Speakers Corner: Menggagas Ruang Demonstrasi Antianarki

Yudhiarma MK, M.Si, Manajer Humas BAZNAS. foto: internet

Oleh Yudhiarma MK *)

Semarak.co – Ide pembangunan ruang khusus demonstrasi bukanlah hal baru. Menjelang, saat, dan sesudah gelombang Reformasi 1998 melanda, Gubernur DKI Jakarta kala itu, Sutiyoso, kerap mengusulkan wacana serupa.

Bacaan Lainnya

Saat penulis masih jadi jurnalis pemula, Jakarta kerap dibayangi aksi ricuh yang berujung anarki dan kehancuran fasilitas publik. Bang Yos kala itu membayangkan sebuah “taman aspirasi” atau “free speech zone” di mana masyarakat bisa menyampaikan pendapat tanpa menutup jalan protokol dan mengganggu aktivitas warga.

Kala itu, usulannya sering ditolak mentah-mentah, dianggap sebagai sisa Orde Baru yang ingin membungkam suara rakyat. Dua dekade kemudian, patut dipertanyakan: apakah penolakan itu justru telah membiarkan lebih banyak nyawa melayang?

Siang itu, jalanan ibu kota kembali macet. Tapi traffict jam ini berbeda. Bau gas air mata menyeruak di antara asap knalpot, dan lemparan batu menggantikan klakson mobil yang tak sabar. Di tengah kerumunan itu, seorang driver ojek daring menjadi korban.

Bukan peserta aksi, hanya seorang pekerja lepas yang sedang berusaha menghidupi keluarga. Namun, malam itu menjadi perjalanan terakhirnya. Roda-roda kendaraan taktis aparat merenggut nyawanya, menyisakan duka dan satu pertanyaan pedas.

Hal sama juga terjadi di kota-kota lainnya seperti Makassar yang juga memakan korban. Lantas untuk apa demokrasi jika jiwa orang yang tidak bersalah menjadi taruhannya? Kematian mereka adalah sebuah tragedi yang absurd.

Sebuah simbol dari demokrasi yang masih berjalan di tempat, bahkan mundur. Reformasi 1998 membuka keran kebebasan berpendapat, tetapi lupa membangun saluran yang aman untuk menampung luapannya.

Akibatnya, demonstrasi di jalan raya menjadi tradisi yang tak terelakkan, lengkap dengan risiko gesekan, kerusuhan, dan yang paling tragis: collateral damage. Warga terus ditumbalkan demi demokrasi. Driver itu adalah korban terbaru dari sebuah sistem yang gagal mengelola aspirasi.

Sebuah puncak gunung es dari panjangnya daftar warga yang harus menanggung rugi—mulai dari kehilangan jam kerja, terjebak macet berjam-jam, hingga nyawanya—hanya karena kebebasan berpendapat orang lain dirayakan dengan cara yang anarkis.

Belajar dari Tetangga

Jika belajar dari unjuk rasa ke unjuk rasa, maka persoalan utama adalah ketiadaan ruang khusus. Demo hampir selalu berlangsung di jalan raya atau depan gedung pemerintahan, bercampur dengan aktivitas warga lainnya.

Negara seolah abai bahwa kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak yang boleh menginjak hak orang lain untuk beraktivitas dan merasa aman. Padahal, solusinya sudah ada dan teruji. Singapura, sejak 2000, memiliki Speaker’s Corner di Hong Lim Park.

Warga bisa berorasi secara terbuka dengan pemberitahuan, tanpa harus menutup jalan dan mengacaukan kota. Amerika Serikat kerap menyiapkan free speech zones saat ada acara besar. Thailand pun menerapkan zona demonstrasi resmi di Bangkok.

Ruang protes dan ruang hidup warga dipisahkan dengan jelas. Indonesia sebenarnya memiliki titik-titik yang “tak resmi” namun lazim digunakan, seperti depan Gedung DPR/DPD/MPR atau alun-alun kota.

Titik-titik inilah yang harus segera diformalkan, diatur, dan dikelola menjadi ruang aman yang bermartabat. Bukan untuk mengisolasi suara kritis, tetapi justru memastikan suara itu didengar dengan jelas, tanpa gangguan ricuh dan teriakan histeris.

“Taman Aspirasi” ala Sutiyoso

Wacana yang pernah diusung Sutiyoso di era reformasi ini, kini kembali relevan. Pemerintah harus serius mempertimbangkan opsi pembangunan Speakers Corner di titik-titik strategis. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan: ruang ini tidak boleh menjadi simbol belaka atau alat untuk mengucilkan suara rakyat.

Ia harus mudah diakses, memiliki nilai strategis sehingga pesan demo sampai ke pemangku kebijakan, dan dijamin keamanannya oleh negara. Kematian almarhum Affan, pengojek daring, adalah alarm terakhir. Sebuah bukti bahwa kebebasan tanpa pengelolaan hanya melahirkan korban baru.

Demokrasi membutuhkan ruang yang aman dan beradab, bukan sekadar jalan raya yang penuh risiko. Sudah saatnya melawan lupa. Sudah waktunya meninjau ulang usulan “taman aspirasi” yang pernah dicemooh.

Pertanyaannya sekarang adalah, bukan lagi soal benar atau salah usulan tersebut. Tetapi, sampai kapan suara rakyat harus dibayar dengan nyawa mereka yang bahkan tak ikut bersuara dalam aksi unjuk rasa?

*) penulis kabag humas

 

Sumber: WAGroup Baznas Media Center (BMC), (postSenin1/9/2025/yudhi)

Pos terkait