Pilih Koalisi dengan Partai Nasionalis, Pengamat Nilai Partai-partai Islam Sulit Bersatu di Pemilu

Grafis tentang Islam tak boleh abai dengan dari politik. Foto: ist

Sampai hari ini, hampir tidak terlihat bahkan terdengar koalisi yang didengungkan partai-partai Islam untuk pemilihan presiden (Pilpres) di pemilihan umum (Pemilu) 2024. Walau koalisi-koalisi mulai terbentuk, kebanyakan merupakan koalisi partai religius dan partai nasionalis.

semarak.co-Pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga mengatakan, sejarah menunjukkan partai-partai Islam di Indonesia memang sulit bergabung, sulit berkoalisi. Hal itu yang menyebabkan gaung koalisi partai-partai Islam menjadi sulit terwujud.

Bacaan Lainnya

Kemudian, Jamaluddin melihat, ini terkait pula dari sulitnya partai-partai Islam jika mereka berkoalisi untuk memenangi pemilihan umum, terutama pemilihan presiden. Umumnya, pemenang pilpres merupakan koalisi partai nasionalis dan religius.

“Melihat sejarah itu, untuk 2024 ini partai-partai Islam mungkin berpikir panjang untuk berkoalisi,” kata Jamiluddin kepada Republika, Rabu (25/1/2023) dilansir republika.co.id, Kamis 26 Jan 2023 07:14 WIB copas dari laman pencarian google.co.id, Sabtu (22/7/2023).

Selain koalisi yang belum ada, sosok-sosok dari partai Islam yang memiliki elektabilitas tinggi belum pula ada. Per hari ini, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, satu-satunya yang cukup percaya diri mendeklarasi maju di Pilpres.

Meski begitu, harus diakui elektabilitas Gus Imin sampai saat ini masih belum terlalu tinggi. Bahkan, dalam banyak hasil-hasil survei, Muhaimin lebih banyak dimasukkan dalam kategori calon wakil presiden, bukan sebagai calon presiden.

Pengajar Universitas Esa Unggul ini menilai, walaupun Gus Imin berani deklarasi, PKB tidak berani mengajak partai-partai Islam lain berkoalisi. PKB, justru sudah mendeklarasikan koalisi bersama Partai Gerindra yang notabene partai nasionalis.

Padahal, ia melihat, kalau partai-partai seperti PKB, PKS, PPP ditambah PAN bisa berkoalisi sudah cukup menggambarkan kelompok-kelompok Islam di Indonesia. Tapi, terlihat mereka memang tidak berpikir potensi untuk bisa menang jika berkoalisi. “Karena itu, mereka lebih berpikir dan berupaya berkoalisi dengan partai nasionalis,” ujar Jamiluddin.

Kondisi yang hampir serupa terjadi Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebagian tokoh-tokoh dan kader-kader mereka terpecah membentuk Partai Ummat. Padahal, Jamiluddin menekankan, basis mereka sebenarnya sama-sama dari Muhammadiyah.

Bahkan, kondisi itu menimpa pula Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang umumnya mampu menggaet umat Islam perkotaan. Tapi, beberapa tahun terakhir mengalami pula kondisi perpecahan dan ada sebagian yang merapat membentuk Partai Gelora.

“Saya melihat, suka tidak suka mereka mungkin lebih cocok dikatakan ego mereka yang lebih kuat daripada mengedepankan kepentingan umat. Sebab, kalau mereka mengedepankan kepentingan umat seharusnya ego mereka masing-masing bisa dikurangi dan diminimalkan. Sehingga, tidak akan sulit mereka bergabung atau berkoalisi menghadapi Pilpres 2024,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Denny Januar Ali atau Denny JA mengatakan, tiket untuk Pilpres 2024 memang terbatas. Semua sisi hampir sudah diduduki partai-partai besar di Indonesia. Ada PDI Perjuangan yang selama dua periode pemilu menjadi pemenang.

Kemudian, ada Partai Golkar yang tetap kokoh, Partai Gerindra yang beberapa tahun terakhir berhadapan dengan PDIP. Bahkan, sekalipun tersisa sudah diisi Partai Nasdem. “Yang tersisa sudah ada NasDem di sana sehingga partai-partai Islam akan menjadi pemain kedua,” kata Denny kepada Republika, Selasa (24/1/2023).

Artinya, ia menerangkan, partai-partai Islam ini tinggal ikut bergabung ke mana saja koalisi-koalisi yang mungkin menerima. Denny memprediksi, ke depan, partai partai akan semakin tidak ideologis, tidak sekadar menonjolkan identitasnya. “Tapi, menonjolkan yang mana yang paling mungkin menang,” ujar Denny.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengatakan, partai politik baik yang kanan, kiri maupun tengah dalam konteks ke depan melihat situasi dan kondisi yang ada. Masalahnya, tokoh-tokoh umat Islam hari ini masuk ke partai.

Misal, sosok Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2014-2020, Prof Din Syamsudin yang membuat partai, walaupun pada Pemilu nanti tidak lolos. Ada pula Amien Rais yang belakangan malah membentuk partai baru, yaitu Partai Ummat.

Sedangkan tokoh-tokoh Islam yang berada di luar partai politik cenderung hanya menjalankan profesi di luar dunia politik seperti mengajar di perguruan tinggi. Akibatnya, tidak ada lagi semacam solidaritas yang muncul. “Pernah ada Konvensi Umat Islam, tapi rekomendasi hanya sebatas rekomendasi,” kata Nasir kepada Republika, Rabu (25/1/2023).

Artinya, lanjut Nasir, tidak ada tindak lanjut rekomendasi itu. Selain itu, ia menerangkan, dari dulu sebenarnya sudah sering disampaikan bagaimana sulitnya partai-partai Islam ini berkoalisi, jadi ini memang sudah dari dulu terjadi.

Selain itu, fragmentasi di tubuh tubuh partai politik, terutama yang beraliran Islam, ikut mempengaruhi kondisi ini. Di satu sisi, umat jadi seperti terombang ambing lantaran memang tidak ada lagi tokoh Islam semacam solidarity maker. “Tidak ada lagi tokoh tokoh umat Islam di Indonesia yang jadi solidarity maker,” ujar Nasir.

Nasir berpendapat, ini pula yang memperlambat upaya-upaya untuk melahirkan satu koalisi partai-partai Islam di Indonesia. Meskipun, sebagian fungsionaris dari partai-partai Islam tentu merasa tidak bisa pula mereka dipaksa berkoalisi.

Ini yang membuat koalisi partai-partai Islam masih seperti panggang yang jauh dari api. Ketua Forum Bersama Anggota DPR RI Asal Aceh ini menilai, Indonesia kekurangan stok tokoh Muslim yang memiliki karakter sebagai solidarity maker.

“Kita kehilangan tokoh-tokoh itu, tidak ada lagi yang berusaha untuk misalnya mempertemukan mereka, mendekatkan mereka,” kata Nasir. (net/gle/rep/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *