Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dokter Hasto mengatakan bahwa remaja adalah penentu bonus demografi maupun stunting. Secara nasional, terang dr Hasto, bonus demografi di Indonesia sudah meninggalkan puncaknya. Ini supaya menjadi pemahaman kita bersama.
semarak.co-Hal tersebut dikatakan dr Hasto dałam Seminar Nasional Kolaborasi PKBI dan BKKBN dengan topik materi Rencana Strategis Nasional dalam Pencegahan Stunting untuk Mewujudkan Generasi Emas 2045 di Jakarta Timur, Sabtu (24/2/2024).
“Stunting ditentukan oleh adolescent (remaja). Karena yang hamil dan melahirkan anak-anak stunting adalah yang sekarang masih usia produktif. Sekali lagi, adolescent sebagai penentu kualitas SDM ke depan. Juga penentu bonus demografi,” jelas dr Hasto dalam sambutan.
BKKBN dan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) mempunya misi yang sama dalam membangun sumber daya manusia berkualitas. “Ke depan kita punya spirit yang tinggi untuk kerja sama antara PKBI dan BKKBN,” ujar dr Hasto dalam sambutan.
Semua pihak harus mempunyai kesadaran bahwa sekarang bangsa ini sedang menyongsong tahun 2030, periode akhir SDGs. Sementara BKKBN dan PKBI tentu sangat terkait karena keduanya memiliki tugas mulia terkait SDM.
Ada beberapa tantangan di depan yang dihadapi bangsa ini dalam konteks pembangunan SDM. Pertama, bonus demografi, berkah atau bencana. Kedua, kualitas SDM yang baik. Ketiga, bagaimana keluarga harus berkualitas. Bahwa KB harus bisa mewujudkan keluarga berkualitas.
“Kalau beberapa waktu lalu Bapak Presiden Jokowi sudah menggelorakan Revolusi Mental, itu menjadi sesuatu hal yang penting untuk saat ini. Sehingga menyambut 2030, akhir dari SDGs, ada pekerjaan besar,” tutur dr Hasto dalam paparan sebagai pembicara kunci.
Tentu ini suatu tekanan yang harus kita ubah dalam menyikapi kualitas SDM kita. Di tengah isu yang mengemuka dalam acara tersebut, ada pertanyaan quo vadis. Kira-kira mau ke mana arah pembangunan SDM bangsa ini?
“Sangat ekspektatif ketika kita ingin menargetkan stunting 14% untuk menuju generasi emas yang unggul. Ini menjadi tantangan tersendiri. Angka 14% untuk penurunan stunting sebetulnya merepresentasikan bahwa bangsa ini harus bisa mewujudkan kualitas SDM sebaik-baiknya,” ujarnya.
Spiritnya presiden melampaui spirit WHO (Badan Kesehatan Dunia) terkait batas rekomendasi stunting global. “WHO di bawah 20 persen. Tetapi Presiden punya semangat tinggi bersama kita untuk bisa melebihi target WHO, yakni stunting 14 persen di 2024,” jelasnya.
Dalam hal ini tampak betapa strategisnya peran PKBI dan BKKBN. Karena fondasi utama pembangunan SDM ada pada keluarga. Tercapainya kemajuan bangsa bertumpu pada keluarga. Maka, bangsa ini harus mempunyai perhatian yang kuat terhadap program yang terkait dengan keluarga.
Menyinggung dependency ratio, dr Hasto berujar bahwa di beberapa wilayah sangat bervariasi. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini persentase penduduk produktifnya cukup tinggi. Dalam hal ini, gambaran dokter Hasto seperti ini. “Misalkan Lampung, angkanya 46,41,” rincinya.
Artinya, lanjut dr Hasto menerangkan, setiap 100 orang yang bekerja akan memberi makan 46 orang yang tidak bekerja dengan mengatakan Jakarta, Kalimantan Utara, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta angka dependency ratio-nya rendah.
Orang sering salah paham, sambung dr Hasto, tentang kita akan memasuki bonus demografi. Sebetulnya sekarang ini kalimat yang tepat, kita akan meninggalkan bonus demografi. Karena ternyata dependency ratio terendah untuk nasional rata-rata 44,33 sudah terjadi di 2020.
Sejak tahun itu bangsa ini mulai meninggalkan dependency ratio yang rendah. Pada tahun 2040, kata dokter Hasto, Indonesia akan menyentuh angka 50, di mana yang bekerja 100 dan yang ditanggung 50. Angka itu adalah angka yang berat untuk keluar dari middle income trap (MIT).
MIT adalah sebuah kondisi di mana negara-negara berpendapatan menengah sulit meningkatkan posisi mereka ke pendapatan tinggi. “Kita bisa keluar dari jebakan MIT apabila puncaknya berada di 40, 41, 43. Itu cukup ringan. Tetapi ketika menyentuh 50, cukup berat, jelasnya.
