Pengamat politik Rocky Gerung menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi intelektual dan akademik Indonesia setelah negara ini dinobatkan sebagai salah satu negara paling tidak jujur dalam soal akademik, menempati peringkat kedua di bawah Kazakhstan.
Semarak.co – Diketahui melalui akun YouTubenya, Senin (30/6/2025), akademisi Universitas Indonesia (UI) Rocky menilai capaian ini sebagai tamparan moral bangsa dan integritas yang serius bagi bangsa.
“Dunia justru memeringkat kita di dalam kondisi yang betul-betul memalukan bahwa kejujuran intelektual Indonesia itu nomor dua unggulnya, unggul di bidang ketidakjujuran intelektual itu maksudnya,” sindir Rocky seperti dilansir jakartasatu.com, Senin, 30 Jun 2025, 20:32.
Indikator ketidakjujuran ini mencakup praktik berbohong dalam riset, memalsukan ijazah, menyogok untuk kelulusan skripsi, hingga membayar agar artikel dapat dimuat di jurnal internasional. Rocky menekankan bahwa Indonesia didirikan melalui pertengkaran pikiran yang menunjukkan adanya otentisitas pada para pendiri bangsa.
Namun, ia menyayangkan tradisi berpikir kritis yang kini seolah memudar. “Setiap kali ada orang yang berpikir kritis dianggap sebagai memusuhi pemerintah. Setiap kali ada orang yang berpikir radikal dianggap hendak menjual bangsa,” tambah menunjukkan hilangnya tradisi kejujuran dalam berargumentasi.
Rocky menyinggung beberapa kasus yang belakangan menjadi sorotan publik, seperti keaslian ijazah eks presidsn Jokowi dan skandal perolehan gelar doktor Bahlil dari Universitas Indonesia (UI) yang kemudian ditunda.
Ia menyimpulkan bahwa kondisi ini tidak mengejutkan karena dunia telah menilai buruk kejujuran akademik di Indonesia, bukan hanya di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga di antara para pemimpin. Ia secara khusus mengkritik UI dan UGM yang diduga terlibat dalam skandal tersebut.
“UI dipermalukan oleh skandal Bahli sampai sekarang itu enggak ada kejelasan,” kata Rocky, menambahkan bahwa bukan hanya Bahli yang bersalah, tetapi juga para penguji dan petinggi UI yang asal-asalan menguji orang.
Terkait UGM, Rocky menyebut status universitas tersebut runtuh karena dicurigai dengan kuat bahwa eks presiden Jokowi dibantu oleh elit politiknya untuk memalsukan ijazah beliau. Menurut Rocky, ijazah hanyalah tanda seseorang pernah bersekolah, bukan tanda ia pernah berpikir.
Ambisi untuk memperoleh gelar seringkali datang dari ketidakmampuan berpikir, yang berujung pada praktik membeli ijazah. “Situasi ini, menunjukkan bahwa upaya membersihkan negeri ini harus dimulai dari hal fundamental: kejujuran,” tekan Rocky.
Selain itu, Rocky yang pernah mengajar di UI ini menyoroti fenomena banyak pejabat yang berlomba mengumpulkan gelar akademik, bahkan hingga gelar kehormatan dan profesor, tanpa memiliki rekam jejak aktif di dunia akademis. Ia menilai ini sebagai “festival of stupidity” yang menunjukkan ambisi feodalisme.
Buat apa pameran gelar itu? Itu semacam ‘festival of stupidity’ pada akhirnya. Ia menyayangkan bahwa kemampuan berpikir para pejabat ini seringkali tidak sejalan dengan gelar yang mereka sandang, terlihat dari kurangnya kosakata dan ketidakmampuan mengambil kesimpulan dalam debat publik.
Rocky juga mengamati bahwa selama periode kepemimpinan Jokowi, ada kecenderungan untuk memusuhi pikiran kritis. “Begitu ada orang yang agak kritis dianggap sebagai pengkhianat, begitu ada orang yang punya sikap curiga pada kebijakan dianggap sebagai tidak nasionalis,” paparnya.
Ia menyebut ini sebagai ketakutan berpikir yang merupakan kutukan bagi mereka yang sebenarnya tidak pantas menyandang gelar-gelar akademik. Menyikapi peringkat buruk Indonesia dalam kejujuran akademik, Rocky menyarankan agar visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk melindungi masyarakat dari kebodohan melalui program makan siang bergizi, juga disertai dengan kurikulum yang bergizi.
Kurikulum ini, menurutnya, harus dimulai dengan kejujuran sejak pendaftaran sekolah, saat ujian, hingga dalam menulis karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Ia mendesak agar teguran internasional ini menjadi pemicu moral bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari praktik jual beli ijazah dan feodalisme akademik.
“Yang lebih penting adalah mulailah untuk mengerti bahwa satu dunia yang terinterkoneksi dengan data-data akademis itu hanya bisa dibaca oleh mereka yang mampu mengatakan bahwa argumen itu harus melampaui sentimen,” pungkas Rocky.
Ia berharap Indonesia dapat kembali mengedepankan kekuatan nalar dan argumentasi yang teruji untuk dihargai di kancah global. (net/jkc/smr)