Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menilai dampak sosial dari permasalahan buruh migran harus mulai diperhatikan. Jadi tidak semata-mata melihat persoalan tersebut hanya dari sisi ekonomi, seperti yang selama ini terjadi.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian PPPA Lies Rosdianty mengatakan, buruh migran Indonesia sebagian besar didominasi perempuan yang bekerja di bidang domestik atau di rumah tangga di luar negeri, mengingat mayoritas tidak menyelesaikan strata pendidikan tinggi. Sehingga menganggap pekerjaan domestik sebagai pekerjaan mudah yang bisa dilakukan sehari-hari dan tidak membutuhkan kemampuan khusus.
“Selama ini kalau membahas buruh migran selalu dikaitkan dengan ekonomi, selalu disebut mereka sebagai pahlawan devisa negara, tetapi apakah pernah melihat dampak sosial yang mereka rasakan?” kata Lies saat jadi pembicara dalam diskusi terkait Peran dan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan di Ruang Media Center gedung Kementerian PPPA, Jakarta Pusat, Jumat (2/2).
Karakter tersebut, lanjut Lies, lantas menimbulkan salah satu dampak sosial yang paling umum, yakni tingginya angka perceraian yang dialami para perempuan yang bekerja sebagai buruh migran. “Hampir sebagian besar keluarga yang ibunya bekerja sebagai buruh migran mengalami perceraian,” kata Lies.
Akibat dari perceraian tersebut maka anak akan diasuh oleh keluarga terdekat sewaktu ibunya bekerja di luar negeri, sehingga mereka berpotensi mengalami masalah sosial dalam tumbuh kembangnya karena kekurangan kasih sayang orang tua.”Akhirnya mereka menjadi begal atau ada juga yang lari ke narkoba,” kata Lies.
Untuk itu Kementerian PPPA membuat beberapa program seperti Bina Keluarga TKI yang salah satu kegiatannya adalah memberikan wadah bagi anak-anak buruh migran mencurahkan hatinya. Selain itu melalui program tersebut Kementerian PPPA membina para buruh migran agar mereka tidak menghambur-hamburkan pendapatan mereka untuk hal-hal yang konsumtif.
“Selama ini setiap habis kontrak dan pulang ke kampung halaman, mereka menghamburkan uang untuk barang kosumtif, dengan program ini kami ingin mereka dapat mempergunakan uang mereka untuk hal yang lebih produktif sehingga mereka tidak perlu kembali ke luar negeri,” ulasnya.
Kementerian PPPA melakukan pelatihan penguatan mental terhadap calon TKI yang akan berkerja di luar negeri. “Pelatihan penguatan mental itu lebih diarahkan bagaimana TKI itu siap mental untuk bekerja di luar negeri, karena di luar negeri itu tidak hanya butuh keterampilan tapi juga mental,” kata Lies.
Pelatihan mental, kata Lies, juga diperlukan lantaran adanya perbedaan budaya antara Indonesia dengan negara-negara di luar sana. Dengan pelatihan tersebut, akan meminimalisasi munculnya potensi masalah para TKI. “Kita mengantisipasi supaya mereka tahu karakter-karakter majikannya, ke mana mereka harus lapor kalau ada masalah,” tandasnya.
Dalam pelatihan tersebut, para calon TKI juga diberi bekal agar waspada dengan ajaran-ajaran radikal di luar sana. Sebab, menurut dia, dalam pembekalan terakhir, para TKI hanya diberi materi seputar pekerjaan yang akan dilakukan.
“Sekarang pekerja migran luar negeri rentan menjadi sasaran ajaran radikalisme nah itu juga kita bekali. Jadi fokus kepada tujuan ke luar negeri mau ngapain? Kerja kan cari uang. Udah enggak usah ngapa-ngapain, enggak usah ikut (ajaran radikalisme),” terangnya.
Pelatihan penguatan mental kepada calon TKI sudah dilakukan oleh Kementerian PPPA sejak tahun 2017 di daerah kantong-kantong TKI, seperti Jakarta dan Yogyakarta, dan telah menghasilkan sekitar 300 calon TKI terlatih. “Sebanyak 300 orang (calon TKI), karena kita enggak boleh sekelas banyak, enggak boleh lebih dari 30 orang,” tutupnya. (ant/kum/lin)