Bulog Klaim Sudah Lakukan Konsep Tiga Pilar dari Ketahanan Pangan

Direktur OPP Perum Bulog Karyawan Gunarso menerima cinderamata dari panitia usai jadi pembicara diskusi publik
Dalam ketahanan pangan, Perusahaan umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) memegang konsep tiga pilar yang terintegrasi, yaitu Ketersediaan, Keterjangkauan, dan Stabilitas. Ketiga pilar ini sudah berjalan dalam implementasi tugas sebagai operator ketahanan pangan dari pemerintah.
Direktur OPP Bulog Karyawan Gunarsi mengatakan, pilar pertama ketahanan pangan adalah ketersediaan yang sudah dilakukan oleh Bulog. Dalam rangka untuk memenuhi ketersediaan, Bulog menjalankan Inpres No 5 tengang penyerapan gabah dan beras dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah, termasuk kualitas berasnya.
“Pengalaman selama ini, Bulog sudah melakukan pengadaan 2,1 juta ton atau 2,1 miliar kilo dan tiga juta ton. Pada 2017, perwujudan pilar ketersediaan ini dengan membelinya dari Jawa, Sulawesi Selatan, NTB, dan Sumsel. Pokoknya kita membeli dari daerah-daerah produsen dan Bulog mendistribusikan. Nah, untuk memenuhi kekurangan di wilayah-wilayah tertentu, kami sebarkan dengan program Movenas. Tahun sebelumnya 2016, kami beli sebanyak 2,5 juta ton dan langsung disebarkan,” ujar Karyawan sebagai pembicara diskusi publik dengan Tema Komitmen dan Tantangan Ketahanan Pangan Nasional di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (21/3) sore tadi.
Cuma persoalannya, lanjut Karyawan, Bulog membelli itu sesuai regulasi, yaitu ada harga, ada barang. Harganya ditentukan pemerintah Rp 7,3 ribu dan untuk gabah Rp 3,7 ribu. Plus nanti ada kebijakan tambahan yang namanya fleksibilitas. “Bulog itu membeli beras medium yang menurut ketentuannya 20-25 persen karakter brokennya,” ujar Karyawan didampingi pembicara dari Komisi IV DPR Fadhori dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Pertanian Agung Hendriadi.
Kedua, lanjut dia, Bulog menyimpan beras cukup lama bahkan periode setahun. Ini tentu harus dirawat dan dijaga. Sementara sifat barang itu mudah rusah. “Itu kenapa ditemukan beras kami berdebu atau diprotes ada kutunya. Karena simpanannya cukup lama. Upayanya, kami lakukan treatement perawatan pengeringan, setiap pagi gudang dibuka untuk pengaturan air asi. Beras itu butuh air asi,” ungkapnya.
Pihaknya tidak bisa langsung mendistribusikan karena Bulog terikat tugas pemerintah yang outlet sudah ditentukan. “Kalau pemerintah minta menyalurkannya sebulan satu juta, tentu cepat habis. Ini penyalurannya, sebulan 140 ribu ton saja. Terus nanti jumlahnya turun, setiap bulan. Sementara stok berasnya jutaan. Misalnya, sekarang satu juta dibagi 100 ribu, jadi 10 bulan. Nah, kalau stoknya dua juta, lantas dibagi 100, itu berapa bulan coba,” keluhnya.
Upaya koordinasi pada instansi terkait, diakui Karyawan sudah dilakukan dengan menyampaikan penyaluran sebulan ada risiko kerusakan dan risiko kesusutan beras maupun kualitasnya, dan sebagainya. “Upaya lain, tata cara penyimpanan menirut Thailand di mana di bawah lantainya sudah adaair asi manual yang mengatur kelembabannya, lalu tata kelola pergudangan secara teknologi,” ungkapnya.
Keterjangkauan pun sudah dilakukan dengan konsepsinya pemerintah mengeluarkan program Rastra atau untuk masyarakat berpendapat rendah agar mereka bisa menjangkau akses pangan dan ketiga stabilisasi, dilakukan dengan operasi pasar (OP). Program intervensi pasar lainnya,  misalnya kita gerakkan program stabilisasi pangan dengan gerakan intervensi secara masif dilakukan untuk gerakan stabilisasi pangan.
“Komoditinya ada beras, gula, minyak goreng, dll. Mengenai jumlah tentu sesuai kebutuhannya. Kalao pasar terus membutuhkan, kita akan terus gelontorkan. Keluar yang brand kemasan Bulog GSP akan gelontor pasar,” tukasnya.
Lebih jauh Karyawan mengatakan, pengadaan beras di Jawa mengalami surplus, tapi di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jambi, atau Bengkulu mengalami kekurangan beras, itu artinya tidak merata. Guna mencapai pemerataan, hanya bisa dilakukan dengan distribusi. Menurut Karyawan, beras ada di manapun. Tapi akibat distribusi, tidak semua bisa sama-sama mengakses pangan ini.
“Maka banyak program pemerintah  yang memudahkan keterjangkauan.  Pilar kedua ini harus dengan membuka konektivitas. “Lalu produknya sangat mudah rusak. Sehingga diperlukan gudang penyimpanan. Jadi jangan heran bila konsumen menemukan beras Bulog ada kutu misalnya, dan beras itu sangat ketergantungan dengan iklim,” ujarnya.
Kemudian karakteristik dari aspek konsumen. Jadi ada temuan yang banyak tidak disadari, seperti beras pulen tidak diminati orang Sumatera Barat. “Mereka sukanya beras pera. Ini beda dengan orang Jawa yang suka beras pulen. Artinya, karakteristik ini mempengaruhi pemerataan distribusi tadi,” papar Karyawan.
“Jangan orang Sumatera Barat bilang langka beras karena yang ada beras pulen. Belum lagi dari karakteristik pedagang beras,” ujar Karyawan bersama pembicara dari anggota Komisi IV DPR Fadhori dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasioanal Kementerian Pertanian Agung Hendriadi.
Fadhori mengakui, bicara ketahanan pangan akan terkait dengan ketersediaan. karena itu bicaranya harus dari hulu ke hilir. “Seperti impor beras itu, bicaranya jangan langsung di bagian tengah dengan selalu bicara hulunya,” imbuhnya.

Pelaku ketahanan pangan itu, lanjut Fadhori, adalah petani. Petani yang menghasilkan beras. “Tapi apa lahannya cukup, seberapa besar produksi petani menghasilkan beras, dan lain-lain. Jadi petani tidak lancar memproduksi beras karena masalah infrastruktur. Selain lahan, tapi juga irigasi, dan kondisi jalan untuk distribusi,” tuntasnya. (lin

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *