi perkebunan sawit.
Jadi, anasir pembalakan dan deforestrasi tak bisa lepas dari analisis sebagai faktor hebatnya bencana alam di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Perlu kita catat, pembalakan hutan ataupun deforestrasi berdampak pada berkurangnya pepohonan menyerap debit air dalam jumlah besar.
Juga, tiadanya akar-akar yang merekatkan unsur molekul tahan. Keduanya berdampak pada tiadanya penahan angin yang sigjifikan. Juga, terjadinya banjir dan longsor tanah yang demikian besar. Pembalakan hutan dan atau deforestrasi bukanlah isapan jempol.
Sebuah data yang sulit disanggah, ketika jutaan kubik air membanjiri, juga diiringi kayu-kayu gelondongan. Pohon-pohon yang tertebang tanpa akar, di samping pohon-pohon yang bertumbangan akibat terpaan angin beliung. Entah berapa ribu kubik kayu-kayu yang kini singgah di pantai.
Bagai laut kayu. Permukaan laut terhampar luas kekayuan. Kini, kita perlu menzoom seberapa luas besar pembalakan hutan dan atau deforestrasi di ketiga provinsi itu. Menurut catatan Global Forest Watch, di Aceh, terjadi kehilangan 10.610 ha pada tahun 2024.
Angka ini meningkat 19% dari tahun sebelumnya yang tercatat 8.906 ha. Sumatera Utara terjadi penggundulan hutan seluas seluas 646,08 ha pada 2024. Angka tertinggi di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat bervariasi. Pada periode 2011-2021 mencapai 139.590 ha.
Pada 2022, terjadi deforestrasi 27.447 ha. Dan pada 2024 seluas 6.634,2 ha. Kita perlu mencatat, andai deforestrasi mengarah ke perkebunan sawit, relatif masih ada toleransi, at least dari sisi produsen oksigen. Namun, keberadaannya tidak menjaga ekosistem.
Terutama dari sisi penyerapan air dan terpaan angin dibanding hutan lindung. Yang lebih parah adalah deforestrasinya justru untuk kepentingan pertambangan, yang praktis menghilangkan potensi penyerapan air dan penahan angin.
Sejalan dengan dampaknya demikian dahsyat, maka saat ini terdapat urgensi kuat bagi negara untuk mengejar siapapun yang melakukan deforestrasi, apalagi kegiatan penambangan. Menurut catatan Walhi, terdapat penambangan ilegal di Aceh seluas 6.805 ha (2023), 8.107 ha (2024).
Rinciannya: Aceh Barat 4.223 ha, Nagan Raya 2.505 ha, Pidie 800 ha, Aceh Jaya 443 ha. Aceh Tengah 97 ha, Aceh Selatan 31 ha dan Aceh Besar 5 ha. Mengutip data WALHI 2018, di Sumatera Barat terdapat luas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara aktif seluas sekitar 17.959,59 ha yang berada di dalam kawasan hutan.
Selain itu, terdapat 200 Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) minerba aktif yang merupakan bagian dari total 1.907 WIUP di seluruh Sumatera, dengan total luas keseluruhan mencapai 2.458.469,09 ha. Yang lebih mencengangkan adalah Tapanuli Selatan. Di sini terdapat perusahaan-perusahaan tambang besar.
Sebagai contoh, PT Aincourt Resources. Perusahaan ini merupakan pertambangan emas terbesar di Sumatera Utara. Luas area konsesi pertambangan PT Agincourt Resources adalah 130.252 ha atau 1.303 km², yang mencakup Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Sementara itu, area operasional tambangnya di Tapanuli Selatan seluas 646,08 hektar per Desember 2024. Mencermati data penggunaan areal kehutanan, terutama wilayah Sumatera Utara itu, menimbulkan tanda tanya besar, mungkinkah swasta Pribumi mendapatkan konsensi pertambangan seluas itu?
