Anggota KPU harus Dipecat

Grafis terkait KPU yang mengeluarkan peraturan data atau berkas capres dan cawapres tidak boleh dibuka untuk publik. Foto: jernih

Oleh Radhar Tribaskoro *)

Semarak.co – Pertanyaan besar muncul: mengapa KPU tiba-tiba menutup dokumen yang justru menjadi hak publik untuk tahu? Apa yang ditakuti? Atau siapa yang hendak dilindungi? Di titik inilah publik berhak curiga. Bila ijazah saja dirahasiakan, apalagi aneka data lain?

Bacaan Lainnya

Bila dokumen administratif saja dipalsukan atau ditutup-tutupi, bagaimana dengan hasil suara yang lebih kompleks Kita tahu, demokrasi tak selalu tumbuh karena niat baik, tapi juga karena kewajiban hukum. Ia hidup bukan karena kesantunan pejabat, melainkan karena rakyat menuntut keterbukaan.

Itulah mengapa sebuah keputusan kecil bisa terasa besar: ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan bahwa dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden—termasuk ijazah—bukan lagi informasi publik. Keputusan itu dituangkan dalam SK KPU Nomor 731 Tahun 2025.

Sekilas, ini hanya soal administratif. Seperti perdebatan teknis tentang siapa berhak melihat arsip negara. Namun kita tahu, dalam demokrasi, persoalan teknis seringkali menyembunyikan persoalan pokok. Pertanyaan besar muncul: mengapa KPU tiba-tiba menutup dokumen yang justru menjadi hak publik untuk tahu?

Apa yang ditakuti? Atau siapa yang hendak dilindungi? Kita ingat, pada 2008 lahirlah UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Semangatnya jelas: rakyat berhak tahu, terutama terhadap informasi yang terkait penyelenggaraan negara.

UU itu hanya memberi pengecualian pada informasi yang bisa membahayakan negara, merugikan persaingan usaha, atau melanggar privasi yang bersifat sangat pribadi. Tapi ijazah seorang calon presiden? Bukankah itu dokumen publik, yang justru menjadi bukti sah kelayakan seorang pemimpin?

Dengan SK 731/2025, KPU seolah mencabut hak itu secara sepihak. Yang semestinya menjadi benteng keterbukaan, lembaga itu justru menutup rapat-rapat dokumen. Itu bukan sekadar kelalaian.

Itu pengkhianatan terhadap konstitusi. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan terang menyebutkan: syarat calon presiden dan wakil presiden harus diverifikasi secara administratif dan faktual.

Verifikasi faktual mustahil dilakukan tanpa keterlibatan publik. Bagaimana publik bisa percaya pada hasil verifikasi bila dokumen disembunyikan? Bagaimana memastikan tidak ada ijazah palsu, bila rakyat tak berhak menilai bukti itu?

Dalam logika hukum, KPU seolah membuat undang-undang tandingan: SK lebih tinggi daripada UU. Sebuah pembalikan nalar. Dalam logika politik, keputusan ini justru menyingkap kelemahan KPU: takut pada keterbukaan, tapi berani pada pelanggaran.

KPU yang tak Lagi Mandiri

UUD 1945 menegaskan bahwa KPU adalah lembaga yang mandiri. Mandiri berarti tidak berpihak, tidak tunduk pada kekuasaan, tidak pula sekadar menjalankan titah politik penguasa. Mandiri berarti KPU tegak lurus pada rakyat, sebab hanya rakyatlah pemilik kedaulatan.

Tapi SK 731 justru menandai sebaliknya. Dengan menyembunyikan dokumen, KPU tampak lebih melindungi kepentingan calon daripada kepentingan pemilih. Lebih sibuk menjaga rahasia elit daripada menjaga hak rakyat. Apakah ini masih KPU yang mandiri, atau KPU yang sudah menjadi alat kekuasaan?

Di titik inilah publik berhak curiga. Bila ijazah saja dirahasiakan, apalagi aneka data lain? Bila dokumen administratif saja dipalsukan atau ditutup-tutupi, bagaimana dengan hasil suara yang lebih kompleks? Sejarah mencatat, retaknya demokrasi sering berawal dari hal-hal sepele.

Dari sebuah keputusan birokratis yang tampak remeh. Dari aturan administratif yang dikira tak berarti. Di masa Orde Baru, sensor dimulai bukan dengan pembredelan besar, tapi dengan surat edaran kecil. Di masa kini, mungkin runtuhnya demokrasi dimulai dari sebuah SK yang menutup ijazah.

Apakah ijazah lebih penting daripada nasib bangsa? Tidak. Tapi keterbukaan atas ijazah menjadi simbol keterbukaan sistem. Bila yang kecil saja ditutup, maka yang besar pasti dikubur.

(Komisioner) KPU Harus Dipecat

Dalam mandatnya, KPU punya tiga tugas utama: menyelenggarakan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itu tercantum jelas dalam UUD 1945 dan UU Pemilu. Semua kata itu—jujur, adil, bebas—hanya mungkin hidup dalam terang. Bukan dalam rahasia.

SK 731 menunjukkan KPU gagal memahami tugasnya. Alih-alih menjunjung asas jujur dan adil, KPU justru menciptakan kabut. Alih-alih membela hak pemilih, ia lebih sibuk membela hak kandidat. Alih-alih menjamin kedaulatan rakyat, ia justru merampasnya.

Lalu apa yang pantas dilakukan? Kita bisa mengajukan judicial review. Bisa juga menunggu DPR memanggil. Tapi di atas semua itu, ada argumen moral: komisioner KPU yang membuat keputusan ini mestinya dipecat. Mengapa? Karena mereka telah gagal memahami tugas dan kewajibannya.

Mereka lupa bahwa jabatan bukan sekadar kursi, melainkan amanah rakyat. Mereka melupakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di laci arsip KPU. Dan bila mereka tak lagi menjaga hak rakyat, untuk apa mereka ada?

Demokrasi Bukan Sekadar Prosedur

Goethe pernah menulis: “Lebih mudah menipu orang dengan setengah kebenaran daripada dengan kebohongan penuh.” SK 731 adalah setengah kebenaran. KPU mengaku melindungi privasi kandidat, padahal yang mereka lindungi adalah kuasa gelap.

KPU mengaku menjaga ketertiban, padahal yang mereka tutup adalah hak publik. Demokrasi di negeri ini memang sering jatuh ke dalam prosedur: pemilu lima tahun sekali, penghitungan suara, pengumuman pemenang. Tapi demokrasi sejatinya bukan sekadar prosedur.

Ia adalah kepercayaan dan kepercayaan hanya lahir dari keterbukaan. KPU boleh saja menyembunyikan dokumen. Tapi mereka tak bisa menyembunyikan akibat: retaknya kepercayaan rakyat. Di jalan-jalan, mungkin rakyat tak peduli pada istilah “SK 731/2025”.

Tapi mereka paham betul arti sebuah ijazah. Dokumen kecil itu adalah simbol integritas. Ketika simbol itu ditutup, publik tahu ada sesuatu yang salah. Maka jangan salahkan bila kelak mereka berkata: KPU bukan lagi Komisi Pemilihan Umum. Ia hanya menjadi Komisi Perlindungan Usman—siapa pun nama orang yang hendak ditutupi ijazahnya. Dan di situlah demokrasi berhenti bernapas.

*) penulis adalah

 

Sumber: Jernih.co, Tuesday, September 16 2025 di WAGroup Media & Jurnalis BPKH (postSelasa16/9/2025/darmawansepriyossa)

Pos terkait