Oleh Darmawan Sepriyossa *)
semarak.co-Pentingnya mengetahui seseorang Muslim atau tidak, tentu saja sangat relatif bahkan kadang pragmatis. Tetapi sejauh menyangkut Johann Wolfgang von Goethe, tentu saja hal itu menjadi sangat penting. Pasalnya, “Goethe bukan saja tokoh maha besar, ia adalah sebuah kebudayaan,” sebagaimana dikatakan Friedrich Nietzsche.
Dan pertemuan budaya dengan agama, tak pelak selalu kaya nilai dan makna. Kembali, penting atau tidak dalam artian pragmatisme, mendudukkan posisi seorang tokoh dunia pada tempatnya, barangkali selalu dirasakan perlu. Kalau media infotainment dengan ringan bisa mengguar apa merek pembalut yang dipakai bintang sinetron kita, misalnya, mengapa tidak.
Dan tak harus mempertanyakan apa pentingnya, bila orang merasa perlu untuk tahu agama yang dianut Goethe? Paling tidak, barangkali memang ada kalangan yang berkepentingan membayangkan Goethe melakukan shalat, puasa pada zamannya, dengan diam-diam. Dalam sepi.
Semua itu dimungkinkan karena secara faktual Goethe memang mengesankan dirinya terhubung erat dengan Islam. Lihatlah petikan sajaknya yang sangat terkenal, Mukadimah Diwan, yang berada dalam kumpulan sajaknya Diwan Barat dan Timur.
Di sini pun kau kan menyadari/Timur dan Barat berpilin/Tak terceraikan lagi/Arif berayun penuh manfaat/Di antara dua dunia. “Timur dan Barat berpilin, tak terceraikan lagi,” kalimat itu tegas, jelas.
Semua ditulis Goethe pada abad ke-19 dan sangat mungkin itu menceritakan penjelajahan intelektual dan keyakinannya. Dua budaya besar, dua keyakinan besar, berpilin dan berdialektika dalam dirinya. Semua mewujudkan Goethe yang baru, yang memandang ke depan dengan dua elan berpadu.
Sudah menjadi rahasia umum sejak lama, tokoh Jerman terbesar itu menyatakan merasa diri dekat dengan Islam. Kedekatan yang terungkap nyata dalam karya-karyanya. Fakta itu sebenarnya sangat kontras dengan latar belakang hidupnya.
Selama ini dunia mengenal Goethe tak dekat dengan Protestan, agama yang dianut ayahnya, Johann Caspar Goethe. Ia memang percaya mutlak kepada keillahian, namun dirinya selalu disebut-sebut tak pernah terikat agama formal apa pun. Secara khusus Goethe tak pernah menyatakan dirinya seorang Nasrani.
Karena ketidakacuhan kepada agama warisan keluarga itulah, kedekatan Goethe dengan Islam menjadi menarik. Hubungan intens itu terutama terlihat dari pengaruh puisi sufisme pada karya-karya sang tokoh.
Pada sajak Ganymed, misalnya, tokoh itu digambarkan Goethe sebagai seorang yang lunak, yang merindukan penciptanya dalam sebuah pertemuan melalui penyatuan. Satu sisi ajaran yang dekat dengan konsep wahdatul wujud alias unio mistica-nya tasawuf.
Ia bahkan dikabarkan menolak Yesus Kristus sebagai anak Tuhan dan juru selamat. Boleh jadi itulah sebabnya tatkala membicarakan keillahian ia sering memakai kata dewa, yang menunjukkan keakrabannya dengan mitologi Yunani.
Namun sering kali pula ia disebut-sebut mempercayai reinkarnasi, sebagaimana ditunjukkanhimne Gesang der Geister ber den Wassern (“Nyanyian Ruh di Atas Air”). Jiwa manusia/Serupa air:/Dari langit datang,/Ke langit pergi,/Dan mesti kembali/Turun ke bumi,/Abadi silih berganti.
Ada pula orang yang memakai ucapan Goethe pada 1824untuk mencoba menelisik kepercayaan yang ia pegang. “Memikirkan maut, saya sama sekali tenang, karena saya berkeyakinan, bahwa ruh kita tak mungkin sirna; ia adalah sesuatu yang bergerak dari keabadian ke keabadian.
Tentu saja, semua itu tak cukup dijadikan bahan verifikasi. Goethe pun tampaknya bukan tak menyadari rasa penasaran publik soal dirinya itu. Lihatlah kata-kata yang ia tulis pada Mein Glaube(“Kepercayaanku”). “Agama mana kuanut? Tiada dari yang kau sebut!/Mengapa satu pun tiada? Karena agama.”
Sebenarnya, perhatian Goethe kepada Islam telah tumbuh sejak fase badai dan tekanan (Sturm und Drang), khususnya saat pada 1772 ia menulis himne Mahomets Gesang (Dendang Nabi Muhammad). Goethe pada saat itu bahkan mulai menyusun drama berjudul Mahomet (Muhammad) yang tak pernah usai ia rampungkan.
Baru pada 1810 Goethe belajar bahasa Arab dan Persia dan memperdalam Alquran. Ia pun tergila-gila puisi klasik Persia, terutama karya-karya penyair sufi Firdausi, Rumi dan Hafiz. Goethe tak menutupi ketakjubannya oleh kekayaan puitis yang ditemukannyadalam karya-karya itu.
Hafiz, tampaknya sangat dalam memberinya kesan. Pada Diwan Barat-Timur terdapat puisi Unbegrenzt (Tak Berbatas), saat Goethe bertutur langsung kepada Hafiz: Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang/Ingin aku bertanding!/Nikmat dan siksa/Bagi sang kembar, kita berdua!
Pada Diwan itu pula simpati Goethe kepada Islam begitu mengemuka. Dalam puisi Ich sah, mit Staunen und Vergngen (Aku Memandang, Takjub dan Girang) ia mengatakan Alquran sebagai khasanah suci sang ilmu, dan kitab hikmah.
Simaklah rangkaian kata-katanya: Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri/Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati. Kalimat itu sempat ditafsirkan merupakan pengakuan Goethe sebagai seorang Muslim.Mungkin akan terdengar berlebihan bagi sebagian orang.
Bukan hanya itu. Simak baik-baik sajak ini: “Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan. Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh.”
Ya, karya berjudul Sabda Sang Nabiatau Der Prophet Sprichtitu memang bercerita tentang Muhammad SAW, nabi umat Islam. Yang paling sering membuat banyak kalangan bingung, Goethe tak pernah menolak ketika orang mengganggapnya seorang Muslim.
“Der verfasser des Buches lehne den verdacht nicht ab, das ser selbst ein Muselman sei. Penulis buku ini tidak menolak dugaan bahwa ia sendiri adalah seorang Muslim,” katanya dalam Diwan.
Ucapan itu membuat tak jarang orang menganggap Goethe memang memeluk Islam.Karena memang tak sedikit karya Goethe yang memperlihatkan simpatinya kepada Islam. Misalnya juga dalam Kitab Kedai Minumanatau Das Schenkenbuch.
“Apakah Alquran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Alquran ciptaan? Itu tak kutahu! Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, tiadalah akusangsi. Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, memandang wajahNya lebih segar belia.”
Lihatlah betapa dekatnya Goethe dengan tasawuf. Sementara menyatakan keimanan akan Quran, Goethe bicara memuja anggur, menyiratkan dirinya penikmatanggur sejatiyang mampu membawadirinya pada religiusitas sejati pula. Sebuah sikap yang banyak ditemukan dalam tasawuf dan para sufi.
Tetapi sekali lagi, mungkin ada banyak mereka yang bertanya, untuk apa kita menelisik apakah Goethe seorang Muslim atau bukan? Pertanyaan itu tak harus dijawab. Sebab mungkin pula kita tak harus memaksakan pencarian jati diri Goethe itu.
Goethe telah menjadi milik dunia dan biarkan saja semua punya porsi yang relative sama dalam memilikinya. [dsy] – See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2212066/goethe-pengagum-islam-atau-justru-seorang-muslim#sthash.nmGU1jUL.dpuf
sumber: inilah.com, Selasa (9/6) 2015, Sel, 9 Jun 2015, 18.10