Oleh Tony Rosyid *)
semarak.co-Pengaruh Jokowi berangsur-angsur turun. Ini hukum politik. Sesuatu yang alamiah. Siapa pun presiden, di akhir masa kekuasaannya akan segera ditinggalkan. Presiden akan segera menjadi masa lalu dan dilupakan. Termasuk oleh orang-orang di sekililingnya.
Mereka akan buru-buru menyingkir. Di antaranya karena mereka tidak ingin ikut menanggung dosa-dosa kekuasaan. Presiden, siapa pun ia, adalah orang yang tidak pernah sempurna. Seseorang, ketika diberi amanah kekuasaan, selalu akan dihadapkan kepada banyak tantangan, godaan, bahkan lawan.
Di sinilah sering terjadi benturan yang tanpa disadari telah mendorong lahirnya kesalahan demi kesalahan. Orang-orang yang berada di sekililing presiden akan berada di garda terdepan untuk membelanya. Bukan mengingatkannya.
Ini dilakukan semata-mata agar mereka menjadi bagian dan ikut menikmati kue kekuasaan. Bela presiden itu artinya tanam saham. Tapi, begitu presiden akan berakhir kekuasaannya, mereka lari. Lari dari dosa kekuasaan. Lari untuk mendekat ke calon penguasa berikutnya.
Tujuannya? Agar bisa menikmati lagi kue kekuasaan berikutnya. Silakan identifikasi para pejabat yang berkarakter seperti ini. Jokowi nampaknya belum siap untuk mengakhiri masa kekuasaannya. Ia berupaya ingin mempertahankan pengaruh kekuasaannya.
Makanya, orang nomor satu di Indonesia ini bersemangat untuk ikut cawe-cawe urusan pilpres. Justru ini akan jadi blunder. Melawan kodrat alam. Jokowi tidak sadar, setiap presiden di akhir kekuasaan akan kehilangan pengaruh dan ditinggalkan para pendukungnya.
Utting Research, lembaga survei Australia ini baru saja merilis hasil risetnya. Bahwa responden (rakyat) yang menginginkan kandidat presiden melanjutkan program Jokowi itu hanya 18%. Survei Indostrategic, hanya 19,3% responden yang memilih kandidat presiden yang didukung Jokowi.
Hasil riset Utting Research ini memberi pesan: pertama, mayoritas rakyat kecewa terhadap program dan kebijakan Jokowi. Kedua, pengaruh Jokowi mulai turun drastis. Ini sekaligus mengoreksi survei yang mengungkapkan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi 80-an persen.
Saat ini, Jokowi masih full pegang kendali kekuasaan. Masih bisa cawe-cawe urusan pencalonan. Para kandidat presiden juga belum ada yang resmi jadi capres. Itu saja pengaruh Jokowi hanya tersisa 18%.
Nanti, ketika para capres resmi didaftarkan, maka otomatis fokus rakyat hanya pada capres, bukan pada Jokowi. Jokowi segera terlupakan. Apakah anda akan ingat mantan istri anda saat anda sedang akad nikah dengan seorang gadis?
Apalagi menurut anda gadis ini jauh lebih cantik dan menarik. Sementara mantan istrimu telah banyak mengecewakanmu. Sekali lagi, ini alamiah. Ini hukum politik. Akan menimpa siapa saja yang pernah jadi penguasa. Apakah itu presiden, gubernur, bupati, wali kota, bahkan anggota DPR.
Di akhir jabatan dan kekuasaan, ia akan segera terlupakan. Rakyat fokus kepada calon baru. Sebagaimana dalam akad nikah, anda hanya fokus pada gadis yang ada di depan anda. Mantan istri, itu masa lalu yang terlupakan.
Sadar atas fakta ini, Ganjar, petugas partai dari PDIP ini mulai melepaskan diri dari Jokowi. Ganjar tidak ingin diasosiasikan lagi dengan Jokowi. Meski selama ini ia copy paste habis gaya kampanye Jokowi. Hasil riset membuat Ganjar sadar, ternyata itu tidak menguntungkan.
Ganjar mula mengubah strateginya. Tidak lagi mengasosiakan dirinya dengan Jokowi. Sebaliknya, Ganjar mulai kritik Jokowi. Orang menyindir: Ganjar yang mulai menggunakan strategi Anies Baswedan.
“Kecuali kalau ada yang salah kita hentikan. Kecuali kalau ada yang tidak pas, kita koreksi.” Ini kata Ganjar. Bukankah ini narasi Anies Baswedan? Persis. Hanya ditambah kata “kecuali kalau”. Ganjar mulai paham bahwa 56 persen rakyat menginginkan perubahan, bukan keberlajutan (Indostartegic).
Ini artinya rakyat menginginkan capres yang membawa visi perubahan. Harus diingat, visi perubahan itu bukan berarti menghancurkan program lama, lalu semuanya diubah. Asal mengubah. Tidak.
Visi perubahan itu mengungkapkan adanya banyak program salah jalur, jauh dari cita-cita kemerdekaan dan tidak sesuai ekspektasi rakyat secara umum. Rute ini yang harus dikembalikan ke jalur yang benar, sehingga bangsa ini berjalan dan melaju ke arah yang dicita-citakan oleh bangsa ini.
Apa cita-cita bangsa ini? Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila ke-5 Pancasila). Ini yang paling penting dan fundamental. Semua program dan kebijakan harus menuju ke arah ini.
Anda perlu belajar filsafat dialektika Hegel, jika ingin memahami visi perubahan ini dengan baik. Yang bagus dilanjutkan, yang kurang baik dikoreksi dan diperbaiki, yang salah dihentikan (dihapus).
Ini teori dialektika. Seperti tagline NU: “almuhafadatu ala al-qadim as-shaleh wal akhdu biljadid al-aslah”. Merawat warisan yang baik dan mengambil (menciptkan) yang baru dan lebih baik. Ini teori dialektika. Perubahan itu keniscayaan.
Melawan perubahan, itu sama artinya menantang takdir Tuhan. Tidak akan pernah berhasil. Nah, Ganjar dan PDIP baru sadar ini. Dimulailah episode untuk melakukan kritik dan serangan kepada Jokowi.Karena mereka sadar Jokowi mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Sisi lain, karena Jokowi “kabarnya” mulai mendukung Prabowo. Sementara Anies, mengusung visi perubahan bukan karena adanya kesadaran bahwa Jokowi akan segera ditinggalkan oleh para pendukungnya. Ini terlalu dan melulu politis.
Anies lebih substansial. Visi perubahan dimaksudkan untuk melakukan koreksi atas sejumlah kebijakan Jokowi yang memang perlu dikoreksi. Anies merasa punya tanggung jawab untuk mengembalikan arah perjalanan bangsa ini ke cita-cita kemerdekaan.
Ini yang diimpikan oleh founding fathers bangsa ini. Ini yang paling penting dan fundamental. Bukan sekadar demi tujuan politik pragmatis dan kepentingan subjektif jangka pendek.
sumber: hajinews.id/31/07/2023 di WAGroup AMAR MARUF NAHI MUNKAR (postKamis3/8/2023/)