Oleh Agus Wahid *)
Semarak.co-Muncul gerakan struktural yang tampak terencana rapi. Itulah langkah Bareskrim Polri yang melakukan penyelidikan keberadaan ijazah Jokowi. Konon – seperti yang tersebar di berbagai media sosial – penyelidikannya sudah mencapai 90%.
Sebuah renungan, apakah hasil penyelidikannya dijamin valid atau absah dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum yang bebas dari infiltrasi? Perlu kita garis-bawahi, langkah hukum Bareskrim POLRI sudah on the track. Aparat kepolisian punya otoritas untuk menyelidiki serangkaian data akademik secara komprehensif atas nama Mr. Jo.
Lembaga pendidikan seperti UGM, SMA 6 Solo tak boleh menghalangi proses penyilidikan itu. Bahkan, jika penyelidikannya melebar ke KPUD Solo, KPUD Jakarta dan KPU Pusat, pun mereka akan terkena pasal pidana tersendiri jika menghalangi langkah Bareskrim. Sungguh proporsional langkah hukum itu.
Persoalannya, apakah hasilnya legitimate? Inilah pertanyaan besarnya. Landasannya – pertama – publik secara luas mengetahui persis kedekatan emosional seorang Kapolri dengan Mr. Jo, sejak dia menjabat Kapolres Solo hingga kini sebagai Kapolri.
Totalitas pengabdiannya mengantarkan Sigit Sulistyo bukan hanya ke posisi puncak karirnya, tapi menjadikannya cukup dalam utang budinya. Ikatan emosioanalitas itu membuat sangat kecil kemungkinannyta Kapolri akan memerintahkan jajaran Bareskrim Polri bekerja (menyelidiki kasus ijazah Mr. Jo) secara profesional dan penuh integritas.
Hanyalah dugaan atau berasumsi? Kita punya kasus komparatif. Ingat kasus pembantaian 6 laskar FPI di Toll Cawang – Cikampek Km. 50 pada sekitar jam 01:30 tanggal 7 Desember 2020? Sorotan publik dalam dan luar negeri begitu keras terhadap tragadi kemanusiaan itu.
Kedutaan Jerman dan Turki sampai turun lapangan, tapi langsung disesalkan oleh Kementerian Luar Negeri RI: tak etis ikut campur tangan urusan dalam negeri. Sementara, Munarman – juru bicara FPI yang menolak keras rekayasa laporan Polda Metro Jaya pada 7 Desember 2020, sekitar jam 09:00 itu – dikriminalisasi dan harus menderita di balik jeruji besi.
Kita saksikan, kritik tajam masyarakat mendorong Komnas HAM turun tangan. Awalnya – setelah memeriksa sekitar 3.000 kaset rekaman CCTV seputar jalan tol – penyelidikannya mengarah pada keyakinan terjadinya pelanggaran HAM berat, yakni menghilangkan nyawa secara paksa.
Namun, kita saksikan, pengumumannya jauh berbeda dari keyakinannya. Usut punya usut, Ketua atau unsur dari Komnas HAM itu, mendapat ancaman serius. Terjadilah peta perubahan hasil penyilidikan. Masyarakat sangat tidak menerima hasil temuan pencari fakta dari Komnas HAM.
Lalu, tampillah Bareskrim mengambil peran (pencari fakta). Setelah bekeraja beberapa waktu, akhirnya ada hasil: “menemukan” tersangka yang layak diajukan ke pengadilan. Tapi, apa dikata, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan tersangka dari tuduhan.
Ia tak terbukti melakukan kejahatan (pelanggaran berat kemanusiaan). Wow… luar biasa dramanya. Itukah “drama” pencarian fakta, atau penyelidikan sesuatu yang punya relasi kuat dengan kepentingan integral penguasa.
Lembaga penegak hukum seperti POLRI hanya dijadikan stemple jastifikasi (pembenar) tanpa melihat ligitimasinya. Mencermati langkah kamuflatif itu, kita bisa menebak secara diri hasil kerja penyelidikan Bareskrim POLRI yang kini masih di bawah kepemimpinan Sigit Sulistyo.
Meski kemungkinan KAPOLRI tidak mengarahkan “sesuatu”, tapi sinyal atau pesan implisit bisa dibaca oleh korpnya. Atas nama kesetiaan pada korp, para pelaksana tugas tak akan berani menunjukkan integriatsnya.
So, what we should do? Ada dua pendekatan yang lebih makes sense atau reasonable. Yaitu – pertama – satuan penyelidik dari Bareskrim haruslah menyertakan unsur independen yang berdedikasi (tak mudah luntur sogok).
Kedua, masyarakat itu sendiri mendirikan Tim Pencari Fakta (TPF). Tim ini bukan hanya punya karakter anti suap, tapi juga berani. Independensi mereka harus dijamin tanpa intimidasi atau infiltrasi manapun. Jika di antara dua pendekatan itu bekerja secara jujur – insya Allah – akan tergapai niat baik menemukan keberadaan ijazah Mr. Jo.
Muncul pertanyaan mendasar, akan dimulai dari mana obyek penyelidikan ijazah itu? Sangat mudah. Dari awal, kita harus mencatat, siapapun yang punya ijazah pertanda ia pernah belajar secara resmi pada sebuah lembaga pendidikan itu dan tamat. Dalam konteks ijazah UGM, maka bisa ditelisik dari hasil test masuk UGM.
