Diskusi Empat Pilar MPR RI Bersama KWP: Keberlangsungan Pembangunan IKN tanpa Haluan Negara

(kanan ke kiri) Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas Feri Amsari, Jubir PKB Mikhael Benjamin Sinaga, Sekretaris Otorita Ibu Kota Nusantara Dr. Achmad Jaka Santos Adiwijaya Anggota MPR RI F-Golkar Muhammad Fauzi, dan Moderator: Irandi Kasmara dalam acara diskusi Empat Pilar dengan tema Keberlangsungan Pembangunan IKN Tanpa Haluan Negara yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Hubungan Masyarakat Dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI, Rabu, 1 Maret 2023 di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Foto: heryanto/semarak.co

Anggota MPR Fraksi Partai Golkar Muhammad Fauzy mengatakan, untuk keberlanjutan dan keberlangsungan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara perlu diikat dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

semarak.co-PPHN ini bisa menjawab keraguan pada masyarakat maupun investor terhadap regulasi yang memberikan jaminan kepastian keberlanjutan proyek atau program pembangunan IKN Nusantara di Penajam Passer Kalimantan Timur (Kaltim).

Bacaan Lainnya

“Kalau kita bicara sebuah proses pembangunan, apalagi pemindahan sebuah ibu kota, bukan sesuatu hal yang mudah. Kerena bukan memindahkan sebuah rumah, ini memindahkan bangunan atau membuat bangunan baru yang diikuti juga pengelolaan pemindahan pengelolaan manajemen negara,” terang Fauzy dalam paparannya.

Hal itu mengemuka dalam diskusi Empat Pilar dengan tema Keberlangsungan Pembangunan IKN Tanpa Haluan Negara yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama Biro Hubungan Masyarakat dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI di Media Center MPR/DPR/DPD RI, gedung Nusantara III Komplek Senayan, Jakarta Pusat, Rabu siang (1/3/2023).

“Jadi ini bukan satu hal yang mudah karena itu hal-hal yang kira-kira kemungkinan-kemungkinan yang kelihatannya bisa besar atau kecil menghambat proses ini pelan-pelan harus kita cari jalan keluarnya,” demikian Fauzy menambahkan paparannya.

Di beberapa negara seperti di Malaysia, Pakistan, Brazil juga pernah melakukan hal yang sama dan negara yang disebutkannya ini masih banyak negara-negara yang lain yang sukses. “Alasan daripada pemindahan itu lebih banyak kepada ibukota sudah dianggap padat penduduknya,” ungkapnya.

Ada juga beberapa negara yang beralasan ingin memindahkan atau memisahkan antara pemerintahan negara atau pemerintahan suatu daerah dengan dunia usaha, kalau sebutkan itu tadi lebih banyak 3 negara itu karena sudah kepadatan penduduk di ibukota yang lama.

Karena ini hal yang sangat serius, kata dia, apalagi khusus di Indonesia setelah pasca reformasi segala sesuatu yang produk dari orde baru menjadi satu hal yang salah pada waktu itu. “Hampir semuanya, tapi pelan-pelan juga oh ternyata ini ada yang benar, seperti GBHN,” paparnya.

“GBHN itu menjadi sebuah payung atau guiden atau menjadi rujukan dalam sebuah proses pembangunan di sebuah negara khususnya di di Indonesia, tapi pada waktu itu melalui sebuah amandemen, GBHN ini dihilangkan,” imbuh Fauzy.

Sekarang kita tidak punya pikiran-pikiran haluan negara, lanjut dia, dikhawatirkan pada saat ini tidak ada pembangunan tidak dapat atau tidak maksimal melakukan sinergitas antara pusat dan daerah. Kemudian dikhawatirkan juga ketersambungan pembangunan juga ini jadi masalah tersendiri.

“Jangan-jangan pemerintahan yang akan datang tidak melanjutkan kebijakan ini dengan cara dicari-cari alasan karena kita ini pintar mengotak-atik aturan yang ada. Kalau kita biarkan hal-hal seperti ini, kita akan terhambat dalam proses pembangunan,” tuturnya.

