Direktur Bina Ketahanan Remaja Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) /BKKBN Edi Setiawan menyatakan, isu fatherless semakin meningkat di Indonesia. Menurut data UNICEF 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah.
Semarak.co – Edi pada acara Gerakan Ayah Teladan Indonesia dan Siap Nikah Goes to Campus Undip secara onlline, menyatakan, survei BPS 2021 menunjukkan hanya 37,17% anak-anak usia 0-5 tahun yang dirawat oleh ayah dan ibu kandungnya secara bersamaan. Padahal kehadiran ayah dalam pengasuhan adalah hal krusial.
“Berbagai penelitian menunjukkan kehadiran ayah dalam pengasuhan berdampak besar terhadap perkembangan anak baik emosional, psikologis sosial, dan akademik anak termasuk masalah kesehatan mental,’ ujarnya, dirilis humas usai acara melalui WAGroup Jurnalis Kemendukbangga/BKKBN, Rabu (19/3/2025).
Penelitian menyebutkan bahwa anak dengan ayah yang tidak terlibat aktif (fatherless) dalam pengasuhan akan lebih rentan mengalami masalah akademik, emosional, kesehatan mental, perilaku agresif, hingga keterlibatan dalam perilaku berisiko.
Fatherless ini juga merupakan salah satu faktor dalam pembentukan strawberry generation yang merupakan sebuah fenomena dimana individu dianggap rapuh, mudah menyerah sehingga iindividu tersebut akan sulit mengatasi kegagalan, tidak memiliki daya juang dan mudah stres.
Instruktur Coaching Pendidik Guru Penggerak di Kemendikbud Ristek Yohanes Agung R menjelaskan, 33% remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, tapi hanya 4,3% orangtua yang dapat mendeteksi anak mereka membutuhkan bantuan.
“Ada tiga jenis pendampingan yang berdampak buruk di masa depan anak yaitu pertama otoriter, kedua permisif atau serba boleh dan menuruti semua permintaan anak, dan yang ketiga pengabaian yaitu tidak menganggap dan memperhatikan anak,” tambahnya.
Menurutnya solusi terbaik adalah dengan wellness melalui pendekatan holistik terhadap kesehatan yang mencakup enam dimensi utama: fisik, emosional, intelektual, spiritual, sosial, dan lingkungan.
Selain itu, wellness juga diartikan sebagai adaptasi. Adapatasi sendiri ada dua jenis pertama adaptasi mental yang melibatkan emosi, perasaan, pikiran dan spiritual. Sedangkan yang kedua adaptasi komunikasi dengan keluarga, tutupnya.
Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) Suharnomo berharap, kegiatan ini memberikan pembelajaran bagi para mahasiswa dan masyarakat dalam persiapan pernikahan.
“Membutuhkan pendidikan pembelajaran untuk getting married pasti tidak gampang perlu pengetahuan yang cukup. Karena membina hubungan dari dua pihak tentu bukan untuk hubungan yang sesaat,” ungkapnya. (hms/smr)