Indonesia belum siap menghadapi era ekonomi digital. Sebab infrastruktur penopang ekonomi digital di Indonesia itu belum memadai. Namun era ekonomi digital makin tumbuh di Indonesia, terbukti penetrasi internet di Indonesia yang makin meningkat. Ambil contoh konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih sebesar 977,69 Kwh atau masih di bawah sebagian negara ASEAN.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bambang Brodjonegoro mencatat rasio elektrifikasi di Indonesia memang sudah sebesar 93,08% dengan kapasitas pembangkit 60,16 giga watt (GW). Namun, dia mengeluhkan akses terhadap listrik yang belum merata. Di Asean, kata Bambang, kita di bawah Vietnam dan jauh di bawah Malaysia. Konsumsi listrik penting itu karena mempengaruhi digitalisasi. Di negara besar konsumsi listrik tinggi.
“Di daerah tersambung listrik, tapi 24 jam enggak? Karena ada yang hanya 6 jam sehari. Tegangan ada yang naik turun, banyak aspek (masalah) soal pasokan listrik. (Padahal) Itu aspek kesiapan Indonesia masuk ke era digital,” kata Bambang dalam seminar bertajuk Quo Vadis Ekonomi Digital Indonesia, di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (21/2).
Saat ini, lanjut Bambangm, ada 432 kabupaten/kota di Indonesia yang sudah terkoneksi internet. Akan tetapi, baru 222 kabupaten/kota yang sudah bisa menikmati jaringan 4G. Meskipun ada operator swasta yang sedang membangun fasilitas jaringan internet pada 25 ibukota kabupaten dan kota, tapi masih banyak wilayah yang belum terjangkau. Bambang mencontohkan, masih ada sebagian daerah di kawasan Kepulauan Anambas, Natuna, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, yang tak terjangkau jaringan internet.
“Seluruh jaringan sebetulnya ada yang telah dibangun operator, tapi ada spot yang tidak dibangun operator karena tidak menguntungkan. Spot yang enggak keisi ini, diisi Palapa Ring,” ujarnya.
Karena itu, menurut Bambang, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berupaya memperbaiki akses jaringan internet dengan membangun Palapa Ring, yakni proyek pembangunan serat optik di seluruh Indonesia. “Tingkat penetrasi penggunaan internet di Indonesia masih 51 persen. Atau masih kalah jauh dari Vietnam yang sebesar 67 persen dan Malaysia 71 persen,” sebutnya.
Padahal, Bambang melanjutkan, potensi ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Salah satu indikasinya tercermin dari besarnya jumlah pengguna telepon seluler. “Cukup tinggi pengguna selulernya. Itu modal,” kata dia.
Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) secara berurutan sejak 2011 hingga 2016, persentase pengguna telepon seluler baru sebesar 39,2 persen pada 2011. Sementara pada 2016 angkanya tubuh menjadi 58,3 persen.
Bambang juga mencatat pengguna internet di Indonesia meningkat dari sebesar 38 juta pada 2013 menjadi 88 juta di 2015. Pada 2020, Bappenas memprediksi ada 145 juta pengguna internet di Indonesia. Sayangnya, berdasar data terbaru catatan Bappenas, ada 250.381 konten positif dan 777.941 konten negatif yang diakses oleh pengguna internet di Indonesia.
“Rata-rata penduduk Indonesia menggunakan internet selama 3,5 jam, dua kali lipat dari penduduk Amerika. Nah kita harus maksimalkan ini, jangan hanya target pasar tapi jug pelakunya. Itu bisa baik kalau mengakses konten yang positif. Kalau kita di kota sudah masuk ke era ekonomi digital maka kita akan meninggalkan saudara-saudara kita yang belum tersentuh internet, seperti di daerah terpencil. Jadi ini harus seimbang,” katanya.
Sebab itulah saat ini pemerintah sedang menggenjot proyek untuk menjangkau daera-daerah yang belum tersentuh internet. Bambang mendorong masyarakat agar siap menghadapi invansi digital ini dalam kehidupannya. Salah satu yang ditekankannya adalah agar publik khususnya yang usai produktif agar tak hanya jadi market dari era ekonomi digital ini.
“Ini syarat dasar kita untuk menghadapi era ekonomi digital. Yang jadi pertanyaan besarnya adalah sanggupkah kita jadi Active Player di era ekonomi digital ini. Karena secara faktanya masyarakat Indonesia termasuk yang besar dalam mengkonsumsi internet. Apalagi melihat tingginya antusias masyarakat dengan internet, ini akan jadi Market menggiurkan bagi negara asing memanfaatkan hal ini,” ulasnya.
Hantaman e-Commerce
Saat ini banyak toko ritel tutup. Hal itu dinilai karena kemunculan e-commerce, sehingga toko online lebih berjaya. “Makanya saat ini butuhnya kurir dan gudang. Sektor transportasi dan komunikasi pun menjadi yang paling banyak dapat manfaat dari perkembangan digital,” ujar Bambang.
Sayangnya, kata dia, banyak transaksi online yang belum terekam di data pemerintah. Maka, ia meminta Badan Pusat Statistik mulai membuat big data di tahun ini. “Karena kalau pakai pendekatan tradisional terus banyak yang nggak kecatat transaksi e-commerce,” katanya.
Ia menambahkan, revolusi industri bakal terus berlangsung. Hanya, menurutnya, terkadang ada pengusaha ritel yang melupakan keberadaan e-commerce. Sehingga tidak bergerak cepat dan akhirnya tutup. “Ada pengusaha ritel kurang move on, menganggap bisnis ritel sepi karena ada masalah di masyarakat. Mereka lupa sekarang ada online,” ujar Bambang.
Ia menyebutkan, saat ini pendapatan e-commerce di Indonesia telah mencapai 6 miliar dolar AS. Diperkirakan, pertumbuhan e-commerce bisa menembus 18 persen per tahun dan dapat berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 35 miliar dolar AS. (lin)