Ia menambahkan, negara-negara yang belum sempat kaya, dalam hal ini middle income countries, masih terjebak di dalam pendapatan menengah ke bawah, tapi sudah terlanjur aging population. “Itu menjadi sulit untuk kaya,” tegas dokter Hasto.
Menurut dokter Hasto, Indonesia sebetulnya harus kemarin-kemarin membangun kualitas SDM yang hebat. Ini agar peluang bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal. Stunting memang menurun menjadi 21,6%. Tapi ingat, kalau kualitas SDM tidak hanya ada stunting yang menentukan.
Salah satu yang menggerus produktivitas adalah juga mental emotional disorder. Dalam pandangan dr Hasto, banyak sekali perilaku-perilaku yang berkategori mental emotional disorder ataupun autisme. Ada juga 5,1% karena Napza, kemudian orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), sederet masalah lainnya.
“Toxic people kata anak remaja kita. Jadi, orang toxic berteman dengan orang toxic, atau mungkin orang toxic berteman dengan orang waras, akhirnya konflik terjadi toxic. Walaupun ia tidak stunting, tapi kalau toxic maka ia menjadi orang yang error. Ini repot,” paparnya.
dr Hasto mengkhawatirkan kejadian itu karena proses positif pembangunan keluarga akan terkena dampaknya. “Kita sepakat, PKBI dan BKKBN akan membimbing keluarga menuju keluarga berkualitas. Keluarga yang tentram, mandiri dan bahagia. Tentu di dalamnya jelas ada faktor kesehatan reproduksi yang juga harus menjadi perhatian bersama,” urainya.
Perceraian
Di bagian lain paparannya, dokter Hasto juga melihat angka perceraian meningkat tajam gara-gara konflik antar suami dan istri. Dari tahun ke tahun meningkat angkanya. Mengutip data, dokter Hasto menyebut di tahun 2021 angka perceraian mencapai 581 ribu.
Saat ini jumlahnya selalu di atas angka 500 ribu, di tengah data yang menunjukkan angka perkawinan di negeri ini mencapai 1,9 juta per tahun. Dengan kondisi ini, dr Hasto mempertanyakan apakah keluarga yang akan diantarkan menuju cita-cita Indonesia emas 2045 menjadi keluarga yang berkualitas kalau ada pertengkaran yang terus menerus di dalam keluarga.
“Itu yang menjadi masalah kecil tapi terus menerus terjadi. Saya berharap PKBI dan BKKBN ke depan mampu membangun kerja sama menyiapkan keluarga dengan calon-calon pengantin memiliki sikap dewasa dalam menyikapi perbedaan antara suami dan istri,” ujarnya.
“Kita bangun agar calon-calon pengantin sehat secara umum maupun secara reproduksi. Dan siap untuk menjadi keluarga yang berencana. Tidak hamil kalau tidak direncanakan, sehingga tidak banyak unwanted pregnancy,” demikian dr Hasto berharap.
dr Hasto juga mengingatkan bahwa masalah kecukupan ekonomi dalam keluarga sesungguhnya menjadi masalah nomor dua setelah konflik-konflik kecil dalam keluarga. Perselisihan di dalam keluarga yang kecil-kecil itu yang membuat perceraian paling banyak.
Ekonomi nomor dua. Lalu, lanjut dia, meninggalkan atau minggat dari rumah urutan nomor tiga. Berikutnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mabuk. Terkait dengan keadaan itu, dr Hasto mengingatkan banyak remaja yang mengidap mental emotional disorder.
Angkanya naik dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% di 2019. “Gangguan jiwa berat juga mengalami kenaikan. Angkanya 1,7% tahun 2013 menjadi 7% tahun 2018,” ungkap dr Hasto seraya menambahkan bahwa difabel dan autisme juga meningkat angkanya mencapai 3,3%.
Kondisi ini harus menjadi perhatian bersama. “Permasalahan kesehatan tidak cukup dari fisik stunting atau tidak stunting, tapi juga jiwanya,” ujar dr Hasto mengingatkan sambil mengutip slogan Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya.
Dalam paparan yang cukup panjang namun kaya dengan informasi menarik, dr Hasto menyatakan keprihatinannya ketika mengetahui hasil hubungan atau kontak pertama seksualitas laki-laki dan perempuan di periode 2013-2015 puncaknya di usia 18 tahun.
Meski di usia 13-14 sudah juga terjadi kontak seksual. Padahal, di 1990an angka puncaknya di usia 20 tahun. Ia mengingatkan pada orangtua agar waspada lantaran usia remaja melakukan hubungan seks semakin maju.
Sepertinya, semakin awal kontak seksnya atau early sexual intercourse sementara pemahaman mereka tentang masalah seksualitas belum maju. Ini tantangan bersama, karena kata dokter Hasto masih banyak yang menganggap pendidikan seks di usia dini tabu dilakukan orangtua.
“Semoga ke depan BKKBN, PKBI dan Kementerian Kesehatan bisa sama-sama memajukan sexual education. Sexual education bukan tentang belajar hubungan seks, tapi tentang bagaimana menyehatkan reproduksi laki-laki dań Perempuan,” jelasnya.
