Oleh Dr. Rahmat Mulyana *)
Semarak.co – Menguras Kas Lawan Tanpa Menembakkan Peluru—Implementasi Modern dari Kebijaksanaan Kuno Iran di bawah kepemimpinan Sayyid Ali Khamenei menerapkan strategi perang yang menggemakan kebijaksanaan Sun Tzu dalam The Art of War: Puncak keahlian militer adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.
Pendekatan ini memanfaatkan biaya perang yang terus membengkak untuk memaksa lawan menguras anggaran hingga titik jenuh—sebuah implementasi modern dari prinsip kuno tentang kemenangan melalui kelelahan musuh.
Perang Kocek: Strategi Fabius Maximus di Era Modern
Israel menghadapi beban finansial yang luar biasa dalam konflik berkepanjangan. Biaya operasi militer harian mencapai US$725 juta dalam kondisi normal, bahkan melonjak hingga US$1,45 miliar saat eskalasi puncak. Angka ini setara dengan membakar Rp 11,8-23,6 triliun setiap harinya.
Strategi Iran ini mengingatkan pada taktik Quintus Fabius Maximus melawan Hannibal dalam Perang Punisia Kedua. Dikenal sebagai Cunctator (Penunda), Fabius menghindari pertempuran frontal dan memilih menguras kekuatan Kartago melalui perang gerilya berkepanjangan.
Iran menerapkan prinsip serupa: semakin lama konflik berlangsung, semakin cepat kas musuh terkuras tanpa perlu memenangkan pertempuran besar.
Minyak sebagai Senjata: Clausewitz dan Perang sebagai Politik
Iran memainkan kartu energi dengan sangat hati-hati, mengikuti doktrin Carl von Clausewitz bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Alih-alih menutup Selat Hormuz yang berisiko memicu pukulan balik global, Teheran memilih strategi yang lebih halus—mencerminkan pemahaman Clausewitz tentang center of gravity atau pusat gravitasi musuh.
Mereka melepaskan minyak melalui jalur bayangan dan menciptakan ketidakpastian di rute perdagangan Laut Merah melalui proxy seperti Houthi. Hasilnya, biaya logistik dan premi asuransi Israel naik drastis, memicu kenaikan harga BBM domestik hingga 30%.
Iran berhasil menerapkan “inflasi bertahap” tanpa embargo frontal—sebuah aplikasi cemerlang dari konsep Clausewitz tentang menyerang kekuatan musuh secara tidak langsung.
Erosi Sistemik: Napoleon dan Perang Ekonomi
Dampak strategi ini terasa luas, menggemakan peringatan Napoleon Bonaparte: “Sebuah tentara bergerak dengan perutnya.” Iran memahami bahwa ekonomi adalah “perut” dari kekuatan militer modern.
Bursa saham Tel Aviv mengalami volatilitas ekstrem dengan lebih dari 46.000 perusahaan terkena dampak gangguan rantai pasokan. Stok rudal Iron Dome menipis lebih cepat dari jadwal pengisian ulang, menambah beban impor komponen presisi yang mahal.
Kondisi ini mencerminkan strategi Napoleon dalam Perang Kontinental melawan Inggris—memotong jalur ekonomi untuk melemahkan kekuatan militer musuh tanpa invasi langsung.
Bantuan AS: Maginot Line Ekonomi
Meski Amerika Serikat terus memberikan bantuan militer, dukungan ini hanya menambal biaya jangka pendek tanpa memulihkan fondasi ekonomi Israel. Situasi ini mengingatkan pada Maginot Line Perancis—tampak kuat di permukaan, tetapi rentan terhadap serangan tidak langsung.
Bahkan bantuan tersebut menambah beban fiskal AS sendiri di tengah tekanan debt ceiling domestik, menciptakan apa yang oleh strategis Prusia Helmuth von Moltke disebut sebagai “gesekan perang”—biaya tak terduga yang menguras kekuatan bahkan dari sekutu.
Kalkulasi Jangka Panjang: Sun Tzu dan Seni Menunggu
Teheran menyiapkan tiga skenario utama dengan kesabaran yang mencerminkan ajaran Sun Tzu: Siapa yang bisa menunggu akan menang. Dalam gencatan senjata singkat, Iran akan mengkonsolidasikan kekuatan proxy sambil memperkuat cadangan devisa.
Perang berkepanjangan akan terus menggerus ekonomi Israel melalui inflasi dan stagnasi GDP. Sementara opsi penutupan Selat Hormuz disimpan sebagai kartu tawar terakhir—menerapkan prinsip Sun Tzu tentang menyimpan kekuatan tertinggi untuk saat yang tepat, bukan untuk dieksekusi terburu-buru.
Sintesis Strategis: Dari Hannibal hingga Khamenei
Strategi Iran mencerminkan evolusi pemikiran militer dari masa ke masa. Seperti Hannibal yang menggunakan geografi Alpen, Iran memanfaatkan geografi ekonomi global. Seperti Fabius yang menghindari pertempuran terbuka, Iran menghindari konfrontasi militer langsung.
Seperti Napoleon yang memahami logistik, Iran menyerang jalur ekonomi musuh. Namun yang paling mencolok adalah implementasi filosofi Sun Tzu: Kemenangan terbaik adalah yang dicapai tanpa bertempur. Iran tidak berusaha menghancurkan Israel secara militer, melainkan membuat ekonominya collapse dari dalam.
Dalam perhitungan Teheran, waktu adalah peluru tak terbatas—sebuah pemahaman yang menggemakan kata-kata Jenderal George Patton: “Saya lebih suka tentara yang beruntung daripada yang pintar, tetapi saya paling suka tentara yang sabar.”
Kemenangan tidak lagi diukur dari wilayah yang dikuasai, melainkan dari neraca keuangan musuh yang kolaps. Inilah perang abad ke-21: di mana kalkulator lebih mematikan daripada rudal, dan di mana kebijaksanaan strategis kuno menemukan ekspresi baru dalam realitas ekonomi global yang saling terhubung.
*) Pengamat Strategi
Sumber: askara, Minggu, 22 Juni 2025 | di WAGroup Ajang Diskusi (postMinggu22/6/2025/z)