Menelisik Agenda Terselubung soal Penambahan Masa Jabatan Pimpinan KPK

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra. Foto: internet

Oleh Desmond J. Mahesa *

semarak.co-Akhir akhir ini lagi musimnya para pemangku jabatan publik minta supaya diperpanjang masa jabatannya. Sebelumnya ada rombongan kepala desa yang melakukan unjuk rasa supaya masa jabatannya yang sekarang enam tahun bisa diperpanjang menjadi Sembilan tahun lamanya.

Bacaan Lainnya

Seolah olah tidak mau kalah dengan kepala desa, jabatan presiden melalui orang orang dekatnya juga minta diperpanjang tidak cuma dua periode saja tapi bisa tiga periode agar tidak kalah dengan penguasa Orde baru (orba) yang berkuasa hingga 32 tahun lamanya.

Atau masa jabatan Presiden jaman Orde lama (Orla) yang hingga 20 tahun berkuasa. Kalau penguasa Orba dan penguasa Orla saja bisa berkuasa begitu lama, mengapa penguasa sekarang tidak bisa? begitu kira kira alasannya. Perlombaan untuk memperpanjang masa jabatan juga di ikuti Lembaga negara lainnya seperti misalnya Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui revisi Undang Undang MK, Pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga 70 tahun usianya. Yang paling anyar adalah perpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang awalnya hanya empat tahun meminta supaya bisa diperpanjang hingga lima tahun lamanya.

“Oleh karena itu, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 tahun,” kata hakim MK Arief Hidayat dalam sidang yang disiarkan chanel YouTube MK, Kamis (25/5/2023).

Lalu apa kira kira yang menjadi dasar pertimbangan sehingga jabatan Pimpinan KPK diperpanjang masa jabatannya? Kejanggalan kejanggalan macam apa yang menyertai keputusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK? Apakah ada agenda terselubung dibalik perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK?

Alasan Perpanjangan

Berawal dari adanya gugatan yang dilayangkan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron terhadap Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002, kegaduhan soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK akhirnya mengemuka. Seperti diketahui, Ghufron mengajukan uji materi Pasal 29 (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 30 Tahun 2002 (UU KPK) soal batas umur minimal Pimpinan KPK.

Tapi ternyata terdapat permohonan lain berupa perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun atau berakhir pasca-Pemilu 2024. Permohonan tersebut diselipkan pada saat perbaikan permohonan mengenai batas umur minimal Pimpinan KPK.

Mengapa masa jabatan pimpinan KPK harus diperpanjang, menurut Ghufron karena masa jabatan pemerintahan di Indonesia yang ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945 adalah lima tahun lamanya. Oleh karena itu, dia menilai seluruh periodisasi pemerintahan semestinya juga selaras dengan ketentuan itu yaitu lima tahun juga.

“Cita hukum, sebagaimana dalam Pasal 7 UUD 1945, masa pemerintahan di Indonesia adalah lima tahunan; sehingga semestinya seluruh periodisasi masa pemerintahan adalah lima tahun,” kata Ghufron seperti dikutip oleh media.

Dia menilai masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia. Jika hal itu tidak disamakan, lanjutnya, maka berpotensi melanggar prinsip keadila di Indonesia.

Selain itu, dia juga menilai masa jabatan pimpinan KPK yang saat ini adalah empat tahun akan menyulitkan sinkronisasi dengan evaluasi hasil kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal itu merujuk pada ketentuan periodisasi perencanaan pembangunan nasional yang berlaku saat ini sebagai mana tertuang dalam Undang Undang NOmor 25 Tahun 2004 yang menganut periodisasi perencanaan pembangunan nasional selama lima tahun secara berjangka.

Dalam putusannya, pada akhirnya MK mengabulkan tuntutan dari wakil Ketua KPK Nurul Gufron tersebut sebagaimana tertuang dalam amar putusannya. Hakim MK Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan menyatakan ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.

Guntur Hamzah membandingkan masa jabatan KPK dengan Komnas HAM (Hak Azasi Manusia). “Masa jabatan pimpinan Komnas HAM adalah lima tahun lamanya. Oleh karena itu, akan lebih adil apabila pimpinan KPK menjabat selama lima tahun juga, “begitu katanya.”Masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya,” imbuhnya.

