Mengenal Piagam Aelia: Bukti Toleransi Islam di Yerusalem/Palestina

Seorang wisatawan bersama pengunjung lainnya turut larut dalam kemeriahan Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah di pelataran Kubah Shakhrah kompleks Masjid Al Aqsa, Kota Tua, Palestina, (5/6/2019) waktu setempat. Foto: internet

Oleh Ihsan Fitriadi *)

semarak.co-Selama ini kita mungkin sudah mengenal Piagam Madinah dan Piagam Hudaibiyah yang luar biasa indah dan menakjubkan itu. Tanpa kita sadari, ternyata ada juga Piagam Aelia (Mitsaq Aelia) yang sebelumnya kurang kita fahami.

Bacaan Lainnya

Kenapa Aelia? Aelia atau lengkapnya Aelia Capitolina adalah nama yang diberikan Kristen Byzantium untuk Kota Yerusalem setelah Heraklius merebutnya dari Persia pada 627M. Aelia Capitolina diambil dari nama Kuil Dewi Aelia dan dibangun di atas reruntuhan Kuil Solomon.

Kuil Solomon/Bait Allah sendiri dihancurkan Tentara Romawi di bawah kaisar Titus pada 70M. Titus menghancurkannya secara total dan hanya menyisakan tembok barat (Tembok Ratapan). Pada 15H/637M saat Pasukan Muslimin mengalahkan Romawi, pemimpin Aelia saat itu, Patriark Sophronius, meminta akan melakukan serah terima secara langung Kota Aelia kepada Umar Bin Khatab.

Namun Khalifah Umar menawarkan perjanjian damai dan perlindungan yang disebut dengan Piagam Aelia/Perjanjian Aelia atau konvensi Umar. Khalifah Umar melakukan pertemuan di dalam Holy Sepulchre Church/Gereja Makam Kudus/Gereja Qiyamah. Jadi, perjanjian itu dinamakan Piagam Aelia, atau disebut juga Mu’ahadah Iliya, karena disahkan di dalam kota kuno Jerusalem yang waktu itu masih bernama Aelia Capitolina.

Setelah Perjanjian Aelia di sepakati dan dideklarasikan dan tiba waktu sholat, Khalifah Umar bin Khattab pun hendak melaksanakan sholat, dan di persilahkan oleh Patriarch Sophronius untuk mengerjakan sholat di dalam gereja Qiyamah. Namun, Khalifah Umar pun menolak dan kemudian beliau keluar dari gereja serta melaksanakan sholat di anak tangga gereja.

Selesai Sholat Khalifah Umar menjelaskan bahwa Gereja itu merupakan tempat suci di Yarussalem bagi umat Kristen Ortodoks. Apabila Khalifah Umar melaksanakan sholat di dalam Gereja tersebut, Khalifah Umar khawatir itu akan disalahartikan tentara Islam kemudian mengambil gereja itu dan menjadikannya masjid.

Dengan di antar Patriak Umar kemudian pergi ke tempat Nabi Sulaiman dahulu mendirikan al-Masjid al-Aqsha/Haikal Sulaeman/Kuil Solomon yang ternyata sudah menjadi tempat pembuangan sampah atas perintah Ratu Hellena. Ratu Hellena memerintahkan anaknya, Kaisar Constantin yang sebenarnya ditujukan untuk menghina bangsa Yahudi dengan menjadikan kiblatnya sebagai tempat pembuangan sampah.

Melihat kenyataan demikian, Khalifah Umar marah dan menyuruh Patriak membantu membersihkan tumpukan sampah yang sudah menggunung dengan tangannya sendiri. Setelah bersih, Umar melihat batu suci itu dan mengatakan bahwa itu adalah Qubbatul Sakhrakh/Dome of Rock yang digambarkan Nabi sebagai tempat menjejakkan kakinya untuk Mikraj naik ke langit.

Sementara, salah satu yg melatar belakangi Piagam Aelia adalah adanya pertentangan di antara kelompok warga Kota Aelia/Jerusalem. Kristen lokal di Aelia tidak mengakui hasil Konsili Kalsedon, yang dihasilkan Kristen Roma-Byzantium.

Pada saat bersamaan Kristen lokal Aelia juga membenci kaum Yahudi dan Kuil Solomon mereka jadikan tempat pembuangan sampah. Piagam Aelia mendamaikan empat komponen agama penting di wilayah itu, yakni Kristen lokal, Kristen Romawi-Byzantium, Yahudi, dan Islam yang baru masuk.

Unsur-unsur penting dan monumental dalam Piagam Aelia antara lain adanya jaminan keamanan jiwa, keluarga, harta, dan properti semua pihak di Aelia. Eksistensi agama-agama, termasuk rumah-rumah ibadah, seperti gereja Kristen lokal, gereja Kristen Romawi-Byzantium, kuil Yahudi, dan masjid diakui dan dijamin tidak akan diintervensi penguasa baru muslim.

Bahkan Yahudi yang tadinya terusir dari wilayah itu sudah bisa masuk dan menjalankan ajaran agama mereka dengan bebas di bawah jaminan Piagam Aelia. Dalam naskahnya disebutkan, setiap warga bebas di jamin kebebasannya untuk memeluk kepercayaannya masing-masing. Mereka tidak akan diprovokasi, apalagi diintimidasi dan dipaksa masuk agama Islam.

Warga Romawi-Byzantium yang menduduki wilayah itu juga tetap bisa hidup di dalam Aelia asal mau taat dengan aturan dalam Piagam Aelia. Piagam ini bisa kita anggap sebuah loncatan pikiran yang lebih jauh dari zamannya. Meskipun Umar ibn Khattab banyak menggunakan simbol-simbol Islam, kebebasan setiap warga bangsa dijamin untuk menjalankan agama masing-masing.

Rumah ibadah tidak ada yang diganggu dan praktik-praktik keagamaan tidak ada yang dihalangi, serta atribut-atribut keagamaan tetap dipertahankan. Suasana batin masyarakat tidak terusik sama sekali dengan kehadiran pasukan Umar.

Bagi Kristen lokal dan Yahudi pun, kehadiran Khalifah Umar dan pasukan Muslimin, lebih dirasa sebagai sebuah pembebasan, ketimbang penjajahan. Karena sebelumnya selama di bawah Kekaisaran Kristen-Byzantium mereka mengalami berbagai penindasan dan pembatasan.

Piagam Aelia bisa dianggap sebagai wujud konkrit kelanjutan dari konsep Masyarakat Madinah, sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad S.A.W, yang kemudian di aplikasikan oleh Khalifah Umar Bin Khatab.

Sebagaimana Piagam Madinah, Piagam Aelia juga merupakan cermin sebuah tatanan masyarakat demokratis yang menghargai pluralitas yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip  keadilan (’adalah), egalitarian (musawa), moderat (tawassuth), toleransi (tasamuh), dan tentu saja dengan kepemimpinan yang didukung dengan supremasi hukum (imamah) yang tangguh.

Dengan Tanpa harus melalui teori-teori yang rumit. Bandingkan dengan apa yang terjadi di bumi Palestina sekarang!

Wallahu’alam

 

sumber: WAGroup BASECAMP PEJUANG 24 JAM (postKamis12/10/2023/)

Pos terkait