Akibat Beda Dukungan, Perang Terbuka Jokowi dan Mega Terus Berlanjut hingga Pilpres 2024

Presiden Jokowi dan Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Foto: internet

Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 diprediksi memunculkan perang terbuka antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, lantaran perbedaan dukungan calon presiden (capres) di pilpres pada pemilihan umum (Pemilu) 2024.

semarak.co-Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Masjid mengamati, Jokowi memperlihatkan kecenderungan berbeda dengan PDIP mengenai arah Pilpres 2024. Pasalnya, Jokowi dia anggap lebih senang mendukung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, ketimbang Ganjar Pranowo yang diusung sebagai capres oleh PDIP.

Bacaan Lainnya

“Pasalnya, sebagian besar relawan Jokowi telah menyebrang ke Prabowo. Dan ini sinyalemen politik dimana Jokowi bakal memberi dukungan,” ujar Jerry, Senin (3/7/2023) dilansir repelita.com, 7/03/2023 01:48:00 PM dari sumber artikel asli rmol.

Kecenderungan Jokowi mendukung Prabowo, kata Jerry semakin nyata dari pernyataan relawannya kepada publik. “Saya pikir apa yang dikatakan Projo ada benarnya. Pasalnya Jokowi bercabang. Di Satu sisi dia mendukung Ganjar, di lain sisi dia mendukung Prabowo,” ungkapnya.

Oleh karena itu, doktor komunikasi politik lulusan America Global University itu berpendapat, Pilpres 2024 bakal menjadi perang antara pimpinan dengan petugas partai. “Kalau Jokowi mendukung Prabowo maka akan terjadi perang terbuka dengan Megawati,” demikian Jerry menambahkan.

Kisruh Jokowi-Megawati sudah lama terjadi. Awal Jokowi dilantik jadi presiden periode pertama (2014), friksi dengan Megawati telah dimulai. Jokowi pilih Maruarar Sirait jadi Menpora, tapi digagalkan oleh Megawati hanya beberapa jam jelang pelantikan.

Ketegangan Jokowi-Mega semakin tajam setelah Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dipilih Jokowi menjadi partner dalam hampir semua kebijakan pemerintahan. Dengan LBP, Jokowi merasa setara, bahkan secara struktural adalah atasan LBP. Jokowi presiden, dan LBP menteri. Publik menyebutnya sebagai menteri semua urusan.

Wajar, karena memang LBP memiliki pengalaman dan kematangan di pemerintahan, sehingga Jokowi merasa nyaman dengannya. Dalam Somasi Sebut NU dan Rabithah Alawiyah Berkonflik, Fuad Plered Dinilai Tengah Adu Domba. Sementara dengan Megawati, Jokowi diperlakukan sebagai petugas partai.

Dalam posisinya sebagai petugas partai, Megawati menuntut Jokowi patuh, loyal dan sendiko dawuh pada PDIP yang otoritasnya ada di tangan Megawati. Posisi ini, tentu tidak membuat nyaman Jokowi sebagai presiden, yang mestinya di atas para ketua umum partai.

Komunikasi politik Jokowi-Megawati mengalami banyak kendala, terutama jika kepentingan keduanya berbeda. Jokowi, sebagai presiden, tentu tidak ingin didikte, dikontrol dan dikendalikan oleh ketua umum partai. Dalam penyusunan kabinet dan sejumlah jabatan strategis, adu kuat Jokowi-Mega seringkali terjadi. Selama ini, semua bisa ditutupi dan hanya kalangan internal yang tahu.

Pilpres 2024, kepentingan Jokowi-Megawati semakin tampak berbeda. Jokowi inginkan Ganjar menjadi presiden. Ganjar diharapkan dapat meneruskan program-program Jokowi. Jokowi tidak hanya butuh jaminan pengamanan dari Ganjar, tapi publik membaca ada agenda lain yang direncanakan oleh Jokowi melalui Ganjar.

Pasca lengser 2024 nanti, Jokowi tidak punya tempat dan lokomotif politik. Jokowi tidak lebih dari kader PDIP, sebagaimana kader-kader lainnya. Bedanya, Jokowi pernah jadi presiden dua periode. Tidak ada lagi peran politik yang bisa dimainkan Jokowi pasca 2024.

Di PDIP, besar kemungkinan Jokowi akan disingkirkan. Kenapa? karena berpotensi menjadi matahari kembar. Di sisi lain, Megawati sudah sepuh. Diperkirakan akan ada suksesi kepemimpinan di PDIP dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apakah upaya serius dan sistemik pencapresan Ganjar adalah bagian dari agenda politik Jokowi dalam menghadapi suksesi kepemimpinan di tubuh PDIP?

Inilah yang nampaknya dikhawatirkan oleh PDIP, terutama Megawati dan para loyalisnya. Jika Ganjar sukses menjadi presiden, maka menjadi sangat mudah bagi Ganjar untuk menggeser Puan sebagai putri mahkota yang disiapkan mengganti Megawati sebagai ketua umum. Dan Jokowi ada di belakang Ganjar. Formasinya bisa Ganjar ketum PDIP, dan Jokowi ambil posisi sebagai dewan pembina.

Ada pengamat yang menyarankan agar Jokowi mendirikan partai sendiri dan tidak mengganggu Megawati di PDIP. Pertanyaannya: kalau bisa ambil PDIP, kenapa harus susah payah mendirikan partai lagi? Para loyalis dan militan Jokowi umumnya adalah pendukung PDIP. Maka, ambil PDIP akan jauh lebih efektif bagi Jokowi untuk memimpin sebuah lokomotif yang sudah besar dan mapan.

Tidak perlu lagi tertatih-tatih dari nol seperti Anis Matta mendirikan Partai Gelora dan Amien Rais melahirkan Partai Umat. Agenda pencapresan Ganjar Pranowo selain sebagai jaminan bagi keamanan Jokowi, juga dibaca publik sebagai upaya mempersiapkan agenda suksesi di PDIP.

Sinyal ini telah dibuka oleh para loyalis Jokowi. Mereka usulkan Jokowi kudeta Megawati. Konflik sudah mulai terbuka. Jika ini sengaja, maka Jokowi tentu sudah punya kalkulasi politiknya. Dengan semakin terbukanya rivalitas Jokowi-Megawati, ketegangan akan semakin membesar dan krusial di tubuh PDIP.

Apalagi, dukungan agar Jokowi ambil alih PDIP ini muncul setelah Ganjar Pranowo mendapat peringatan keras dari partai. Apakah Ganjar menyerah, lalu berhenti kampanye? Tidak! Selama ini, kampanye Ganjar semakin kencang. Ganjar cuek terhadap sindiran Puan dan berbagai serangan dari kubu loyalis PDIP. Ini tandanya, Ganjar melawan.

Ganjar tidak sendirian. Di belakang Ganjar, ada Jokowi yang all out back up, bahkan diduga menjadi Sang Maestro bagi permainan dan manuver Ganjar. Jokowi punya kekuasaan dan akses logistik tak terbatas. Akankah kekuasaan dan akses logistik ini bakal membuat Jokowi berhasil menumbangkan Megawati? (net/pel/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *