Sajian dalam film “Die My Love” (mungkin) bukan untuk semua orang, terutama bagi mereka yang berharap akan cinta dan harapan hidup yang indah setelah berkeluarga, kendati masih hadir di dunia (Kimberley French via IMDb).
Semarak.co – Kalut dan campur aduk antara halusinasi dengan kenyataan yang dialami seorang ibu dengan depresi pascapersalinan alias postpartum depression, jadi gambaran yang ditampilkan secara gamblang oleh Lynne Ramsay dalam “Die My Love”.
Film yang diangkat dari novel bertajuk sama karya Ariana Harwicz dengan naskah yang ditulis Lyne Ramsay bersama Walsh dengan Alice Birch, ini menampilkan hal nan intens, gelap, dan penuh dengan rasa tidak nyaman.
Ini adalah film tentang perjuangan seorang ibu yang dibelit depresi setelah melahirkan. Mungkin memang itulah tujuan Ramsay, membawa penonton ke dalam isi kepala seorang perempuan bernama Grace yang rapuh, tidak stabil, dan penuh ketidaknyamanan.
Peran yang dalam hal ini dimainkan dengan baik oleh aktris Jennifer Lawrence. Ia berhasil menyalurkan kebingungan, kemarahan, rasa haus akan kasih sayang, hingga dorongan-dorongan destruktif lewat keberanian akting luar biasa.
“Rasa bingung, lelah, dan dihantui bias nyata dan imajinasi itu bahkan sukses keluar dari layar dan dirasakan oleh saya,” ujar Kim menggambarkan bagaimana seorang perempuan mengalami depresi postpartum, yang seringkali disalahpahami dalam dunia nyata, memang patut diapresiasi.
Namun, sayangnya, drama dari latar belakang Grace dan perkembangan karakter-karakter dalam film ini, terutama situasi dan kondisi yang dialami di sekitar Grace, banyak mencuri fokus dari tujuan awal Ramsay tersebut dibuat.
Dengan problematika hidup yang ternyata sudah dimiliki Grace sebelum menghadapi disfungsi mental pascamelahirkan, seolah menjadi justifikasi problematikanya seorang perempuan. Film ini banyak menggambarkan adegan gila dari Grace yang berperilaku secara impulsif.
Ia dipotret seperti binatang liar yang bebas dalam rumahnya sendiri, merayap, marah, dan kehilangan kendali. Sementara Robert Pattinson sebagai Jackson, menampilkan dirinya suami yang terlihat tertekan akibat kondisi istrinya.
Padahal, Jackson punya andil atas situasi kekacauan yang terjadi pada Grace, bukan hanya sekadar korban keadaan. Ketimpangan andil ini yang kemudian menggambarkan “Die My Love” seolah terasa semakin menempatkan posisi Grace sebagai pihak yang bermasalah.
“Selain masalah ketimpangan dan perkembangan cerita yang membuat resah, sejumlah hal dalam cerita ini seolah tak masuk logika saya,” cetus Kimberly. “Seperti mereka yang hidup seolah di era sebelum listrik ditemukan.”
Padahal, lanjut Kim seperti dilansir cnnindonesia.com pada 18/11-2025, mereka juga menggunakan peralatan rumah tangga elektronik. Detail kecil tersebut cukup mengganggu karena memecah realisme yang dibangun oleh film.
Alih-alih menjadi makna atau semacam metafora, hal ini malah terasa sebagai teknis film yang lepas dari kendali. Ketimpangan andil ini yang kemudian menggambarkan “Die My Love” seolah terasa kian menempatkan posisi Grace sebagai perempuan.
Sebagai pihak yang bermasalah dalam kekacauan hubungannya dengan pasangannya (Kimberley French via IMDb), mungkin Ramsay ingin menggambarkan bagaimana suram dan gelapnya hidup Grace serta hubungannya dengan Jackson.
Namun, melihat seberapa banyak scene demi scene dalam gelap di film “Die My Love” ini, rasanya hal itu menjadi sebuah kekonyolan nyata yang membingungkan banyak penonton, alih-alih menyampaikan emosi karakter.
“Belum lagi alur cerita yang bagi saya melompat-lompat mengikuti pola pikir Grace yang tidak linear. Sejumlah adegan juga tampak bertele-tele seolah dibuat cuma untuk memperpanjang durasi,” celetuk Kim.
Bila memang Ramsay ingin membuat penonton ikut lelah dalam menyaksikan film ini, maka itu memang tercapai. Mungkin memang “Die My Love” bukan untuk semua orang, terutama bagi mereka yang berharap akan cinta dan harapan hidup yang indah setelah berkeluarga. (net/cni/kim/smr)





