Oleh Hendra J Kede, S.T., S.H., M.H., GRCE *)
Semarak.co – Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa siang menjelang sore, 16 September 2025, melalui media massa mengumumkan keputusan yang cukup membuat saya terbelalak: KPU mencabut Surat Keputusan Nomor: 731 Tahun 2025 yang berisi penetapan 16 informasi.
Yang dalam penguasaan KPU sebagai Informasi Yang Dikecualikan (baca: rahasia) berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Padahal usia keputusan tersebut belum genap sebulan.
Pada Selasa pagi menjelang siang saya menurunkan tulisan di Kumparan.com terkait penetapan dengan judul: Ketika KPU Rahasiakan Informasi Ijazah Presiden-Wapres. Pada tulisan tersebut saya memberi gambaran bahwa KPU sebagai Badan Publik (BP) menurut UU KIP memiliki kewenangan penuh dan legal untuk menetapkan semua informasi yang berada dalam penguasaannya.
Apakah ditetapkan sebagai Informasi Yang Dikecualikan (IYD) atau Informasi Publik (baca: informasi terbuka dan dapat diakses publik).
Sepanjang penetapan melalui Surat Keputusan Ketua KPU tersebut dilakukan setelah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Komisi Pemilihan Umum (PPID KPU) melakukan proses Uji Konsekuensi dan membuat Berita Acara hasil Uji Konsekuensi yang ditandatangani peserta Uji Konsekuensi, maka keputusan tersebut mengikat secara hukum.
Publik bisa saja tidak sepakat dengan keputusan itu. Maka oleh alasan itulah, UU KIP dan peraturan turunannya telah memberi jalur legal dan sah untuk publik menyatakan ketidaksepakatannya dan memperjuangkan agar sebuah IYD menjadi Informasi Publik, yaitu melalui jalur Sengketa Informasi ke Komisi Informasi Pusat (KI Pusat).
Namun KPU nampaknya memilih jalur yang mengundang perdebatan yang membuat saya terbelalak tadi dan memunculkan sebuah pertanyaan pada saya: apakah KPU berwenang mengubah status sebuah informasi yang sebelumnya merupakan IYD menjadi Informasi Publik di luar masa retensinya?
Bukankah SK KPU Nomor 731 Tahun 2025 yang ditandatangani tanggal 21 Agustus 2025 menetapkan masa retensi IYD tersebut selama 5 (lima) tahun sehingga baru berakhir 21 Agustus 2030?
Perdebatan ini tentu juga tentang potensi pelanggaran hukum dan risiko hukum yang akan dihadapi KPU, baik perdata, pidana, maupun administratif. Baik risiko hukum bagi pejabat terkait maupun bagi kelembagaan KPU.
Belum lagi jika menggunakan perspektif Governance (Tata Kelola), Risk (Manajemen Risiko), and Compliance (Kepatuhan Hukum) atau GRC, berapa banyak risiko yang perlu dikelola oleh KPU akibat keputusan ini. Risiko reputasi jelas sudah mengintai dan mendekat.
Sebab, pengklasifikasian sebuah informasi masuk sebagai IYD atau masuk sebagai Informasi Publik bukanlah kewenangan pimpinan KPU, namun merupakan kewenangan mutlak dan independen PPID KPU melalui mekanisme yang wajib dilalui yaitu mekanisme Uji Konsekuensi.
Kewenangan pimpinan KPU hanya pada wilayah pengesahan secara administratif saja. Bahkan bukan hanya kewenangan namun kewajiban hukum. Tidak ubahnya sebagaimana kewenangan dan kewajiban hukum Presiden secara administratif menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengesahan Anggota DPR dan Anggota DPD terpilih. Tidak lebih dari itu.
Walaupun Presiden yang menerbitkan Keputusan Presiden tentang pengesahan Anggota DPR dan Anggota DPD, bukankah Presiden tidak memiliki kewenangan sendiri sebagai kewenangan prerogatif untuk mencabut Keputusan Presiden tersebut?
Presiden hanya bisa mencabut Keputusan Presiden tersebut kalau seluruh mekanisme pemberhentian seorang Anggota DPR dan Anggota DPD sudah dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku oleh yang berwenang memprosesnya di luar Presiden?
Maka pertanyaannya adalah kapan PPID KPU menyelenggarakan forum Uji Konsekuensi untuk mengubah status informasi ijazah Presiden-Wapres dari sebelumnya berstatus sebagai IYD per tanggal 21 Agustus 2025 melalui SK Ketua KPU Nomor 731 Tahun 2025 menjadi Informasi Publik yang bersifat terbuka sebagaimana diumumkan Ketua KPU Selasa siang menjelang sore tanggal 16 September 2025?
