Market Share Perbankan Syariah di Indonesia Masih Kecil Dibanding Negara Lain

Market share perbankan syariah di Indonesia masih terbilang kecil jika dibanding negara lainnya. Jadi potensi perkembangan perbankan syariah di Indonesia masih cukup besar. Ini bisa jadi imbas dari kurang kompetennya sumber daya manusia (SDM) industri perbankan syariah Indonesia.

Komisaris Utama Bank Mandiri Syariah atau Bank Syariah Mandiri (BSM) Mulya Effendi Siregar mengatakan, market share perbankan syariah di Indonesia masih sekitar 5,1%. Sedangkan Malaysia dan Bharain sudah di atas Indoonesia dengan masing-masing mencapai 24% dan 29%. Sedangkan untuk market share di tingkat global, lanjut Mulya, perbankan syariah di Indonedia masih menyumbang sebesar 1,6%, sedangkan Malaysia sudah mencapai 9%.

“Ini menjadi salah satu faktor yang membuat industri perbankan syariah di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan negara-negara lainnya,” ujar Mulya saat pemaparannya dalam acara Media Training Bank Mandiri Syariah di Garut, Jawa Barat, Jumat (8/12-2017).

Saat ini, kata dia, masih banyak isu-isu diluaran yang mengatakan SDM perbankan syariah masih kualitas tingkat dua atau KW 2. “Ini merupakan pekerjaan rumah buat kita semua untuk menjadikan SDM perbankan syariah lebih berkompeten dan berdaya saing,” paparnya.

Seperti diketahui, awal 2010-2013 adalah masa kejayaan industri perbankan syariah di Indonesia. Tapi, lanjut Mulya, di masa kejayaan tersebut tidak bisa diikuti dengan kualitas SDM-nya, pada akhirnya 2014 industri perbankan mulai menuai hasil dengan naiknya NPF perbankan syariah. “Ini merupakan pengalaman yang sangat berharga dan menjadi pelajaran bagi industri perbankan syariah kita,” katanya.

Namun demikian, tambahnya, pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. “Tetapi, jika melihat dari realisasi rasio keuangan, perbankan konvensional masih lebih baik jika dibandingkan dengan perbankan syariah,” tutupnya.

Dari pemantauan www.semarak.co yang berkesempatan ikut hadir saat kunjungan media ke salah satu produsen kulit milik Ujang Ali Solihin, di Garut. Ujang mengisahkan proses pematangan kulit. “Jadi kulit mentah itu direndam satu hari supaya agak rontok bulu-bulu pada kulit itu. Kemudian disimpan selama satu malam,” ujarnya.

Lalu, kata dia, pembuangan dalaman kulitnya secara manual dengan pisau atau mesin yang disebut pleasing. Usai itu direndam dengan kapur atau mesin molen selama 24 jam. Selama proses ini bahan baku kulit tidak boleh lebih dari 800 lembar kulit dari kapasitas produksi per hari 2000 lembar.

Kulit ini diambil dari daerah Kuningan dan Cirebon. Karena kualitas kulit di kedua daerah ini bagus dari di Garut maupun Sumedang, Cianjur. Sementara bahan baku kulit dari luar daerah-daerah itu, kulitnya banyak bintik dan bekas gigitan nyamuk masih terlihat.

Ada juga kulit domba dari Semarang, Jawa Tengah dan Jogjakarta. Namun kelemahannya, kala di musim kemarau kondisinya jelek. Sedangkan produk hasil produksi kulitnya sebanyak 10-15 persen di pasar luar Garut. “Pemasaran di luar Jawa kurang. Karena paling banyak penjualan di luar, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Kalau Sumatera malah lebih kurang karena suplayi kulit sesama daerah Sumatera cukup besar,” ujarnya.

Kendala bahan baku kulit, terutama domba, kata Ujang, biasanya sebelum Ramadhan sampai Syawal atau Lebaran akan susah dicari. Adapun harganya per lembar kulit sebesar Rp 75 ribu untuk domba. Sedangkan sapi lebih murah, yaitu Rp 25 ribu per kilogram. Dengan minimal pasokan sebanyak 500 lembar. “Sebenarnya bisnis ini menjanjikan, tapi kalau pembayarannya cash oleh para agennya atau jual putus. Untuk penjualannya pun tergantung permintaan pasar. Kalau lagi sepi, bisa sangat turun demandnya,” ujar Ujang yang sudah 20 tahun membangun usahanya bahkan sempat jatuh di tahun 1989. (san)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *