MK Ikut ‘Bermain Politik’ Memisahkan PKS-Anies

Presiden PKS Ahmad Syaikhu (kanan) saat berkunjung ke rumah Anies Baswedan di bilangan Lebak bulus Jakarta Selatan. foto: internet

Oleh Dr (cand) Abdullah Kelsen Simanungkalit, SH, LLM *)

semarak.co-Wuih, keren nih MK tiba-tiba jadi pahlawan demokrasi. Melalui dua putusannya nomor 60 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan nomor 70 tentang syarat usia kepala daerah, MK kembali jadi jagoan setelah dihujat dan dimaki-maki sebagai ‘Mahkamah Keluarga’ akibat putusannya yang memberikan karpet merah untuk Gibran jadi cawapres.

Bacaan Lainnya

Inti dua putusan itu adalah, yang nomor 60 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dengan persentase yang lebih rendah. Intinya, kalau dikaitkan konteks Jakarta, PDIP yang sebelumnya tidak bisa memajukan sendiri, jadi bisa memajukan calon sendiri. Dan dikaitkan juga dengan Anies Baswedan yang sudah kehilangan dukungan.

Sedangkan, putusan nomor 70 terkait dengan Kaesang nggak bisa maju di pilgub Jawa Tengah. Sorak sorai dan dukungan pun berdatangan. Dari para guru besar, profesional, hingga para komika cum aktivis FOMO yang nggak mau ikut ketinggalan.

Di sini, kita fokus ke putusan Nomor 60 dulu ya? Karena ini relevan dengan kota gw. Kayak nyanyiannya the Jakmania, “Jakarta Kota Gw. Oren warnanya Gw dst.” Pertanyaannya, sudahkah semua baca putusan MK itu dengan seksama, belum? Kalau sudah, ada yang aneh nggak? Kalau nggak ketemu yang aneh, coba baca lagi! Belum ketemu juga, waduh!

Jadi begini, dulu dosen gw selalu ngajarin kalau baca putusan itu dimulai-lah dari belakang. Amar putusannya, pertimbangannya, baru ke kronologi. Ini yang ngajarin dosen hukum ya, bukan dosen bahasa Arab.

Nah, yang paling akhir dari putusan setelah amar itu ada keterangan kapan itu putusan disepakati dan kapan putusan itu dibacakan. Kronologinya, sebelum putusan itu dibacakan di muka umum, putusan itu disepakati dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Kalau kalian baca putusan nomor 60 itu sudah disepakati dalam RPH tanggal 1 Agustus 2024 dan baru dibacakan di sidang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Agustus 2024. Jadi, ada jeda 19 hari. Memang, tidak ada ketentuan di UU MK dan Hukum Acara Pengujian UU di MK terkait jarang waktu RPH dan pengucapan putusan.

Seringkali memang dibacakan setelah RPH dilakukan. Namun, dalam kondisi yang mendesak ini, seharusnya bisa dibacakan lebih cepat. Ini coba kita kaitkan dengan hubungan PKS dan Anies. Sebelumnya, sejak Juni 2024, PKS sudah deklarasi pasangan Anies-Sohibul Iman untuk maju di pilgub di Jakarta, tapi kurang 4 kursi.

Setelah dicoba berbagai upaya melobby partai lain, kekurangan 4 kursi tersebut tidak bisa ditambah. Hingga, akhirnya PKS merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) setelah ditawari kadernya Suswono menjadi cawagub Ridwan Kamil. Lalu, pada 19 Agustus 2024 deklarasikan RK-Suswono.

Anehnya, sehari kemudian, yakni pada 20 Agustus 2024, MK baru membacakan putusannya ke publik yang sudah dibuat sejak 1 Agustus 2024 yang lalu. Ada yang janggal kan? Coba putusan itu dibacakan jauh-jauh hari, sudah melenggangg itu duet Anies-Sohibul.

Jadi, sebelum kalian demo ke DPR atau membela MK secara membabi-buta, lebih baik kalian tanyakan kenapa MK mengumumkan putusannya dengan jeda 19 hari? Atau sehari setelah PKS deklarasi RK-Suswono bersama KIM? Makanya, nggak usah lugu-lugu amat juga ngelihat MK.

Di sana ada hakim gengnya Jokowi seperti Guntur, Daniel dan Paman Anwar; ada hakimnya PDIP Arief Hidayat, dan ada hakim yang progresif reaksioner macam Saldi, Soehartoyo. Ada juga yang ikut2an arah angin kayak Enny dan Arsul. Mereka masing-masing juga punya kepentingan. Tinggal dilihat konsolidasi mana yang menang dalam suatu isu yang sedang dipersoalkan.

*) Koordinator Forum Pokrol Bambu

sumber: WAGroup (postSabtu24/8/2024/yuni)

Pos terkait