Siapa saja peserta yang mengikuti forum Uji Konsekuensi tersebut? Nomor berapa Berita Acara Uji Konsekuensinya? Apa isi Berita Acara tersebut? Siapa ahli dalam proses Uji Konsekuensi tersebut yang berpendapat bahwa informasi ijazah Presiden-Wapres sebagai IYD perlu diubah sebelum masa retensinya berakhir, bahkan belum sebulan semenjak ditetapkan? Alasan ahli itu apa?
Jika PPID KPU belum melakukan Uji Konsekuensi untuk mengubah itu, bukankah pimpinan KPU sudah melakukan intervensi terhadap PPID KPU yang seharusnya mandiri dan bebas dari intervensi siapa pun dalam penetapan status sebuah informasi sebagai IYD atau Informasi Publik?
Bagaimana KPU akan menjelaskan penegakan asas hukum ultra vires dalam kasus ini, bahwa pejabat tidak boleh bertindak di luar kewenangannya? Jika tidak ada bukti Berita Acara Uji Konsekuensi, maka bukankah SK pencabutan bisa dinilai cacat prosedur sehingga berpotensi memiliki implikasi hukum dan sekaligus sebagai bom waktu yang sangat serius ke depan?
Bukankah jika KPU mengabaikan prosedur formal, bukan hanya ada implikasi pidana dan perdata, tapi berpotensi memiliki implikasi etik bagi komisioner KPU karena patut diduga melanggar prinsip good governance dan asas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil?
Namun penekanan tulisan ini bukan ke arah sana. Penekanan tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan: bagaimana konsekuensi setelah KPU mencabut SK 731 Tahun 2025 tersebut terhadap status informasi ijazah Presiden-Wapres?
Respons Badan Publik atas Permintaan Informasi Publik
Jika ada permintaan informasi oleh publik kepada Badan Publik (dalam hal ini KPU) melalui PPID maka respon Badan Publik ada 3 kemungkinan.
Pertama. Memberikan informasi yang diminta karena informasi tersebut sudah diklasifikasikan sebagai Informasi Publik.
Kedua. Menolak memberikan informasi yang diminta karena informasi yang diminta sudah ditetapkan sebagai IYD.
Ketiga. Tidak memberikan karena informasi yang diminta dipandang berpotensi sebagai IYD walaupun belum ditetapkan. Pada kasus ini, bisa berujung pada Sengketa Informasi untuk diselesaikan melalui mekanisme Mediasi dan atau Ajudikasi di Komisi Informasi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau Mahkamah Agung (MA).
Jika ada permintaan informasi ijazah Presiden-Wapres kepada PPID KPU setelah tanggal dicabutnya SK KPU Nomor 731 Tahun 2025, langkah mana yang wajib ditempuh PPID KPU? Dan apa implikasi hukumnya bagi PPID KPU jika tidak menjalankan langkah tersebut?
Apakah masih ada peluang KPU boleh tidak memenuhi permintaan tersebut dengan alasan agar diselesaikan melalui mekanisme Sengketa Informasi ke KI Pusat dengan motivasi mengulur waktu misalnya?
Pengklasifikasian Informasi dan Implikasi Hukumnya
Sesuai UU KIP maupun Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP), informasi yang dalam penguasaan Badan Publik (termasuk KPU) diklasifikasikan kedalam 4 (empat) klasifikasi.
Klasifikasi Pertama. Informasi Berkala, yaitu informasi yang wajib disampaikan Badan Publik kepada publik secara berkala, tiap 6 (bulan) misalanya. Informasi jenis ini masuk kategori Informasi Publik (baca: informasi terbuka dan dapat diakses publik);
Klasifikasi Kedua. Informasi Serta Merta, yaitu informasi yang begitu diketahui oleh Badan Publik maka pada kesempatan pertama harus segera dipublikasikan. Seperti informasi potensi tsunami yang didapat BMKG pasca adanya gempa bumi. Ini juga masuk kategori Informasi Publik.
Klasifikasi Ketiga. Informasi Tersedia Setiap Saat, yaitu informasi yang tersimpan dalam file Badan Publik, tidak dipublikasikan, namun jika ada publik yang meminta wajib diberikan langsung. Informasi ini juga merupakan Informasi Publik.
Tidak memenuhi hak publik atas ketiga informasi diatas akan memiliki implikasi pidana dan perdata terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja menghalangi publik untuk mendapatkannya, khususnya pejabat dan petugas PPID Badan Publik.
Klasifikasi Keempat. Informasi Yang Dikecualikan (IYD), yaitu informasi yang jika diberikan kepada publik akan merugikan publik itu, baik langsung atau tidak langsung, baik karena memang sudah ditentukan secara tegas oleh Undang-Undang yang berlaku maupun karena hasil Uji Konsekuensi atas dampak negatif pembukaan informasi dimaksud kepada publik.
