Oleh Rosadi Jamani *)
Semarak.co – Ssst…ini soal polisi. Serius, dan siapkan Koptagul. Lo, mau tak mau ditersangka-kan? Makanya simak dengan serius narasi ini, wak! Ada lelucon baru di republik ini. Ketika Komisi Reformasi Kepolisian baru mulai rapat perdana, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah lebih dulu merombak setengah tubuh Polri, tanpa rapat, tanpa renstra, tanpa rengek.
Ya, pada 13 November 2025, MK menjelma jadi tukang cukur kelembagaan, memangkas habis rambut-rambut liar kekuasaan seragam yang tumbuh di ranah sipil. Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 lahir bak petir di tengah seminar birokrasi yang penuh kata “sinergi”, “kolaborasi”, dan “koordinasi”, tapi jarang punya hasil.
MK menegaskan, polisi aktif tidak boleh lagi menjabat di jabatan sipil.
Mau jadi Ketua KPK? Pensiun dulu.
Mau duduk manis di BNN, BSSN, atau Sekjen KKP? Silakan, asal lepas seragam dulu.
Frasa “penugasan Kapolri” yang selama ini jadi karpet merah menuju kursi empuk, resmi disapu bersih dari penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian. Begitu palu diketok, negeri ini seolah tersadar, kata “sipil” bukan akronim dari “si polisi ilegal lintas bidang.”
MK, dengan gaya lembut tapi maut, menegur satu generasi birokrasi yang selama ini “nyaman” dalam area abu-abu antara konstitusi dan peraturan Kapolri. Ajaibnya, mereka melakukannya sebelum Komisi Reformasi Polri sempat memesan spanduk rapat pertamanya.
Sementara itu, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian bentukan Presiden Prabowo baru saja terbentuk enam hari sebelumnya, pada 7 November 2025. Dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, sang maestro hukum tata negara, komisi ini terdiri dari sepuluh tokoh, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dua tim reformasi pun lahir, satu tim internal Polri, satu komisi independen. Jimly berkata, “Kami bersinergi, bukan tumpang tindih.” Tapi setelah putusan MK, publik mulai bertanya, Sinergi yang mana, kalau MK sudah mencukur duluan?
Hakim MK, Saldi Isra langsung menembakkan peluru logika. Dalil “resiprokal” pemerintah untuk membenarkan rangkap jabatan dinilai ngawur. “Resiprokal itu untuk hubungan antarnegara,” katanya, “bukan antarpos jabatan di republik yang lupa batas.”
Sedangkan Ketua MK Suhartoyo menolak dalih “aturan internal Polri” sebagai tameng hukum. Ia menegaskan, konstitusi tidak bisa dikalahkan oleh memo internal institusi. Jangan lupakan tokoh penting di balik gugatan ini, Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, dua warga negara yang, entah karena idealisme atau lelah melihat wajah seragam di semua pos, berani mengetuk pintu MK.
Kini, berkat mereka, konsep netralitas ASN hidup kembali dari kubur. Di sisi lain, Komisi Jimly terus melanjutkan rapat mingguan setiap Kamis, membahas peta jalan reformasi Polri. Namun publik tahu, MK sudah memberi pelajaran pembuka, reformasi bukan dimulai dari rapat, tapi dari keberanian membedah yang tabu.
Kalau mau jujur, keputusan MK ini bukan hanya soal jabatan. Ini semacam eksorsisme konstitusional, mengusir roh-roh militeristik dari tubuh birokrasi sipil. Di negara yang gemar mencampur semua hal, politik dengan dakwah, hukum dengan gengsi, putusan MK adalah momen langka ketika garis batas kembali digambar.
So, sebelum Komisi Jimly sempat menulis laporan awal, MK sudah menulis bab pertama reformasi dengan tinta final dan mengikat. Ironis, tapi indah. Reformasi polisi dimulai bukan oleh polisi, melainkan oleh sembilan hakim berseragam toga.
Siapa tahu, dari sinilah republik ini belajar satu hal sederhana, kadang yang paling cepat bekerja bukanlah komisi yang baru dibentuk, tapi konstitusi yang akhirnya teringat fungsinya.
Polisi aktif tak lagi beraksi di kursi sipil,
MK mengetuk palu, seragam pun menepi,
Komisi reformasi baru belajar menulis profil,
Tapi MK sudah duluan mereformasi negeri.
Foto Ai hanya ilustrasi
“Wah, Ketua KPK bakal diganti ya, Bang. Padahal lagi garap Whoosh.”
“Konsekuensi putusan MK sepertinya gitu, wak. Tapi, lihat aja nanti. Kita tetap ngopi tanpa gula.” Ups!
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar
Sumber: WAGroup WA-rung IKBA (postKamis13/11/2025/mhdngudianto)





