Perburuan Pramoedya dari Blora ke Jakarta: Menuju Pengalaman Kolektif Mencerap Pesan Kebangsaan, Kemerdekaan, dan Kemanusiaan dalam Karya

Salah satu adegan dari pertunjukan Perburuan Pramoedya dari Blora ke Jakarta. Foto: humas komunitas salihara

Novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer ditulis tahun 1949 dan diterbitkan kali pertama pada 1950 oleh penerbit Balai Pustaka. Tokoh utama novel ialah pemuda bernama Hardo, komandan pasukan PETA (Pembela Tanah Air, organisasi militer bentukan Jepang).

Semarak.co – Yang membelot bersama pasukannya dan sedang dicari dan diburu-buru oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia. Perkumpulan Seni Nusantara Baca yang berbasis di Yogyakarta menghelat pergelaran pembacaan dramatik bertajuk Perburuan Pramoedya – dari Blora ke Jakarta.

Bacaan Lainnya

Yang didasarkan pada suatu nukilan dari novel tersebut. Nukilan itu menceritakan peristiwa dramatis di Blora tanggal 17 Agustus 1945, beberapa jam sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Meskipun Hardo merupakan tokoh utama novel, nukilan yang dipergelarkan justru lebih menampilkan tokoh Ningsih dengan nasib tragisnya dan Karmin dengan penyesalannya atas "pengkhianatan tak sengaja" gara-gara putus cinta.

Tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam nukilan ini meliputi komandan batalyon Jepang yang disapa sebagai Sidokan, Hardo dan dua kawan seperjuangannya Dipo dan Kartiman, Lurah Kaliwangan yang adalah ayah Ningsih, Komisaris Polisi, Wedana Karangjati, pasukan keibodan, dan massa rakyat Blora.

Tumpuan utama pergelaran ini adalah pelisanan teks melalui bercerita dan pembacaan dramatik yang melibatkan seni peran, tari, musik & nyanyi, serta tata artistik. Didukung dengan tayangan foto-foto dokumenter – arsip kesejarahan masa penjajahan Jepang – pada layar yang juga menampilkan siluet tokoh-tokoh cerita.

Dalam pergelaran yang menggunakan pendekatan kolaboratif dan lintas generasi ini, para pemeran adalah Rendra Bagus Pamungkas (Hardo), Alex Suhendra (Karmin), Enji Sekar (Ningsih), Putu Alit Panca (Sidokan Jepang), dan Gundala Wejasena (Lurah Kaliwangan). Landung Simatupang menjadi pencerita.

Musik digubah dan diarahkan oleh Bagus Mazasupa (Piano) dengan beberapa kontribusi dari Fidel Roselyne dan M.R. Ridlo. Oscar Artunes memainkan biola, dan cello dimainkan oleh Jeremia Kimosabe. Naskah dan penyutradaraan dikerjakan oleh Landung Simatupang.

Pergelaran ini menampilkan potret rakyat yang bertahan hidup di tengah peperangan dan penindasan, intrik penguasa-penguasa kecil, dan konflik batin para pejuang ketika harus berhadapan dengan pilihan antara martabat, posisi, dan cinta.

Pergelaran ini diharap juga dapat menawarkan ruang reflektif tentang perjuangan dan pengorbanan para pendahulu bangsa, termasuk warga masyarakat biasa, dan harga yang harus dibayar untuk kemerdekaan. Juga tentang pengakuan bersalah, perubahan sikap, permintaan maaf dan permaafan.

Blora menjadi salah satu kota tempat pergelaran pembacaan dramatik ini dilaksanakan. Kali kedua, pergelaran bertajuk Perburuan Pramoedya – dari Blora ke Jakarta digelar di Teater Salihara Jakarta pada 23 Agustus pukul 20.00 dan 24 Agustus 2025 pukul 16.00 WIB.

Perkumpulan Seni Nusantara Baca sebagai kreator berharap bahwa pergelaran ini dapat menjadi medium edukasi atau pembelajaran sejarah yang efektif; memperkaya khazanah pertunjukan Indonesia dengan pendekatan multidisiplin; dan memperkuat jejaring antar seniman serta mendorong regenerasi kreatif di tengah masyarakat yang terus berubah.

Pergelaran Perburuan Pramoedya – dari Blora ke Jakarta didukung oleh Kementerian Kebudayaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui program Dana Abadi Kebudayaan; yang juga menjadi bagian paska-LIFEs (Literature and Ideas Festival) atau festival sastra dua tahunan Komunitas Salihara Arts Center.

Tahun ini, LIFEs mengangkat tema Menjadi Indonesia di mana festival ini akan mengajak kita kembali memaknai dan merenungkan secara luas isu-isu tentang diri, identitas, komunitas, dan kebangsaan, serta relevan bagi khalayak di dalam maupun luar Indonesia.

Festival ini dilaksanakan dari 08 – 16 Agustus 2025 dan tersebar di berbagai titik di Jakarta dengan Komunitas Salihara Arts Center sebagai pusatnya.

Direktur LIFEs dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center, Ayu Utami mengungkapkan rasa syukur atas maraknya festival sastra di Indonesia dan LIFEs bisa hadir di salah satu bagiannya.