Maternal mortality
Yang dikhawatirkan dokter Hasto, di antaranya semakin muda mereka melakukan intercourse akan berdampak unwanted pregnancy, hamil di usia terlalu muda. Modern Contraceptive Prevalence Rate atau mCPR perlu diperhatikan. Age Specific Fertility Rate (ASFR) juga akan menjadi perhatian.
Hal itu, menurut dr Hasto akan menyebabkan semakin banyak remaja putus sekolah dan berulang kali hamil. Yang juga pasti, maternal mortality rate (angka kematian ibu-AKI) akan tetap tinggi, di mana saat ini di posisi 189 per 100 ribu kelahiran hidup.
Bandingkan dengan Singapura yang angkanya 7 per 100 ribu kelahiran hidup. Juga angka kematian bayi, selain angka kematian ibu dan putus sekolah, mengakibatkan mereka tidak bekerja yang kemudian ‘insecure’ di hari tua.
“Kalau menjadi ‘miss demographic dividend’ tentu ini menjadi kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri,” kata dr Hasto sambil menyinggung bahwa stunting ditentukan oleh adolescent. Karena kehamilan dan kelahiran anak-anak stunting adalah mereka yang saat ini berada di usia produktif.
“Sekali lagi, adolescent sebagai penentu kualitas SDM ke depan, juga sebagai penentu bonus demografi,” tandas dokter Hasto dirilis humas usai acara melalui WAGroup Jurnalis BKKBN, Minggu (25/2/2024).
Human Capital Index
dr Hasto juga mencoba menjelaskan kenapa WHO sejak 2006-2007 melaunching standar untuk stunting. Katanya, karena pendekatan kualitas SDM menggunakan Human Capital Index (HCI). “Bagaimana kemampuan intelektual dan skill seseorang dalam bekerja di sebuah perusahaan atau institusi sangat erat indikatornya dengan Human Capital Index,” jelasnya.
Salah Satu unsur di dalam Human Capital Index adalah stunted (tinggi badan). Itulah mengapa sejak 2007 dilaunching standar internasional untuk stunting. Indonesia termasuk negara yang tidak membuat standar nasional terkait stunting.
Alias mengikuti standar internasional. Karena itu, tidak mesti yang pendek itu stunting. Tetapi stunting itu pasti pendek. Anak stunting dipersepsikan akan tidak cerdas, akan tidak sehat. Terutama di usia 40 tahun ke atas metabolisme tubuh mereka mulai mengalami gangguan, termasuk gangguan kardiovaskular.
Namun mereka yang bertubuh pendek tapi sehat dan cerdas, berarti mereka tidak stunting. Saat ini angka stunting yang tercatat di Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) sekarang berubah menjadi SKI (Survei Kesehatan Indonesia), baru mencatat pendek tubuh anak berdasarkan panjang badan berbasis umur.
Pemerintah belum mencantumkan indikator kecerdasan otak, motorik halus dan kasar. “Yang kita catat baru pertumbuhannya, belum perkembangannya. Karena itu, kalau hari Ini stunting masih 21,6 persen, jangan berkecil hati. The real stunting sebetulnya pasti jauh di bawah 20%,” ujarnya.
dr Hasto optimis bersama PKBI dan mitra kerja lainnya, BKKBN akan lebih mampu mencegah dan mengantisipasi penyebab stunting. Sebetulnya tiga saja (intervensi), yaitu sub optimal health, sub optimal nutritional dan sub optimal parenting.
Itu yang harus dicegah (kesehatan, nutrisi, pola asuh) karena dampaknya luar biasa. Disparitas juga menjadi pekerjaan rumah yang bersama PKBI harus diatasi BKKBN. Disebutkan, angka stunting tahun 2022 di Provinsi Lampung cukup bagus berada di 15,2%, mengalami penurunan signifikan 3,3% dari sebelumnya. Namun di provinsi lain capaiannya berbeda.
Di akhir paparannya, dokter Hasto menutup dengan mengatakan, bagaimana birth to birth interval dan birth to pregnancy interval bisa dikendalikan dengan baik. Karena stunting sangat berkorelasi dengan pregnancy to pregnancy interval. Ini hal yang terkait dengan kesiapan seorang perempuan. Termasuk pemberian ASI eksklusif menjadi kunci.
Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah PKBI Lampung Dr. H. Wirman, menyampaikan harapan agar Musyawarah Daerah (Musda) PKBI Lampung yang berlangsung bersama seminar nasional ini dapat berjalan lancar dan sukses.
“Semoga rangkaian kegiatan Musda ke-11 PKBI Lampung berjalan lancar dan sukses, mencapai hasil maksimal dan optimal seperti diharapkan. Sehingga kepengurusan PKBI Lampung ke depan tetap mengukuhkan peran aktif dan eksistensi PKBI di tengah Masyarakat,” tutup Wirman. (smr)