Panorama Revolusioner

Grafis tentang pemilu yang bertujuan merebut kekuasaan. Foto: internet

Oleh Agus Wahid *)

semarak.co-Super mengejutkan. Itulah kehadiran Gibran Rakabuming Raka di panggung politik. Bagaimana tidak? Pedagang martabak yang lebih akrab dipanggil Gibran ini tergolong biasa-biasa saja popularitasnya. Tak lebih dikenal sebagai anak presiden. Tapi, tiba-tiba melejit namanya.

Bacaan Lainnya

Dalam usiasanya sekitar 34 tahun, ia melangkah ke panggung politik: ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Solo dan menang mutlak, padahal “miskin” pemgalaman politik praktis. Juga, sama sekali tak terlihat kapasitas keilmuannya. Mentalnya pun masih terlihat “bocih”.

Jauh dari kata matang (mature). Belum reda publik mempergunjingkannya, tiba-tiba melangkah ke panggung politik nasional: menjadi salah satu kontestan pemilihan presiden (pilpres): sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Usianya yang baru 36 tahun menambah pergunjingan publik yang semakin luas, karena usianya – menurut Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 Pasal 13 Huruf q – minimal 40 tahun. Berarti belum mencukupi. Makin kuat penggunjingan publik karena fakta bicara: kapasitas ilmu dan jam terbang politiknya masih sangat minim.

Bagaimana mungkin, produk pendidikan setingkat D1 bisa matang dalam berfikir? Sangat tidak mungkin dan tak layak dimajukan. Kondisi keterbatasan Gibran menjadi drama satiris dalam panggung politik dan hukum. Menjadi bahan olok-olok atau ejekan yang sangat sarkastik.

Memalukan, sekaligus memilukan. Masyarakat Indonesia tahu persis yang membuat lompatan spektakuler Gibran dalam panggung kekusaan. Yaitu, faktor anak presiden. Faktor hubungan darah ini – fakta bicara – membuat Gibran leluasa menuju Walikota Solo.

Juga, karena adanya hubungan keluarga, menjadikan Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu berhasil mendobrak kendala persyaratan minimal usia sebagai capres dan atau cawapres.

Yang menarik sekaligus memprihatinkan adalah, sosok Gibran – tentu karena faktor Jokowi selaku ayahnya – membuat para pemimpin partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) tak berdaya menolak kemauan istana.

Apapun argumennya – karena tersandera kasus hukum atau pertimbangan kompensasional al-fulusiah, jabatan atau lainnya – para ketua partai politik senior itu harus menerima Gibran sebagai cawapres. Ada beberapa hal yang layak kita analisis lebih jauh.

Pertama, pemaksaan Gibran saat mengikuti pilkada Solo sudah merusak bahkan menghancurkan etika politik internal PDIP. Pendatang baru dalam partai (DPC PDIP Solo) harus menyingkirkan hak atau kepentingan pengurus seniornya yang sudah lama megabdi untuk partainya.

Serupa tapi tak sama, saat melangkah ke panggung politik nasional (sebagai cawapres) juga melecehkan anasir DPP Partai Banteng itu, karena sesungguhnya membelot dari aturan internal partai. Pandum partai dilecehkan tanpa rasa risi. Yang lebih parah adalah langkah politiknya merusak berat sendi-sendi hukum, etika dan moral.

Seolah, hukum hanya untuk keluarga Jokowi. Bisa “diblender” sesuai kemauannya. Dumeh masih berkuasa. Dan ini cermin dari negara kekuasaan, bukan lagi negara hukum. Ada pemaksaan kehendak, tanpa mengindahkan nurani publik.

Kedua, pemaksaan Gibran sebaggai cawapres sesungguhnya merupakan menghinaan serius terhadap senioritas dan kapabilitas para pimpinan partai politik (parpol) yang berada di KIM. Jika direfleksikan lebih jauh, penghinaan itu menerpa seluruh elemen politisi senior dan kalangan ilmuan.

Mereka semua jadi rendah martabatnya akibat ulah Gibran. Harusnya, putera sulung Jokowi menghormati para seniornya yang sudah mengangaksa puluhan tahun dalam panggung politik praktis. Harusnya tahu diri. Meski dipaksa, tetaplah dia harus menahan diri.

Kalau perlu ditolak, apalagi dirinya juga jauh di bawah standar kapasitas keilmuan. Yang memprihatinkan – sebagai hal ketiga – keputusan politik memilih Gibran sebagai cawapres, sejatinya karena bermuara pada pandangan sempitnya: harus menang dalam memasuki kontestasi, dengan cara apapun.

Sikap politik ini menjadikan Gibran sebagai keluarga istana punya relasi yang kiat. Dengan pengaruh Istana, maka akan leluasa memobilisasi “cawe-cawenya”. Politik moral hazardnya pun aman di mata BAWASLU. Juga, akan diback up aparatur POLRI, TNI dan jajaran ASN sampai ke tingkat RT-RW.

Penggunaan seluruh perangkat kekuasaan ini – secara teoritik – akan mengantarkan pasangan Prabowo-Gibran menang dalam kontestasi. Analisis prediktif itulah yang membuat Gibran itu “sesuatu banget” bagi Prabowo. Yang menjadi masalah, perilaku politiknya sangat tidak sehat.

Jauh dari etika dan moral. Berpotensi besar membuat kegaduhan nasional. Dalam hal ini kesediaan Gibran dalam kontestasi ikut memberikan andil dalam potret kejahatan politik. Sungguh tidak memberikan keteladanan yang baik bagi bangsa negeri ini. Lalu, haruskah kita ikuti? Bangsa yang cerdas dan bernurani, harus katakan “TIDAK”.

Keempat, panorama Gibran menjadi model atau tren politik. Siapapun yang menjadi anak penguasa, bisa seenaknya memasuki panggung politik tanpa tata-krama. Tren politik seperti ini jelaslah tidak sehat dalam membangun budaya politik di level manapun.

Budaya politik potong kompas pasti akan menyingkirkan para pihak yang sejauh ini sudah menunjukkan dedikasinya dalam partai politik. Implikasinya, akan muncul hopeless, karena merenda karir politik dalam kurun waktu tahunan akan terhempas hanya karena pendatang baru nepotis. Tak bisa disangkal, Gibran bisa dinilai sebagai perusak berat budaya politik Indonesia dan sistem demokrasi.

Kelima, Gibran bagian dari representasi kaum muda (generasi milenial). Yang menjadi renungan dan memprihatinkan, representasi Gibran sangat mempermalukan entitas kaum muda atau generasi milenial. Sebagai generasi milenial harusnya sarat dengan kecerdasan kreratif-inovatif. Penuh pengetahuan yang mumpuni. Sementara, Gibran jauh dari karakter ideal kaum mileneal.

Maka, kehadiran Gibran sebagai cawapres sebenarnya menampar martabat dan jatidiri kaum mileneal negeri ini. Jika representasi Gibran dipersandingkan dengan milenial dunia, maka anak muda atau generasi milenial negeri ini dipandang kecil, dihinakan, minimal diremehkan.

Sebuah sikap yang menyakitkan bagi martabat kaum muda atau generasi milenial Indonesia. Dengan demikian, kehadiran Gibran yang dipaksakan dalam panggung politik sesungguhnya mempermalukan generasi milenial. Lalu, haruskah generasi milenial Indonesia diam? No.

Sebagai pribadi yang memiliki harga diri, maka tunjukkan sikap sportif dan obyektifnya. Tolak dipersamakan dengan Gibran. Sikap ini harus ditunjukkan dengan cara tidak memilihnya dalam kontestasi pilpres mendatang.

Sebagai wujud harga diri atau martabatnya. Jadi, bukan karena entitas sebagai sesama kaum muda dan atau generasi milenial, tapi performa Gibran yang memang jauh di bawah standar. Inilah sikap idealistik generasi milenial yang memang harus ditunjukkan secara jelas dan tegas. Akhir kata, sosok Gibran yang tiba-tiba muncul dalam panggung politik demikian zig-zag.

Inilah pranorama Gibran, tergolong revolisoner. Sangat disayangkan, nilai intrinsiknya minus. Kata “revolusioner” yang penuh makna heroik dipecundangi oleh sosok Gibran yang masih “bocih” ini. Harusnya menengok kanan-kiri sembari belajar. Menempa diri pengetahuan dan mental yang cukup. Agar siap bertarung secara gentlement, tanpa bayang-bayang orang tuanya.

Bekasi, 27 November 2023

*) Analis politik

 

sumber: WAGroup (postSenin27/11/2023/)

Pos terkait