Jika benar masuk tahun 1980/1981, maka buktinya bisa dilacak pada hasil test Sipenmaru Perintis I. Sekedar info, sekitar dua atau tiga hari lalu – melalui teknologi Artificial Intelligent (AI) – bisa melacak hasil test Sipemaru Perintis I 1980, terutama data mahasiswa yang diterima pada Fakultas kehutanan UGM.
Ternyata, per hari ini, 11 Mei 2025, jam 20:20, AI telah mentake down data tersebut. Daku sampat ngedumel, “Oh ternyata, AI bisa bersekongkol juga dengan penjahat”. Sang robot menjawab, “Kami memahami kekecewaan Anda”. Weleh-weleh…
Beruntung, daku sempat mencopy data krusial tersebut sebagai arsip pribadi. Dari 68 nama mahasiswa yang diterima Fakultas Kehutanan UGM tahun 1980 melalui Test Sipanmaru Perintas I, TAK ditemukan nama JOKO WIDODO. Yang ada nama DJOKO LUKMANTO, DJOKO MURWANG (33/9043).
Lalu DJOKO MURISTMEDIA (17/8999), DJOKO PURWANG (39/8940), DJOKO WALUJO (9289). Mencermati nama awalan “Dj”, menggambarkan mereka lahir jauh sebelum perubahan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan pada 1972, dari huruf “Dj” menjadi “J”.
Maka, dengan kelahiran Joko Widodo pada 1961 harusnya masih gunakan huruf “Dj”, bukan “J”. Sementara, kita saksikan bersama, namanya “Joko”. Dari sudut sosiologis, Joko Widodo sudah layak dipertanyakan validiatsnya.
Dan – menurut data AI lagi – nama yang berawalan huruf “J” pada hasil test Sipenmaru Perintis I 1980 Fakultas Kehutanan UGM, hanya ada dua orang. Yaitu, Janatius Sunarka (9081+) dan Joni Parg Sakti. Sekali lagi, data penerimaan mahasiswa tersebut bisa dijadikan pintu awal penyelidikan.
Selanjutnya, bisa melangkah ke data pembayaran masuk kuliah awal, bukti pembayaran tiap smester. Lalu, sejak kapan ada pembagian jurusan pada Angkatan tersebut? Apakah ada Jurusan Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan UGM itu?
Berlanjut ke absensi (kehadiran perkuliahan), hasil ujian, apakah IPK lebih dari 2,0? Jika tidak, berarti harus tidak naik. Jika dua kali tak melampaui IPK 2,0 berarti drop out. Jika memang ia lolos terus, di mana dan kapan kuliah kerja nyata (KKN).
Dan yang sangat krusial adalah proses pembimbingan skripsi: apa judulnya, siapa nama pembimbing dan pengujinya. Siapa yang menandatangani ijazah? Apakah sama dengan teman-teman seangkatan. Jika mata rantai studi tersebut terlalui secara faktual, maka ijazahnya tak perlu diragukan.
Namun, berdasarkan data yang beredar, mengapa foto ijazah tidak terkena stemple? Mengapa nomor serinya beda dari ijazah-ijazah UGM pada umumnya? Bahkan mengapa nama Dekan salah nama, yang harusnya “u” menjadi “oe”? Bahkan – menurut putrinya – mangapa tanda tangannya beda?
Seluruh data perbedaan itu bisa diuji secara administratif dan teknologi digital forensik. Ada permintaan, uji digital forensiknya di Singapura. Pihak Bareskrim menolak dengan alasan kualitas teknologinya sudah berstandar internasional.
Sikap ini bisa diartikan ganda: bisa sebuah pride bagi institusi POLRI, atau memang ada tendensi tertentu. Apapun argumentasinya, satu kata kuncinya: persoalan kejujuran. Baik ke laboratorium Singapura ataupun Bareskrim POLRI, hanyalah persoalan itu.
Dan untuk menjaga kridibelitas itu, hanya satu kata kuncinya: libatkan pihak independen yang profesional dan berintegritas. Tanpa itu, hasil kerja uji keabsahan ijazah Mr. Jo hanyalah dagelan. Dan itu kian memperburuk rezim Prabowo.
Maka, jika Prabowo menyadari gatah pahit (implikasi destruktif) dari Mr. Jo, tak ada kata lain, Presiden Prabowo harus mengeluarkan instruksi tegas: no compromise for truth and honesty. Sikap itu wajib hukumnya disampaikan kepada Bareskrim POLRI.
Jika tetap bermain-main demi junjungan Solo, negeri ini makin terpuruk secara ekonomi, sosial bahkan politik semakin menggalaukan. Itukah nama pro rakyat? No. It`s political bulshit. Hanya membual, omdo, omon-omon.
Ketika politik omdo terus dikemas, sunnatullah akan bicara. Ada titik tertentu Allah akan bukakan jalan keberanian untuk melawan kedzaliman struktural. Semoga dijauhkan. Jika hal ini yang diinginkan, jangan permainkan rakyat berlama-lama. Ada titik jenuh kesabaran.
Bandung, 11 Mei 2025
*) Akitvis UI Watch PLUS
Sumber: WAGroup AMAR MARUF NAHI MUNKAR (postMinggu11/5/2025/sonyafandi)