3 Serangkai Pilkada Jakarta, Antara Perlawanan dan Bayangan Kekuasaan

Tanpa sengaja pasangan calon Pilkada Jakarta 2024 Pramono Anung (kiri) dan Rano Karno (tengah) bertemu Anies Baswedan (kanan) di sela acara Car Free Day, kawasan Soedirman Jakarta Selatan, Minggu (1/9/2024). Foto: internet

Oleh Agusto Sulistio *)

semarak.co-Sejak awal, Pilkada Jakarta sudah diwarnai oleh suasana yang kacau, penuh intrik, dan intimidasi. Situasi ini tampaknya sengaja diciptakan untuk menjegal langkah Anies Baswedan sebagai calon gubernur yang diusung oleh partai-partai seperti PKS, Nasdem, dan PKB. Intrik politik semakin memanas ketika Anies nyaris mendapatkan dukungan dari PDIP.

Bacaan Lainnya

Pada saat-saat terakhir, pengumuman pencalonan Anies oleh PDIP tiba-tiba ditunda dan akhirnya dibatalkan. Sebagai gantinya, PDIP mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Langkah ini mengejutkan banyak pihak dan memicu kecurigaan tentang adanya agenda tersembunyi untuk menyingkirkan Anies dari panggung Pilkada Jakarta.

Kecurigaan ini diperkuat oleh pernyataan Ketua DPW PDIP Jawa Barat, Ono Surono, yang secara gamblang mengungkapkan bahwa upaya menjegal Anies adalah buah dari tindakan seorang tokoh besar, yang disebutnya sebagai “Mulyono.”

Nama Mulyono diketahui publik sebagai nama kecil Presiden Joko Widodo sebelum diganti menjadi Joko Widodo. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa keterlibatan Presiden Jokowi, atau setidaknya lingkaran terdekatnya, memainkan peran dalam upaya penjegalan tersebut.

Bahkan awalnya publik juga melihat Pramono Anung sebagai calon gubernur yang disiapkan oleh Mulyono. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, mengingat Pramono adalah Sekretaris Kabinet yang selalu berada dekat dengan lingkar kekuasaan Presiden.

Kedekatan ini menimbulkan kesan bahwa pencalonan Pramono hanyalah kelanjutan dari upaya untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu dalam Pilkada Jakarta. Namun, munculnya foto yang menunjukkan Anies Baswedan, Pramono Anung, dan Rano Karno bersama-sama telah mengubah persepsi publik.

Foto ini memberikan sinyal kuat bahwa persaingan politik di Jakarta masih memungkinkan adanya kerjasama dan konsensus. Banyak yang melihat ini sebagai tanda bahwa Pram bukan sekadar titipan Jokowi, dan Anies tidak mempermasalahkan penggantian posisinya oleh Pram, baik sebagai calon gubernur saat ini maupun sebagai gubernur DKI kelak jika terpilih.

Gambar simbolis ini berhasil meyakinkan kembali masyarakat yang merindukan demokrasi sejati dalam Pilkada Jakarta, bahwa kompetisi politik tidak harus berakhir dengan perpecahan atau permusuhan. Sebaliknya, masih ada harapan untuk kolaborasi demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan rakyat.

Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa campur tangan kekuasaan eksekutif dalam pemilihan kepala daerah bukanlah hal baru. Di masa lalu, misalnya pada era Orde Baru, pemilihan kepala daerah sering kali diatur sedemikian rupa oleh pemerintah pusat untuk memastikan loyalitas kepala daerah terhadap kebijakan nasional.

Demokrasi di bawah bayang-bayang kekuasaan menjadi keniscayaan, di mana rakyat sering kali hanya menjadi penonton dalam panggung politik yang penuh rekayasa. Namun, reformasi tahun 1998 telah membuka jalan bagi perubahan signifikan, di mana demokrasi langsung menjadi pilihan dalam pemilihan kepala daerah.

Pilkada Jakarta, sebagai salah satu barometer politik nasional, seharusnya menjadi contoh bagaimana demokrasi dijalankan dengan adil dan transparan. Upaya penjegalan terhadap Anies dan persepsi bahwa Pramono adalah “boneka” dari kekuasaan menunjukkan tantangan besar yang masih dihadapi demokrasi di Indonesia.

Perjuangan Publik dan Tuntutan Keadilan

Di tengah kekacauan dan intrik ini, publik tetap menunjukkan semangat heroik dalam memperjuangkan demokrasi yang sejati. Masyarakat Jakarta yang dikenal kritis dan vokal, menuntut adanya proses politik yang jujur dan adil.

Mereka menolak dikendalikan oleh skenario yang sudah diatur oleh elit politik. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi proses Pilkada adalah bentuk nyata dari perjuangan demokrasi.

Publik tidak ingin hanya menjadi pion dalam permainan politik para elit. Mereka ingin suara mereka didengar dan diakui. Keberanian publik untuk menolak segala bentuk manipulasi politik dan menuntut keadilan dalam Pilkada adalah bukti bahwa demokrasi, betapapun rumit dan sulitnya, tetap menjadi kekuatan yang hidup dan berdenyut di Indonesia.

Foto Anies, Pramono, dan Rano berdiri bersama bukan hanya simbol dari pencairan suasana politik, tetapi juga representasi dari harapan bahwa demokrasi bisa mengatasi perbedaan melalui dialog dan kerjasama.

Selama masih ada publik yang berani bersuara, harapan untuk demokrasi yang lebih baik akan selalu ada. Ini adalah narasi heroik dari rakyat yang tidak menyerah pada situasi yang tampak mustahil, melainkan terus berjuang untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi sejati di tanah air.

Stasiun KRL Sawah Besar, Jakarta Pusat, Senin 2 September 2024 – 11: 09 Wib

Blasting Algoritma Cloud System

 

sumber: WAGroup PERSATUAN MUSLIM SELURUH INDONESIA DAN DUNIA (postSenin2/9/2024/anwarsaekhu)

Pos terkait