Nilai tukar Rupiah diprediksi akan berangsur pulih di semester II tahun ini. Dolar AS diyakini akan kembali di bawah level Rp 14 ribu. Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri, Anton H Gunawan nilai tukar rupiah sudah under value. Sehingga dia yakin rupiah dapat kembali pulih.
“Rupiah sebenarnya sudah sangat under value, hanya saja secara umum kami perkirakan akhir tahun bisa menguat lagi ke bawah Rp 14 ribu. Saya memprediksi nilai tukar rupiah bisa kembali lagi ke level Rp 13.800 di akhir tahun ini. Itu bisa terjadi jika tidak ada kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia. Tentu kami yakin tidak akan sampai ke Rp 15.000 kecuali ada kejadian luar biasa, misalnya kerusuhan dan itu kecil sekali kemungkinannya. Akhir tahun kami yakin Rp 13.800,” tutur Anton paparan dalam acara Macroeconomics Outlook Mandiri Group di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis (17/5).
Pelemahan rupiah sendiri menurut Anton terjadi lantaran diterpa sentimen negatif rencana kenaikan suku bunga acuan AS oleh The Fed. Tahun ini diperkirakan The Fed akan 3 kali menaikkan suku bunganya. Sentimen itu menerpa hampir seluruh negara berkembang termasuk Indonesia.
Namun Anton menegaskan, kondisi Indonesia tidak separah negara bekembang lainnya seperti negara Amerika Latin, Turki ataupun Filipina. Defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) juga masih dalam batas aman yakni 2,15%.
Untuk mengantisipasi itu Tim Ekonom Bank Mandiri yakin Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuannya BI 7 days repo rate 25 bps menjadi 4,50%. BI juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan di kuartal berikutnya dengan jumlah yang sama menjadi 4,75%.
Harga minyak mentah dunia yang cenderung meningkat perlu menjadi perhatian. Kenaikan ini berpotensi meningkatkan ekspektasi inflasi Indonesia, terutama dari sisi harga yang diatur pemerintah (administered prices).
“Adapun inflasi tahun ini, kami memperkirakan mencapai 4%, lebih tinggi dari target dalam APBN sebesar 3,5%. Angka yang diproyeksi Bank Mandiri itu belum memasukkan perhitungan inflasi jika ada perubahan administered prices melalui kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),” imbuhnya.
Saat ini, kata dia, inflasi Indonesia cenderung rendah. Di April 2018, inflasi tercatat 3,4% year on year (YoY). Tak hanya itu, inflasi inti juga masih sangat rendah, yaitu mencapai 2,69% YoY di April 2018. “Inflasi pelan-pelan naik, itu masih relatif oke. Cuma memang ekspektasi inflasi setahun ke depan kita naikkan ke arah 4%,” kata Anton.
Peningkatan harga minyak mentah dunia perlu diwaspadai karena beban akan meningkat. Walaupun saat ini beban tersebut belum dimunculkan dalam bentuk subsidi sejalan dengan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM hingga 2019 mendatang.
“Karena melihat situasi mungkin kenaikannya setelah Pemilu nanti dan itu mau tidak mau karena harga minyak mentah dunia yang masih bertengger cukup tinggi,” tambahnya. Saat ini harga minyak mentah dunia mencapai US$ 77 per barel, sementara asumsi ICP dalam APBN sebesar US$ 48 per barel.
“Dampak harga minyak ini mungkin jadi bagian yang penting untuk ditelusuri terus dan bagi investor penting untuk melihat bagaimana kebijakan suku bunganya nanti. Apakah justifiable untuk suku bunga yang sekarang,” tuntasnya. (lin)