Dalam acara Nikah Massal Cinta Dalam Ridha Illahi yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) di Ruang Utama Sholat Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu (28/6/2025), Menteri Agama (Menag) Prof. Nasaruddin Umar memberikan nasehat yang indah sekali ihwal perkawinan yang agung dalam pandangan Islam.
Semarak.co – Menag Nasaruddin mengatakan, seksualitas dalam Islam sangat disucikan. Kemudian digambarkan langit dan bumi sebagai pasangan yang bersenggama dengan mendung sebagai foreplay, guntur sebagai erangan hasrat, dan hujan sebagai orgasme kosmis.
“Ia bukan sekadar berbicara tentang meteorologi. Ia menawarkan tafsir erotis atas alam semesta, di mana hubungan intim manusia adalah mikrokosmos dari sebuah tarian ilahiah yang jauh lebih besar,” terang Menag Nasaruddin dalam sambutan.
Dilanjutkan Menag Nasaruddin, “Alam semesta juga melakukan kawin mawin, sebagaimana langit menikah dengan bumi, dan berjalan dengan rukun. Manakala langit menjadi sang suami, mau melakukan hubungan bada dengan istriny bumi, mereka juga akan melakukan kamasutra.”
“Tidak langsung dengan to the point, ada mendung, kilat dan guntur bersaut-sautan. Lalu ditandai dengan orgasme yang ditandai hujan nutfah ke rahim ibu. Demikian juga saat langit orgasme maka hujan akan turun dan jatuh ke bumi,” imbuh Menag Nazaruddin di hadapan 100 pasangan nikah massal dari wilayah Jabodetabek, di Jakarta.
“Maka tirulah makhluk makrokosmos seperti langit saat hendak menyetubuhi bumi. Dengan demikian perkawinan akan menjadi berkah seperti ajaran Rasulullah,” demikian Menag Nasaruddin dirilis humas usai acara melalui WAGroup khusus event organizer (EO) dari Kemenag, Minggu (29/6/2025).
Membaca erotika Ilahiyah sebagaimana diceritakan Menag Nasaruddin memang sangat menarik sekali. Dengan metafora yang menggetarkan, Menag Nasaruddin berbicara tentang persetubuhan langit dan bumi dalam bahasa yang begitu sensual, tapi sangat bisa dipertanggung jawabkan secara keilmuan.
Menag Nasaruddin sebenarnya sedang membongkar sebuah tradisi tafsir yang telah lama terpendam dalam khazanah Islam. Narasi Nasaruddin Umar bukanlah hal baru, melainkan kelanjutan dari tradisi sufistik yang memandang alam semesta sebagai kitab cinta yang terbuka.
Dalam Tawasinnya, Al-Hallaj menulis, “Langit adalah huruf, bumi adalah maknanya. Angin yang berhembus adalah nafas-Nya yang membisikkan rahasia.”
Menteri kita hari ini hanya menerjemahkan kembali mistisisme abad ke-9 ke dalam bahasa kontemporer yang mengguncang. Ada anatomi cinta kosmik dan struktur yang canggih dalam alegori Menag. Bagaimana bercerita saat melakukan kamasutra dengan istri, jangan langsung to the point.
Harus ada Pendahuluan (Mendung). Sebagaimana dalam tradisi sastra Arab klasik (al-ghazal), cinta sejati memerlukan mukadimah. Mendung adalah al-tashwif (kegelisahan awal) sebelum al-wisal (pertemuan). Lalu baru ada Ketegangan (Kilat dan Guntur).
Kilat adalah syathahat (ucapan ekstatik) para sufi. Sementara guntur adalah dzikr al-jalli (zikir yang menggema). Ini mengingatkan kita pada penyair kondang Djalalluddin Rumi yang berujar, “Setiap petir adalah tanda kerinduan bumi pada langit.”
Sebelum akhirnya terjadi orgasme atau Puncak (Hujan). Di sini Menag Nasaruddin menggunakan istilah nutfah yang sangat Quranik (QS. Al-Insan:2). Hujan bukan sekadar air, tetapi sperma kosmis yang mengandung benih-benih kehidupan.
Filsafat Seksualitas dalam Kosmologi Islam
Ibnu Arabi dalam Fusus al-Hikam menulis tentang “al-‘isyq al-ilahi” (cinta ilahiah) yang mempertalikan segala yang ada. Dalam pandangannya, Langit (al-sama’) bersifat maskulin: aktif, memberi. Bumi (al-ardh) bersifat feminin yang reseptif, menerima.
Tapi di sini letak kejeniusan metafora Menag, ia mengajarkan bahwa dalam hubungan intim manusia, ada dimensi ketuhanan yang sering kita lupakan. “Makanya sebelum bercinta berdoa ya, biar jadi orang anak-anak kita,” katanya.
Namun, alegori ini mengandung beberapa perdebatan. Diantaranya Problem Gender. Mengapa langit harus suami dan bumi istri? Dalam tradisi lain (misalnya di Jawa), bumi justru dianggap ibu (Ibu Pertiwi) yang lebih aktif.
Lalu ada Antropomorfisme atau kecenderungan manusia untuk memberikan sifat-sifat, perasaan, perilaku, atau bentuk manusia kepada benda mati, hewan, atau entitas non-manusia lainnya, yang berbahaya.
Sejauh mana kita boleh memproyeksikan pengalaman manusia ke alam? Ini adalah peringatan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah tentang bahaya tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).
Erotika sebagai Jalan Spiritual
Di tengah segala kontroversi, yang patut diapresiasi adalah keberanian Menag membahas seksualitas dalam kerangka spiritual. Dalam masyarakat yang sering melihat seks sebagai hal yang tabu, pendekatan ini justru mengingatkan kita pada Tradisi Song of Songs dalam Bibel, Gita Govinda dalam tradisi Hindu, dan Puisi-puisi Jalaluddin Rumi.
Semuanya berbicara tentang cinta manusia sebagai cermin cinta ilahi. Mungkin inilah pelajaran terpenting, sebagaimana hujan adalah rahmat, hubungan intim pun seharusnya menjadi rahmat. Bukan sekadar pemuas nafsu, tetapi ritus suci yang menghidupkan.
Dalam bahasa Al-Quran disebutkan; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu mendapatkan ketenangan, dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang.” (QS. Ar-Rum:21)
Metafora Menag, pada akhirnya mengajak kita merenungkan satu kebenaran abadi: bahwa cinta manusia adalah pantulan dari cinta kosmis yang jauh lebih besar. Dan dalam setiap tetes hujan, dalam setiap helaan nafas bercinta, tersembunyi rahasia tentang asal-usul dan tujuan kita semua.
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus, sesuai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum:30). (BB). (hms/bb/smr)