Lemahnya daya saing bisnis teh Indonesia di kancah persaingan dunia perlu disikapi serius dan dirumuskan solusinya. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), tahun 2017, ekspor teh Indonesia hanya meningkat sebesar 1,04%. Ini tidak sebanding dengan tren penurunan nilai ekspor sebesar 8,08% selama medio 2012-2016.
Guna mewujudkan peningkatan produktivitas, kualitas, dan efektifitas ongkos produksi, maka Kementerian BUMN mendorong Sinergi BUMN antara PT Mitra Kerinci, anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII sebagai anak perusahaan PTPN III melalui penadatanganan nota kesepahaman tentang Kerja sama Pengelolaan Kebun Pangheotan, Kabupaten Bandung Barat.
Penadatanganan dilakukan Direktur PT Mitra Kerinci Yosdian Adi bersama Direktur Utama PTPN VIII Bagya Mulyanto, di Gedung RNI, Jakarta, Senin (30/4), disaksikan Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro, Direktur Utama PT RNI B. Didik Prasetyo dan Direktur Utama PTPN III Dolly P. Pulungan.
Yosdian Adi mengatakan, dengan dukungan alam dan geografis, Indonesia punya potensi besar sebagai negara utama penghasil teh. Namun, upaya penguatan industri teh tidak bisa dikerjakan sendiri.
“Kerjasama pengelolaan antara PT Mitra Kerinci dan PTPN VIII di Kebun Pangheotan seluas kurang lebih 2.000 ha dan kebun lainnya diharapkan bisa memberikan perbaikan kinerja bagi kedua belah pihak dan perbaikan kesejahteraan ribuan pemetik teh,” ungkap Yosdian dalam rilisnya.
Kerjasama dengan luang lingkup pendampingan perbaikan pabrik teh hijau dan penjualan teh hitam tersebut menargetkan produksi harian sebesar 5-7 ton, dengan nilai investasi sebesar Rp 5 miliar, dan target penjualan sebesar Rp 300 juta per bulan. “Diharapkan, ini akan menjadi awal dari kerjasama pengembangan the yang lebih luas lagi,” ungkap Yosdian.
Wahyu Kuncoro mengatakan, Kementerian BUMN sangat mendukung sinergi BUMN yang bertujuan untuk membantu terwujudnya program-program pemerintah. Diharapkan kerjasaama ini dapat menjadi role model sistem pengelolaan industri teh yang produktif dan efisien.
Menurutnya, tantangan utama pengelolaan teh adalah masih tingginya harga pokok produksi di angka Rp 20 ribu per kg, sementara PT Mitra Kerinci berhasi menurunkan HPP di angka Rp 15 ribu per kg. “Keunggulan-keuanggulan dari kedua pihak perlu dikembangkan dalam skema kerjasama ini dan diterapkan dalam skala kecil terlebih dahulu,” ungkap Wahyu.
Didik mengatakan, peluang industri teh dalam negeri untuk bangkit dan bersaing di pasar global masih sangat besar dan terbuka lebar. “Pasarnya sangat terbuka, baik dalam Negeri maupun internasional. Kontradiksi penurunan areal dan produktivitas teh Indonesia disisi lain memberikan peluang dengan pertumbuhan konsumsi minuman teh dalam kemasan yang bertumbuh hingga mencapai diatas 2,3 juta liter pertahunnya,” ungkapnya. (lin)