Sebagai salah satu festival sastra tertua di Indonesia, sambung Ayu, LIFEs 2025 ini menyajikan sebuah inovasi terbaru yang menyajikan beragam program interaksi serta eksperimen kolektif dalam penciptaan karya.

Berbeda dengan LIFEs 2023 sebelumnya, tahun ini LIFEs hadir dalam satu rangkaian yang lebih panjang yang terbagi ke dalam pra-LIFEs dan paska-LIFEs di mana pengunjung bisa menikmati ragam pertunjukan dari 02-03 & 22-23 Agustus.

Sepanjang pelaksanaan LIFEs di 08-16 Agustus, pengunjung dapat menikmati rangkaian mulai dari diskusi, lokakarya, pertunjukan, ceramah, hingga pameran. LIFEs 2025 mementaskan Rumah dengan Selembar Tikar, sebentuk teater arsip bermodul dengan naskah BPUPKI (Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Dipentaskan juga Urban Raga yang merupakan eksperimen berkarya secara kolektif, dengan koreografi dan kata-kata. Dalam program LIFEs 2025, pengunjung menikmati pembacaan karya dari bintang bintang baru di dunia sastra dilanjutkan Makan Malam Sastra.

Tema Menjadi Indonesia memberi ruang untuk melihat bagaimana karya-karya klasik bangsa ini hingga ke karya penulis di era modern membentuk identitas bangsa dalam diskusi- diskusi menarik seperti Sastra dan Subaltern, Indonesia Gelap dan Sekitarnya, Klasik Nan Asyik: Ignas Kleden &amp.

Lalu Parakitri Simbolon, Aksi Massa Spionase Nusantara, Indonesia di Jalan Saya, Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia dan Identitas dan (De) Kolonisasi. Selain diskusi, dilaksanakan berbagai kegiatan interaktif.

Seperti lokakarya Urban Raga yang menggabungkan gerak dan menulis kreatif dan lokakarya Memasak Resep Warisan Soekarno di mana peserta dapat mendalami resep Mustikarasa sebagai salah satu buku resep peninggalan era Soekarno.

Sembari menunggu pergantian sesi antarprogram, pengunjung bisa menikmati Pameran Interaktif: Menjadi Indonesia yang menghadirkan kombinasi grafis dan video atas teks-teks penting dalam karya dan kritik sastra ataupun seni di Galeri Salihara.

Selain diskusi, lokakarya, dan pameran, seperti LIFEs sebelum-sebelumnya, hadirnya pentas dalam berbagai multidisiplin turut meramaikan rangkaian festival ini. Selain dua pertunjukan pra-LIFEs, pengunjung dapat mendalami bagaimana jazz nusantara berkembang

Misalnya dalam Pentas Ceramah: Jazz Sebagai Metode Menjadi Indonesia dan Ceramah: Hukum sebagai Kebudayaan: Suatu Gagasan tentang Indonesia yang membahas bagaimana hukum tidak akan terpisahkan dari aspek kehidupan namun pengaplikasiannya selalu kontroversial di negara ini.

“Dan melihat bagaimana pvi collective merespons keresahaan masyarakat kita dalam pertunjukan tiny revolutions,” terang Ayu Utama dirilis humas Komunitas Salihara yang diterima redaksi semarak.co melalui pesan elektronik, Jumat (22/8/2025).

Pengunjung juga menyaksikan pertunjukan The Gaza Monologues yang merupakan serangkaian kesaksian yang ditulis oleh para remaja Palestina—suara-suara muda yang selamat dari agresi militer dan terus hidup di bawah bayang-bayang penjajahan.

Hadirnya seniman dari Palestina dan Asia Tenggara membagikan apa artinya menjadi bangsa yang merdeka. Tema Menjadi Indonesia, mengajak kita untuk merenungkan secara luas isu-isu tentang diri, identitas, komunitas, dan kebangsaan, serta relevan bagi khalayak di dalam maupun luar Indonesia.

LIFEs 2025 akan ditutup oleh pertunjukan musik dari Sukatani yang dikenal menyuarakan keresahan generasi yang hidup di Antara ingatan akan kekerasan struktural dan kebutuhan akan bentuk-bentuk baru perlawanan melalui karya-karya mereka.

LIFEs 2025 menghadirkan lebih dari 35 penampil yang terbagi ke dalam 20 rangkaian program yang dilaksanakan secara luring sepanjang Agustus–mulai dari pra-LIFEs, LIFEs, dan paska-LIFEs. Tahun ini adalah 80 tahun Indonesia merdeka.

Kita bangga bahwa sastra dan sastrawan selalu terlibat dalam perjuangan. LIFEs kali ini yang bertajuk Menjadi Indonesia, relevan menjawab kegelisahan generasi muda yang sempat melihat #IndonesiaGelap, ingin #KaburAjaDulu, atau ingin tahu penulisan kembali sejarah Indonesia.

Dan menelusuri karya-karya dari klasik maupun suara terkini, dalam bedah buku, seminar, ceramah, pentas bincang, pentas pembacaan dramatik, maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi Indonesia dan masih perlukah. (hms/smr)

Pos terkait