Jika Pribumi selaku rakyat biasa sangatlah kecil kemungkinannya. Maka, terdapat dua kemungkinan. Pertama, memang seorang Pribumi, tapi ia pejabat tinggi negara. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, apapun ia bisa terabas seluruh rintangan. Dan hal ini terjadi karena “lisensi” orang nomor satu di negeri ini.
Jika kita menelisik processing of timenya, maka publik bisa membaca sosok yang kita kenal dengan Menteri Segala Urusan. Sekaligus, bisa menebak siapa di baliknya. Siapa lagi kalau bukan “Raja Jawa”.
Sang Menteri Segala Urusan – bisa saja – mandiri, karena mamang sudah menjadi triliuner. Bisa juga berkolaborasi dengan menantu “Raja Jawa” itu. Bisa juga dengan komprador dari etnis setianya: China, sebagai oligarki dalam negeri, atau overseas of China.
Urgensi Tindakan Negara
Kini, negara menyaksikan dengan mata telanjang. Tidak hanya ratusan orang telah menjadi korban keganasan reakasi alam, tapi penderitaan anak bangsa yang sungguh tersayat. Meski belum ditaksasi, kita perlu mencatat perkiraan kerugiaan materiil, yang bisa jadi mencapai angka trilunan rupiah. Belum kerugian imateriil.
Maka, sudah seharusnya negara menunjukkan empati. Sifatnya bukan sebatas represif, termasuk proyek konservasi nasional dalam kaitan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan bahkan perkantoran sebagai pusat layanan publik.
Tapi, sebuah tindakan negara terhadap para bandit yang telah memperkosa lingkungan yang demikian luas. Maka, negara harus mengejar sekaligus meminta pertanggugjawaban para bandit itu, termasuk penguasa yang telah memberikan lisensi konsesi itu. Harus muncul tekad yang membara.
Pertama, tindakan tegasnya atas dasar dampak penyalahgunaan lingkungan yang sesungguhnya merupakan kebiadabannya. Arahnya – pertama – perangkengan semua elemen yang terlibat dalam pemerkosaan lingkungan.
Kedua, melakukan reformasi total kebijakan lingkungan, terkait kehutanan ataupun pertambangan. Untuk mencegah keterulangan tragedi bencana yang sangat memilukan.
Memang – seperti pengakuan Zulkifli Hasan saat diwawancarai aktor Hollywood, Harrison Ford yang disiarkan oleh Kompas melalui channel Youtube – bahwa kerusakan lingkungan jauh sebelum tahun 2025 ini.
Sekitar 12 tahun lalu, kerusakan hutan itu sudah terjadi serius. Dan itu akibat komplotan politik dan pebisnis. Tapi, sebesar 80%, komplotan semakin intens terjadi sejak sepuluh tahun terakhir. Inilah data riil persekongkolan politik (penguasa) dan pebisnis sebagai konsekuensi balas budi menuju istana.
Apapun argumentasinya, sebagai bukti nyata pro rakyat, Prabowo harus terpanggil untuk membenahi kehancuran lingkungan yang super dahsyat itu, sembari – secara bersamaan – mendera seluruh pengkhianat sebagai aktor yang terlibat dalam penghancuran lingkungan dan elemen bangsa ini.
Memang, perlu waktu. Tapi, political will dan hukum harus terlihat jelas. Agar, rakyat tetap terjaga trustnya kepada rezim saat ini. Dalam hal ini Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa bisa menjadi pemback up untuk misi recovery pembangunan daerah yang jauh dari aji mumpung (korupsi).
Terkontrol dan terukur. Misi besarnya juga untuk kepentingan Indonesia ke depan yang tidak teramuk lagi oleh kekuatan alam. Demi aktualisasi misi kemanusiaan dan lingkungan yang tetap harmonis.
Itulah pesan Allah kepada seluruh “wakilnya” di muka bumi. “Allah tidak suka terhadap pembuat kerusakan” (Q.S. al-`Araf: 56). Maka, peliharalah, bukan eksploitase tanpa batas (taghut).
Jakarta, 1 Desember 2025
*) Analis politik dan pembangunan
Sumber: WAGroup PRAMARIN (postSenin1/12/2025/aguswahid)