Berbeda dengan informasi klasifikasi pertama, kedua, dan ketiga, membuka Informasi klasifikasi keempat ini (IYD) kepada publik akan memiliki implikasi hukum pidana, baik terhadap pejabat dan petugas yang membuka dengan sengaja.
Maupun karena lalai sehingga informasi tersebut dapat diakses dan/atau dikuasai publik. Dan juga memiliki implikasi pidana terhadap masyarakat yang mengakses dan menguasainya tanpa hak hukum.
Status Terbaru Informasi Ijazah Presiden-Wapres dan Implikasi Hukum
Pencabutan SK KPU Nomor 731 Tahun 2025 tersebut memberikan kepastian hukum kepada publik bahwa informasi ijazah Presiden-Wapres yang berada dalam penguasaan KPU bukanlah Informasi Yang Dikecualikan (baca: rahasia) menurut rezim keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur Pasal 28F UUD NRI 1945, UU KIP, maupun aturan turunannya.
Keputusan ini langsung mengikat secara hukum bagi semua jajaran PPID KPU semenjak hari Selasa siang menjelang sore, tanggal 16 September 2025. Semenjak itu, informasi ijazah Presiden-Wapres yang dalam penguasaan KPU hanya bisa masuk dalam Klasifikasi Informasi Tersedia Setiap Saat dari 4 (empat) klasifikasi yang ada.
Maka jika ada masyarakat yang meminta informasi ijazah Presiden-Wapres kepada KPU melalui PPID KPU dengan mendalilkan bahwa KPU menguasai informasi tersebut karena disyaratkan dalam UU yang mengatur pencalonan Presiden-Wapres, maka PPID KPU hanya punya satu pilihan: WAJIB MEMBERIKANNYA.
PPID KPU tidak dapat lagi menggunakan mekanisme Sengketa Informasi ke Komisi Informasi sepanjang terkait informasi ijazah Presiden-Wapres. Kenapa demikian? Karena mekanisme Sengketa Informasi hanya disediakan untuk sengketa informasi atas Informasi Yang Dikecualikan (IYD) atau atas informasi yang belum ditetapkan sebagai IYD namun dipandang berpotensi sebagai IYD oleh PPID KPU.
Itulah alasannya kenapa dalam Hukum Acara Sengketa Informasi dibolehkan Badan Publik selaku Termohon mengajukan permohonan kepada Majelis yang memeriksa dan memutus sengketa a quo untuk melakukan proses Uji Konsekuensi atas informssi yang sedang disengketakan untuk menetapkannya sebagai IYD dalam masa persidangan.
Bagaimana jika ke depan PPID KPU tidak langsung memenuhi permintaan publik atas permohonan informasi ijazah Presiden-Wapres? Maka kepada petugas dan pejabat PPID KPU yang tidak memenuhi permohonan tersebut dapat kepadanya langsung diberlakukan Pasal 52 dan Pasal 57 UU KIP, karena tidak memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi ijazah Presiden-Wapres.
Pasal 52 berbunyi:
“Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa informasi yang wajib diumumkan secara berkala, serta-merta, tersedia setiap saat, dan/atau yang diminta masyarakat, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00.”
Pasal 57 berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghalangi atau menghambat hak seseorang untuk memperoleh Informasi Publik dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00.”
Dan juga dapat dikenakan Pasal 53 UU KIP tentang ganti rugi perdata yang berbunyi:
“Setiap Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik yang wajib diumumkan secara berkala, serta-merta, atau tersedia setiap saat, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dapat digugat ganti rugi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Penutup
KPU sudah mengambil keputusan bahwa informasi ijazah Presiden-Wapres yang berada dalam penguasaan KPU merupakan Informasi Publik sehingga dan oleh karena itu dapat diminta dan diakses publik setiap saat.
Publik yang ingin mendapatkan informasi ijazah Presiden-Wapres yang dalam penguasaan KPU perlu berhati-hati. Harus memastikan permohonan itu ditujukan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Komisi Pemilihan Umum (PPID KPU).
Jangan sampai pengajuan permohonan informasi ditujukan kepada Ketua KPU, bisa terhambat untuk mendapatkannya, karena kewenangan pengelolaan informasi ada pada PPID KPU, bukan pada Ketua KPU. Semoga bermanfaat, Aamiin
*) Ketua Dewas YLBH Catur Bhakti KBPII/Pemerhati GRC/Profesional Mediator /Peneliti Senior IDEALS Waka KI Pusat RI 2017-2022
Sumber: kumparan.com, 17 September 2025 10:00 WIB di WAGroup Wartawan Tulen (postRabu17/9/20245/hendra)