Selain itu, Hakim MK lainnya yaitu Arief Hidayat menyatakan bahwa masa jabatan empat tahun memungkinkan presiden dan DPR yang sama melakukan penilaian terhadap KPK sebanyak dua kali. “Sehingga penilaian seperti ini  dapat mengancam independensi KPK,” kata begitu katanya.

Oleh karena itu pula, menurut Arief, kewenangan presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak dua kali dalam masa jabatannya dapat memberikan beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi calon pimpinan KPK berikutnya.

Atas dasar pemikiran inilah MK menilai penting untuk menyamakan ketentuan tentang periode jabatan lembaga negara yang bersifat independen, yaitu lima tahun lamanya. Namun keputusan hakim MK terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK itu tidak bulat karena diwarnai adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat para hakim MK lainnya.

Dalam hal ini ada empat hakim konstitusi menolak perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Sementara lima hakim konstitusi lainnya  menyetujuinya. Adapun hakim konstitusi yang menolak perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK adalah hakim Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih dan Saldi Isra.

Sementara yang setuju adalah Arief Hidayat, M. Guntur Hamzah, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Manahan M. P. Sitompul dan Anwar Usman (Ketua MK).

Kejanggalan Kejanggalan Itu

Munculnya keputusan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK tak pelak menimbulkan tanda tanya. Banyak kritik yang dialamatkan kepada Lembaga penjaga konstitusi negara itu karena dinilai keputusannya kontroversial dan tidak sesuai dengan aspirasi publik pada umumnya. Beberapa kejanggalan yang sempat mencuat di media terkait dengan keputusan MK tersebut diantaanya adalah:

Pertama, tentang Keharusan Keseragaman masa jabatan. Dalam kaitan ini ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif.

Serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.Argumentasi perubahan periodisasi masa jabatan pimpinan KPK selayaknya dikaitkan dengan desain kelembagaan seperti dinyatakan oleh hakim MK Saldi Isra dkk.

Namun, Pemohon yaitu pimpinan KPK Nurul Ghufron menitikberatkan dasar pengujian pada adanya pelanggaran hak konstitusional belaka. Padahal pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK juga mengandung ketentuan yang secara tersirat memberi jaminan atas hak-hak bagi orang yang terpilih sebagai pimpinan KPK.

Lagi pula ketika UU itu dibuat dengan masa jabatan empat tahun, pasti itu ada pertimbangan filosofinya, sosiologinya, psikologinya. Itu sudah diperhitungkan sehingga itulah yang menjadi kekhasan KPK dengan lembaga-lembaga lainnya.

Saat ini banyak kelembagaan yang masa jabatannya tidak lima tahun sebagai contoh, ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan KPI Daerah diangkat dengan masa jabatan 3 tahun saja. Lalu, anggota Komisi Informasi yang menjabat selama 4 tahun lamanya.

Lalu bagaimana halnya dengan masa jabatan hakim MK sendiri yang bisa sampai 15 tahun lamanya, apakah masa jabatan yang Panjang itu harus ditinjau ulang untuk dipangkas menjadi lima tahun saja?

Kedua, Soal Kewenangan hakim MK. Sesuai dengan ketentuan yang ada, wewenang MK hanya sebatas memeriksa perkara apakah sebuah Undang Undang sesuai atau tidak dengan UUD atau konstitusi negara. Bukan seolah olah menjadi Lembaga yang tugasnya seakan akan ikut membuat UU baru yang bukan kewenangannya.

Karena kalau preseden bisa memperpanjanga jabatan ini diputuskan oleh MK maka bisa saja nanti MK akan memutuskan perpanjangan masa jabatan Presiden, DPR/MPR atau kelembagaan negara lainnya.

Tekait dengan kewenangan MK, publik memang sering dibingungkan oleh keputusan keputusan MK. Sebagai contoh ketika ada gugatan soal angka 20% (Presiden Threshold/PT), MK memutuskan persoalan kewenangan ini kepada pembuat UU (dalam hal ini Pemerintah dan DPR).

Dimana terkesan lembaga ini menghindar dari keharusan untuk memutuskannya.Pada hal publik menghendaki PT dikembalikan O persen agar banyak calon presiden yang bisa ikut berlaga. Tapi itu tidak dikabulkannya.

Kini giliran ada permohonan masa perpanjangan pimpinan KPK, hakim MK dengan sigap langsung memberikan keputusannya. Demikian juga mengenai soal syarat umur pimpinan KPK dimana MK menyatakan bahwa soal syarat umur adalah open legal policy, artinya dibebaskan kepada politik hukum pembuat undang-undang untuk merumuskan dan menentukan norma hukumnya.

Tetapi mengapa misalnya terkait dengan system pemilu terbuka atau tertutup, MK tidak memberikan keputusan yang sama? alias memutuskan bahwa hal itu menjadi domain pembuat Undang Undang untuk menentukannya?

Ketiga, soal berlakunya Keputusan MK. Sebagaimana ketentuan ada bahwa keputusan MK itu bersifat final dan mengikat tetapi kapankah berlakunya? Dari perspektif hukum menurut hemat saya seyogyanya keputusan MK itu tidak berlaku surut yang artinya tidak berlaku untuk pimpinan KPK yang sekarang ada.

Sehingga masa jabatan beberapa pimpinan KPK yang sedang menjabat saat ini yang harus berakhir pada Desember 2023 tidak diperpanjang lagi untuk setahun ke depannya. Karena jika perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang diputuskan MK berlaku untuk pimpinan KPK yang sekarang ada, akan terasa janggal tentunya.

Sebab setiap pimpinan KPK yang ada sekarang sudah ada surat keputusan (SK)-nya. Pimpinan KPK saat ini SK nya berlaku sampai Desember 2023, sehingga ketika ada SK yang baru, maka SK yang baru itu seyogyanya berlaku untuk pimpinan KPK periode berikutnya.

Selain itu MK dalam keputusannya tidak menyebutkan masa transisi berlakunya putusan yang dibuatnya. Jika MK tidak menyebut masa transisi, maka mau tidak mau harus ditafsirkan secara prospektif, bahwa keputusan itu berlaku ke depan.

Yaitu untuk masa jabatan berikutnya bukan untuk pimpinan KPK yang sekarang ada, jadi 5 tahun diberikan pada pimpinan KPK masa jabatan berikutnya.  Artinya kalau 2023 ada pimpinan baru KPK maka merekalah yang bisa mengeksekusi untuk 5 tahun masa jabatannya.

Lalu bagaimana kira kira sikap  istana terkait dengan adanya keputusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ? Dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara Pratikno memberikan tanggapannya. Menurutnya pemerintah taat kepada hukum yang yang sudah ada.

“Jadi intinya pemerintah itu taat pada undang-undang. Undang-undang mengatakan apa, ya, kita taat, gitu,” kata Pratikno di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kamis, 25 Mei 2023 seperti dikutip media.

Pratikno menuturkan pemerintah saat ini sudah membentuk panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK. Menurutnya, Pansel itu dibentuk berdasarkan Undang-undang KPK sebelum jatuhnya putusan MK.

“Sampai dengan kemarin kan kita merujuk undang-undang KPK. Pada periode empat tahun yang lalu, pada bulan Mei itu, pertengahan Mei itu sudah dibentuk Pansel KPK, nah makannya kita cepat-cepat menyiapkan,” ujar dia.

Apakah dengan adanya pernyataan dari Pratikno ini berarti Pemerintah akan meneruskan pembentukan Pansel pimpinan KPK yang baru dan tidak mengeluarkan SK untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang ada?

Tentu publik masih menunggu SK Presiden itu yaitu terkait dengan SK seleksi pimpinan KPK yang baru atau SK perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang ada.

Agenda Terselubung

Ketika Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) banyak pihak bertanya tanya apa kira kira motivasinya. Kecurigaan antara lain disampaikan oleh Ketua IM57+ Institute, Muhammad Praswad Nugraha dalam keterangannya pada media Selasa (16/5/2023).

IM57+ Institute memantau upaya perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini yang dilakukan secara tersembunyi tanpa adanya publikasi dimedia. Menurutnya Ghufron pun tidak pernah menyampaikan kepada publik secara terbuka selain dalam perbaikan permohonan dalam proses persidangannya.

“Mengingat perpanjangan masa jabatan tersebut dilakukan tepat pada saat akan diselenggarakan pemilu 2024 sehingga wajar ketika publik bertanya-tanya mengenai alasan perpanjangan tersebut,” ujarnya.

