Sengketa Pilpres di MK Dinilai Sulit Ubah Hasil, Mahfud Sebut MK Pernah Batalkan Hasil Pemilu Curang dan Koalisi Masyarakat Temukan Dugaan Kecurangan

Ilustrasi proses pengitungan suara dalam Pemilu 2024. Foto: internet

Koalisi Masyarakat Kawal Pemilu Demokratis menemukan berbagai dugaan kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan mendorong masyarakat mengusutnya. Pihaknya melihat dugaan itu semakin kuat usai hari pencoblosan.

semarak.co-Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, misalnya, terkait penggelembungan suara pasangan calon (paslon) tertentu yang dinilai tak lazim. Terlebih, dalih penyelenggara yang menyalahkan sistem perihal salah input.

Bacaan Lainnya

“Sudah saatnya kelompok masyarakat sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia. Ini menunjukkan Pemilu 2024, khususnya Pilpres 2024 tidak legitimate serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi,” ujar Gufron dalam rilis, Sabtu, 17 Februari 2024.

Pihaknya melihat kecurangan diduga telah dirumuskan sejak awal. Misalnya, terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat partisipasi calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilu 2024. “Sarat dengan praktik KKN, serta melanggar etika konstitusi,” tegas Gufron.

Pihaknya meyakini ada campur tangan penguasa dalam dugaan-dugaan kecurangan pemilu tersebut. Termasuk, dalam menyalahgunakan kekuasaan dan menggerakkan komponen negara dalam memenangkan calon tertentu.

“Pelanggaran masif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pascapencoblosan menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut,” tegas Gufron seperti dilansir mediaindonesia.com/17/2/2024 09:40.

Di bagian lain Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengingatkan bahwa penggugat pemilu tak selalu kalah dalam gugatannya di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia pun menyebut MK pernah membatalkan hasil pemilu curang.

Mahfud mengakui dirinya pernah menyatakan pihak yang kalah di Pemilu termasuk pilpres, akan selalu menuduh pihak yang menang berbuat curang. Pernyataan itu, kata dia, disampaikan di awal pembentukan komisioner KPU di bawah Ketua Hasyim Asy’ari dan awal 2023 di acara launching TV Pemilu CNN Indonesia dan Trans TV.

“Jadi saya katakan bahwa setiap pemilu yang kalah itu akan selalu menuduh curang, itu sudah saya katakan di awal 2023. Tepatnya sebelum tahapan pemilu dimulai,” kata Mahfud usai menghadiri pengukuhan tiga guru besar Kedokteran Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2024).

“Tapi jangan diartikan bahwa penggugat selalu kalah. Sebab, memang sering terjadi kecurangan terbukti itu secara sah dan meyakinkan,” demikian Mahfud MD menambahkan seperti dilansir cnnindonesia.com, Sabtu, 17 Feb 2024 15:10 WIB.

Mahfud mencontohkan gugatan Khofifah Indar Parawansa saat kalah melawan Soekarwo di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2008. Kala itu, Mahfud yang masih menjabat sebagai hakim konstitusi, membatalkan hasilnya dan meminta pemilu diulang.

Setahun setelahnya, Mahfud juga mencontohkan Pilkada Bengkulu Selatan yang akhirnya memenangkan kubu yang semula kalah. “Hasil pilkada Kota Waringin Barat, sama dengan Bengkulu Selatan dan banyak lagi kasus di mana ada pemilihan ulang, terpisah, daerah tertentu, desa tertentu dan sebagainya,” kata Mahfud.

Mahfud mengatakan kecurangan pemilu yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) telah memiliki yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia. Sejak kali pertama muncul pada 2008 saat dirinya naik menjadi Ketua MK, tiga istilah itu telah diatur dan tertuang dalam UU, Peraturan KPU, dan Bawaslu.

“Dan buktinya banyak pemilu itu dibatalkan, didiskualifikasi. Saya nangani ratusan kasus banyak, ada yang diulang beberapa ini, ada yang dihitung ulang dan sebagainya,” kata Mahfud, cawapres Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan dan PPP.

Sementara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud akan segera membentuk tim khusus untuk mendalami sejumlah anomali atau kelainan dari hasil Pilpres 2024. Sekretaris TPN Hasto Kristiyanto terutama menyoroti temuan masyarakat sipil mulai dari para akademisi hingga aktivis demokrasi terkait dugaan kecurangan dalam pemilu kali ini.

Termasuk di dalamnya keterlibatan aparat untuk memenangkan capres-cawapres tertentu. “Berbagai anomali pemilu itu telah menyentuh aspek legitimasi dari pemilu tersebut. Nah karena itulah kemudian yang keempat dibentuk tim khusus untuk melakukan suatu audit forensik,” kata Hasto usai rapat di gedung High End, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).

Diketahui bahwa istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif atau disingkat TSM kerap mewarnai proses pemilihan umum di Indonesia. Kecurangan pemilu TSM dikhawatirkan dapat mencederai demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak dipilih secara sah.

Pada Pilpres 2014 dan 2019, isu TSM mencuat. Pihak pemenang di kedua pilpres tersebut dituduh melakukan kecurangan TSM sehingga memicu gugatan terhadap hasil pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan KPU.

UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mendefinisikan pelanggaran TSM dalam konteks pemilihan anggota legislatif. Pelanggaran terstruktur mengacu pada kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan, secara kolektif.

Pelanggaran sistematis diartikan sebagai kecurangan yang direncanakan secara matang, tersusun, dan rapi. Sementara pelanggaran masif merujuk pada kecurangan yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.

Peraturan Bawaslu No. 8 Tahun 2018 mengatur lebih detail mengenai pelanggaran TSM. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM dapat disidangkan oleh Bawaslu jika dilengkapi dengan bukti yang menunjukkan pelanggaran terjadi di sejumlah wilayah.

Pada Pilpres 2019, sidang PHPU di MK menolak gugatan Prabowo-Sandiaga terkait pelanggaran TSM. MK menegaskan bahwa kewenangan menangani pelanggaran TSM berada di tangan Bawaslu, sesuai dengan pasal 286 UU Pemilu.

MK menjelaskan bahwa mereka hanya fokus pada perselisihan hasil pemilu dan tidak akan mencampuri ranah lembaga lain. MK menyatakan klaim kemenangan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dengan perolehan suara sebesar 52 persen tak dilengkapi bukti yang lengkap.

“Selain dalil pemohon tidak lengkap dan tidak jelas karena tidak menunjukkan secara khusus di mana ada perbedaan, pemohon juga tidak melampirkan bukti yang cukup untuk meyakinkan Mahkamah,” ujar Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.

Pada 2019 lalu, Bawaslu menegaskan bahwa pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) merupakan salah satu pelanggaran pemilu terberat yang dapat mengakibatkan didiskualifikasinya peserta pemilu. Namun, pembuktian pelanggaran TSM tergolong rumit karena harus memenuhi ketiga unsur secara kumulatif: terstruktur, sistematis, dan masif.

Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menekankan bahwa bukti untuk pelanggaran TSM harus menunjukkan unsur pelanggaran yang menonjol dan berbeda dengan pelanggaran administrasi biasa.

Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018 mengatur syarat formil dan materil untuk menerima laporan dugaan pelanggaran TSM. Syarat formil meliputi identitas pelapor, sedangkan syarat materil memuat objek pelanggaran, waktu dan tempat peristiwa, saksi, bukti, dan uraian peristiwa.

Selain itu, laporan kecurangan pemilu TSM harus disertai minimal dua alat bukti dan pelanggaran harus terjadi di minimal 50% daerah pemilihan. Alat bukti yang sah termasuk keterangan saksi, surat/tulisan, petunjuk, dokumen elektronik, keterangan pelapor/terlapor, dan keterangan ahli.

Terakhir, laporan dugaan pelanggaran TSM harus disampaikan paling lama 7 hari kerja sejak diketahui terjadinya pelanggaran. Jika melewati batas waktu, laporan tidak akan diterima.

Sejauhmana Pemilu 2024 dihantui Kecurangan?

Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kecurangan pemilu, Film Dirty Vote telah membahas secara mendalam terkait proses kecurangan dalam pemilu ini. Misalnya, politisasi bansos, kecurangan KPUD untuk memenangkan meloloskan partai politik tertentu, kampanye dengan penggunaan fasilitas negara.

Lalu menteri yang berkampanye di atas panggung kegiatan kenegaraan, dan banyak hal busuk lainnya. Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan bahwa kecurangan tersebut dapat dianalisis dalam fenomena politik gentong babi.

Bivitri juga menyatakan bahwa peran Jokowi sentral dalam kontestasi Pemilu 2024. Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Saat itu, para budak harus berebut mengambil daging babi yang diawetkan dalam gentong.

Para budak lantas memperebutkan babi di gentong tersebut. Akhirnya muncul istilah bahwa ada orang-orang yang akan berebut jatah untuk kenyamanan dirinya. Dalam konteks politik saat ini, politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara.

Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi agar dirinya bisa dipilih kembali. “Tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya,” ujar Bivitri seperti dilansir tempo.co, Senin, 19 Februari 2024 08:09 WIB.

Dalam pemaparannya di film Dirty Vote, Bivitri menyoroti gelontoran anggaran bansos menjelang Pemilu 2024 menurutnya berlebihan. Sebab, untuk bulan Januari saja pemerintah sudah menghabiskan Rp 78,06 triliun jumlah.

Jenis bantuan yang diberikan melalui anggaran tersebut, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan beras, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan bantuan langsung tunai (BLT) El Nino.

Di bagian lain lagi diberitakan sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai akan sulit untuk mengubah hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dalam sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika merujuk dari hasil sidang sengketa Pilpres di MK, sambung Zainal Arifin Mochtar, rata-rata hakim konstitusi hanya mendalami sisi formalitas dibanding nilai sebuah demokrasi dan konstitusi yang sudah terganggu.

Sisi formalitas yang dianut MK semisal dalam pembuktian sidang sengketa Pilpres, MK akan memunculkan syarat formalitas seperti apakah dugaan kecurangan tersebut sudah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hingga bukti kuat kecurangan yang terjadi dapat memengaruhi hasil Pilpres. Padahal, jika berbicara kecurangan, imbuh Zainal, tentu tidak sebatas mengenai hasil rekapitulasi suara dari KPU. Bisa saja kecurangan terjadi sebelum pemilihan yang bisa memengaruhi hasil.

Sebagai contoh, dugaan adanya keterlibatan aparat dalam Pemilu. Kasus ini pastinya akan sulit dikonversi menjadi angka. “Ini yang berbahaya, ketika MK mengikatkan diri kepada formalitas tetapi pada saat yang sama demokrasi terganggu secara substantif,” ujar Zainal di program Kompas Petang KOMPAS TV, Sabtu (17/2/2024) dilansir kompas.tv – 17 Februari 2024, 21:40 WIB

Zainal menambahkan, sisi formalitas dalam menangani sengketa Pilpres sangat berbahaya karena MK tidak menempatkan diri sebagai penjaga konstitusi, tetapi sebatas kalkulasi angka. Hal ini bisa dilihat dari sidang sengketa Pilpres sebelumnya, saat MK mempertanyakan apakah kecurangan berpengaruh signifikan terhadap hasil.

“Kalau bicara kecurangan kan ada pra-pencoblosan dan pasca-pencoblosan. Kalau pra-pencoblosan, parameter untuk mengetahui apakah berpengaruh kepada hasil, susah sekali. Misal keterlibatan aparat, bagaimana mengkonversinya?” ujar Zainal mempertanyakan.

Sulit Mengubah Hasil

Lebih lanjut, Zainal menilai akan sulit mengubah hasil Pilpres 2024 jika logika yang dianut oleh MK sebatas formalitas. Jika melihat hasil hitung cepat, pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran mendapat 57 sampai 58 persen suara.

Untuk mengubah hasil, para pemohon harus memiliki data yang bisa mengurangi angka hasil hitung cepat Prabowo-Gibran. Menurut Zainal, setidaknya para pemohon memiliki data lebih dari 9% surat suara yang diduga dicurangi agar hasil perolehan Prabowo-Gibran dari hasil hitung cepat tersebut berkurang dan ditetapkan Pilpres berjalan dua putaran.

“Kita tidak bisa membayangkan kebisingan kecurangan itu harus dibuktikan betul-betul sampai ratusan ribu dulu, sampai mengubah hasil peringkat sehingga tidak memenuhi Pemilu satu putaran. Harus diingat, MK sendiri logikanya terlalu formalistik,” ujar Uceng, sapaan akrab Zainal Arifin Mochtar.

Bom Waktu Sengketa Pilpres 2024

Diketahui, MK memutuskan tidak dapat menerima pengujian materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai batas usia Capres-Cawapres. Gugatan uji materiil dengan nomor perkara 145/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh akedemisi yang juga pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar.

Putusan dibacakan dalam sidang MK, Selasa (16/1/2024). Denny menilai dengan mengabulkan gugatan yang dilayangkan pihaknya merupakan sebuah kesempatan bagi MK dalam memperbaiki dan menyelamatkan demokrasi.

Sayangnya MK memilih untuk tidak berani mengoreksi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang didasari skandal keluarga. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi pintu masuk Gibran lolos dalam persyaratan menjadi calon wakil presiden.

Di sisi lain dalam sidang Majelis Kehormatan MK, enam hakim MK sebagai terlapor, yang turut memutus perakara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Putusan Majelis Kehormatan MK tersebut tertuang dalam keputusan Nomor 5/MKMK/L/10/2023 terkait laporan pelanggaran etik dengan terlapor enam hakim MK. Seharusnya kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan demokrasi dan Pemilu 2024 yang lebih konstitusional.

Semestinya MK memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan menyelamatkan demokrasi melalui dikabulkannya permohonan uji formil yang kami ajukan,” ujar Denny dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/1/2024).

“Sangat disayangkan kemudian MK tidak mau bahkan tidak berani mengoreksi skandal Mahkamah Keluarga-gate yang mencoreng demokrasi dan konstitusi,” imbuh Denny seperti dilansir kompas.tv – 16 Januari 2024, 22:17 WIB dicopas dari laman pencarian google.co.id, Senin (19/2/2024).

Di kesempatan sama Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang tidak menerima uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu akan menjadi bom waktu di akhir Pemilu 2024. Menurutnya akan ada permohonan lanjutan termasuk sengketa Pilpres 2024 yang akan masuk ke MK.

Hal ini dikarenakan putusan MK yang tidak menerima uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu membuat kondisi ketidakjelasan konstitusional. “Jangankan menegakkan hukum, menegakkan UU saja tidak,” imbuh Uceng lagi.

Padahal ada kesempatan untuk melakukan terobosan untuk penegakan hukum dan UU, tetapi keduanya tidak dilakukan. Zainal menambahkan putusan tersebut memuat MK membiarkan ruang kosong yang belum diisi dengan alasan yang terlalu sederhana.

Dengan tidak diterimanya permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu, MK melanjutkan kondisi ketidakjelasan konstitusional salah satu kandidat. “Ini akan jadi bom waktu yang kembali akan menjadi ujian di permohonan lanjutannya termasuk sengketa Pilpres 2024,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan M. Raziv Barokah selaku kuasa hukum Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Raziv sangat kecewa dengan putusan tersebut. Ia menilai keadilan konstitusi dipaksa mati dan akan berdampak buruk juga bagi kematian keadilan-keadilan lain yang tinggal menunggu waktu.

Raziv menyatakan secara hukum putusan tersebut harus diterima, karena tidak ada pilihan lain. Namun secara moral konstitusi, putusan tersebut sulit untuk diterima dari sudut pandang moralitas-etik konstitusi.

“Sangat disayangkan, MK tetap membiarkan keberlakuan norma hukum yang menjadikan Gibran Rakabuming selaku calon wakil presiden lolos melalui putusan yang melanggar etika. Perubahan ketentuan Pasal 129 huruf q UU Pemilu walaupun jelas cacat secara etika mau tidak mau tetap dibiarkan berlaku di kalangan masyarakat karena MK tetap tidak mau membatalkannya melalui Putusan 145/PUU-XXI/2023,” ujarnya.

Adapun amar putusan MK dalam mengadili perkara 145/PUU-XXI/2023 yakni dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. (net/mic/cnn/tpc/kpc/smr)

Pos terkait