Oleh Ali Sodikin *)
semarak.co-Meskipun Presiden Joko Widodo ingin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kuat, namun faktanya hari demi hari lembaga anti rasuah tersebut makin lemah. Pelemahan KPK sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran masyarakat luas ketika momentum revisi undang-undang KPK digulirkan DPR RI tahun 2019.
Pada kenyataannya kekhawatiran masyarakat terhadap pelemahan KPK pasca revisi Undang-Undang KPK sungguh benar terjadi. Trend KPK kini menjadi Lembaga yang menghiasi pemberitaan media massa bukan karena prestasi gemilang menangani kasus-kasus kakap korupsi.
Malah menjadi organisasi pemerintahan yang mirip OKP yang lebih banyak berkonflik dan berkutat pada permasalahan internalnya. Kini pasca Pilpres 2024, kita berharap pemerintahan yang nanti akan terbentuk dapat menjadi harapan agar KPK kembali kuat.
Karena substansinya, harapan agar KPK bisa kuat kembali tersemat pada kehendak politik dari pemerintah. Terutama komitmen Presiden dalam pencegahan dan pemberantasan Korupsi. Selain itu, pimpinan KPK juga harus berani mereformasi internalnya mulai dari tata kelola kelembagaan.
KPK Kuat Zaman SBY
Sebagai institusi pencegahan dan pemberantasan kejahatan korupsi, tentunya KPK menghadapi tantangan bahkan ancaman yang sangat berat. Karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Bukan saja para koruptornya orang-orang hebat yang punya kuasa.
Namun juga modus operandi, jaringan, dan sistemnya juga sangat kuat, rapi, terorganisir. Untuk menghadapi kejahatan besar yang kuat, tidak cukup hanya dengan landasan undang-undang KPK yang kuat, pimpinan KPK yang berintegritas dan berani.
Lebih dari itu dibutuhkan komitmen pemberantasan korupsi yang kuat dari Presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara tertinggi di Indonesia. KPK kuat dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi salah satu contohnya.
Meski tidak sempurna tetapi paling tidak kita bisa melihat dan merasakan betapa KPK begitu gemilang mengungkap dan memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Hal tersebut dikatakan Prof Mahfud MD yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sebuah wawancara podcast merdeka.com.
“Kalau presidennya ingin baik, eh tentunya ingin baik dia. KPK yang kuat, yang tegas, karena membantu dia, pasti. Ya nggak, enak. Dulu ya pak, saya bekerja dengan banyak Presiden. Pak SBY itu kalo merawat KPK, saya salut itu. Kalau ada apa-apa dengan KPK, dia lindungi itu. Saya tahu, sampai mengeluarkan Perpu. Ya zaman saya Ketua Mahkamah Konstitusi, itu.”
“Termasuk Ketika KPK, dua orang itu akan ditangkap (Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah). Saya ditelpon oleh Erry Riana (Erry Riana Hardjapamekas) tengah malam. Pak Mahfud, ini saya dengar si Chandra sama si Bibit mau ditangkap, tolong sampaikan ke Pak SBY. Kata Pak Erry Riana waktu itu.
Dilanjutkan Prof Mahfud MD, “Pak SBY kalau Pak Mahfud bicara mendengar. Subuh saya ke rumah Pak SBY, di Cikeas. Pak ini mau ada penangkapan loh pak, anu. Panggil Pak Joko Suyanto (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI 2009 – 2014).”
“Cegah itu jangan sampai terjadi. Pak Joko Suyanto dipanggil sama dia. Oke Pak Mahfud, kita kerja, itu Pak SBY loh. Sesudah tertunda, tertunda, akhirnya ditangkap juga kan, ngeyel ini, Polri-ya ngeyel waktu itu. Kan Pak SBY yang kemudian yang mengeluarkan Perpu agar tidak terjadi kekosongan.”
“Nah ini Pak SBY kalau untuk KPK oke komitmennya (sambil angkat jempol). Saya, saya bekerjasama dengan dia melindungi KPK. Oleh sebab itu saya berani dulu kan, gebrak lewat MK. Karena Presidennya mendukung. Contoh yang baik untuk Presiden Berikutnya.” demikian cerita Prof Mahfud MD.
*) Pengamat Sosial Politik/dosen