Praswad mengkhawatirkan gugatan Ghufron seolah melegitimasi asumsi publik soal posisi KPK sebagai alat politik di Pemilu 2024 nantinya. “Jangan sampai dugaan digunakannya KPK sebagai alat politik semakin terverifikasi melalui upaya sistematis ini termasuk perpanjangan masa jabatan,” imbuhnya.

Selain itu, perpanjangan masa jabatan tersebut akan menguntungkan bukan hanya Nurul Ghufron tetapi seluruh pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri yang menjadi pimpinannya.

“Dugaan penggunaan KPK sebagai alat politik yang menyebabkan adanya pelaporan bukan hanya ke Dewas tetapi juga ke Kepolisian.Menjadi relevan untuk dipertanyakan siapakah sebenarnya yang mempunyai agenda ini,” tandasnya.

Kecurigaan yang sama juga disampaikan oleh pakar hukum tata negara Prof. Denny Indrayana. Dalama tulisannya ia menyebut putusan MK terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK itu merupakan bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024 nantinya.

“Sudah saya sampaikan dalam banyak kesempatan, bahwa saat ini penegakan hukum hanya dijadikan alat untuk menguatkan strategi pemenangan pemilu, khususnya Pilpres 2024 “, bebernya.

Lalu kenapa perubahan masa jabatan menjadi 5 tahun itu adalah bagian dari strategi pemenangan Pilpres 2024?  Karena menurutnya ada kasus-kasus di KPK yang perlu ”dikawal”, agar tidak menyasar kawan koalisi, dan diatur dapat menjerat lawan oposisi Pilpres 2024.

“Soalnya jika proses seleksi pimpinan KPK yang baru tetap harus dijalankan saat ini, dan terjadi Pimpinan KPK di Desember 2023, maka upaya untuk menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan, dan memukul lawan itu berpotensi berantakan alias tidak berjalan sebagaimana mestinya,”

Tentu, akan lebih aman jika pimpinan KPK yang sekarang diperpanjang hingga selesainya Pilpres di 2024. Oleh karena itu,menurut Denny,  putusan MK yang mengubah masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun, sudah memenuhi kepentingan strategi Pilpres yang menjadikan kasus hukum di KPK sebagai alat tawar politik (political bargaining) penentuan koalisi dan paslon capres-cawapres Pilpres 2024 nantinya.

Apakah memang demikian agenda terselubung dibalik keputusan MK untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK? Saat ini SK dari presiden memang belum ada yaitu SK untuk perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang ada.

Kalau nantinya SK ini benar benar ada dan keputusan MK berlaku surut maka rasa rasanya dugaan adanya skenario terselubung untuk kepentingan penguasa di Pemilu 2024 sangat masuk akal tentunya.

Sehingga tidak perlu kaget kalau misalnya nanti ada lawan lawan politik (yang sekarang ini menjadi oposisi misalnya capres dan tidak sejalan dengan kehendak penguasa tiba tiba dijadikan tersangka oleh pimpinan KPK yang telah diperpanjang masa jabatannya).

Kemungkinan seperti ini sangat terbuka karena isunya hal ini sudah menjadi agenda penguasa untuk menggagalkan pencalonan salah satu Capres agar tidak bisa berlaga di pemilu 2024 nantinya.

Upaya untuk mengkondisikan KPK agar sejalan dengan kepentingan pemerintah yang sekarang berkuasa tentunya sejalan dengan upaya yang dilakukan terhadap kelembagaan negara lainnya.

Sebutlah misalnya kelembagan MK yang sering diplesetkan sebagai “Mahkamah Kalkulator” atau “Mahkamah Kompromi” atau “Mahkamah Kasur”. Atau kelembagaan DPR sendiri yang dinilai sudah tidak berdaya karena “berselingkuh” dengan pemerintah yang saat ini berkuasa.

Hal yang sama berlaku untuk perangkat kelembagaan penegak hukum yang cenderung tidak berdaya menghadapi pelanggaran hukum dari pihak yang sedang berkuasa. Lalu apakah keputusan MK terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK itu memang menjadi bagian dari skenario untuk kepentingan politik penguasa di pemilu 2024 nantinya? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya.

*) Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

sumber: law-justice.co, Senin, 29/05/2023 05:55 WIB

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *