Oleh: Isa Ansori *)
semarak.co-Dua puluh lima tahun Reformasi sudah menapaki jalannya, selama kurun waktu itu, Reformasi mengalami masa pasang dan surut mencari bentuk bagaimana menjadikan Indonesia lebih baik lagi dengan menghapus praktek praktek buruk bernegara yang dijalankan Orde Baru, praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Kini Reformasi semakin bersedih, tak hanya korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela, demokrasipun dibajak menjadi seolah kerajaan dan menyuburkan praktek politik dinasti dan berpihak pada oligarki, demokrasipun kini mati suri. Tentu ini mengusik mereka yang pernah terlibat dalam gerakan Reformasi itu.
Masih banyak saksi sejarah dan pelaku yang masih hidup. Selama 10 tahun terakhir para pelaku sejarah Reformasi pun terhentak bahwa telah terjadi praktek pembajakan bernegara yang bersih, jujur dan adil, meski di masa masa sebelumya praktek itu telah dirancang.
Mulai timbul kesadaran bahwa pemimpin yang mereka usung ternyata bukanlah orang yang mengerti agenda Reformasi dan tujuannya, Justru mereka menjadi bagian dan berkolaborasi dalam rangka pembusukan agenda Reformasi.
Amandemen UUD 1945 tahun 2002 menjadi titik awal menyimpangnya praktek konstitusi bernegara. Kekuasaan tertinggi ditangan rakyat diamputasi dan dirampok oleh partai politik sebagai penguasa tertinggi rakyat. Tak heran kemudian gagasan mengembalikan konstitusi negara ke UUD 1945 asli kini menyeruak.
Bahkan tak tanggung tanggung ketua DPD RI, La Nyalla Mataliti menjadi garda depan yang menyuarakan. Pilpres 2024 nampaknya menjadi ajang pertaruhan apakah Indonesia akan menjadi negeri yang baik baik saja atau tidak.
Karena rezim Jokowi yang dulu didukung sebagian besar kekuatan Reformasi kini mulai menampakkan wajah aslinya. Bahkan dengan PDIP partai yang mengusungnya kini mulai terlihat renggang dan menjauh, mendekati Prabowo dan PSI, tak tanggung tanggung putra mahkota Kaesang didapuk untuk menakhodai PSI meski baru dia hari menjadi anggota.
Lalu Kepada Siapa Agenda Reformasi Bisa Dititipkan?
Ibarat sebuah rumah besar, tentu Reformasi memiliki orang tua, gerakan Masyarakat sipil yang terdiri dari mahasiswa, buruh , akademisi dan intelektual serta masayarakat lain adalah orang tua yang melahirkan gerakan tersebut, dan tentu ada anak anak kandung mereka yang berhak mewarisi.
Saatnya setelah dua puluh lima tahun Reformasi banyak diisi dan dibajak oleh para penumpang gelap dan kaum pragmatisme, kini harus direbut dan dikembalikan lagi ke relnya. Hanya anak kandung Reformasi yang bisa menjalankannya.
Pilpres sebagai pergantian kepemimpinan nasional adalah jalan demokrasi yang baik untuk dilakukan. Diantara para kontestasi capres dan cawapres yang ada, kita semua tahu siapa diantara mereka yang betul betul menjadi anak kandung Reformasi. Saksi sejarah dan pelaku masih banyak yang hidup. Rekam jejak mereka bisa dilihat.
Hanya pasangan Anies – Muhaimin (Amin) yang menunjukkan rekam jejak sejarah perjuangan Reformasi melawan praktik tirani Orde Baru yang menyuburkan kolusi korupsi dan nepotisme. Anies dan Muhaimin adalah murni terekam sejak mahasiswa menjadi aktivis yang mencintakan Indonesia agar lebih baik lagi.
Keduanya pernah tercatat sebagai aktivis pro demokrasi melawan tirani Orde Baru yang membungkam kebebasan berekspresi dan praktek bernegara yang culas mempermainkan konstitusi. Hanya kepada keduanya kita bisa berharap agar perjalanan Reformasi bisa dikembalikan. Rebut kembali kemerdekaan dan kembalikan lagi agenda Reformasi ke jalannya. (*)
Surabaya, 8 November 2023
*) Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
sumber: Hajinews.co.id – 09/11/2023 di WAGroup SUMBAR DUKUNG ANIES (postJumat10/11/2023/hajinews)