Dilanjutkan Fauzy, “Kita harus ada kompas atau panduan untuk bagaimana pembangunan ini bisa bersinergi satu sama lain, baik daerah dengan daerah, pusat dengan daerah sehingga dia tidak parsial. Pada saat itu menjadi satu kesatuan, kemungkinan akan lebih efisien dalam kita membangun, di samping juga sasaran akan akan lebih mudah tercapai.”

Sekretaris Otorita Ibu Kota Nusantara Achmad Jaka Santos Adiwijaya mengatakan, “Progres pembangunan IKN dari satu persfektip yang laksanakan oleh pemerintah dalam hal ini kami selaku otorita ibukota negara. Pertama kami akan menanggapi apa yang diterangkan Bapak Fauzi,” timpalnya.

“Dan menurut kami itulah pertanyaan yang paling banyak kami terima. Baik dari masyarakat maupun investor, yaitu bagaimana kelanjutan IKN setelah 2024. Pada prinsipnya kami ini melaksanakan undang-undang, kebetulan kami bukan pihak yang menjadi pemrakarsa, pembuat atau penyusun dari undang-undang No 3 Tahun 2022,” kilahnya.

“Tapi kami adalah orang-orang yang diangkat untuk mengisi otoritas ibukota nusantara, dengan tugas dan fungsi sebagaimana tertera dalam undang-undang 3/2022 disertai yang sudah ada rencana induknya,” demikian tutur Achmad yang menjadi narasumber juga.

Begitu juga Juru Bicara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Mikhael Benjamin Sinaga mengatakan, “Kita sudah banyak kajian ilmiahnya, mungkin dari sisi anak muda melihat bahwa Partai PKB yang partainya anak muda karena banyak menjaring anak muda, bagaimana anak muda melihat IKN ini yang mau dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan.”

Pertama kalau kita melihatnya itu dari sisi global warning dan apa namanya global warning ini yang membuat air laut sudah naik dan Jakarta itu sudah mau tenggelam sebentar lagi. Itu karena kebanyakan penggunaan air tanah, jadi Mikhael sangat bersyukur bahwa di IKN itu kita enggak memakai air tanah lagi.

“Nah kalau seandainya nanti kita di sana pakai air tanah lagi berarti 30 tahun lagi kita pindah ibu kota lagi dong, nah itu kan kita jadi percuma, jadi terulang-ulang aja. Saya juga melihat di sini tidak terlalu ada motif politis di dalam perpindahan ibukota negara, makanya PKB sebagai partai politik mendukung pemerintah juga,” imbuhnya.

Bukti PKB mendukung sekali sampai Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin memotong tumpeng 24 di Titik Nol IKN tahun lalu. “Karena banyak sekali ibukota- ibukota yang dipindah karena alasan-alasan politis, kalau saya lihat ibukotanya Indonesia ini dipindah bukan karena alasan politis,” ujar Mikhael.

Justru kalau alasannya politis, terang dia, yang dicari di pulau Jawa. “Karena Jawa itu tempat di mana kebanyakan pemilih atau basis suara di politik. Kalimantan itu ada suara siapa di situ, mungkin suara-suara hutan yang kedengaran di sana,” imbuhnya.

Tapi kalau dilihat memang pemerintah sedang memikirkan bagaimana caranya ada suatu lokasi yang sustainable. “Kita memindahkan ibu kota ke tenpat lain yang sudah ada kotanya, itu malah kita sama saja dengan Jakarta, kita memperbaiki sesuatu yang sudah carut-marut dan sulit, itu jauh lebih sulit daripada kita memulai sesuatu dari nol,” ulasnya.

Artinya memang biaya banyak, kata dia, dia juga memahami konsen dari kita semua bahwa biayanya ini besar, tetapi in the long run untuk jangka panjang ini justru biaya termurah yang bisa kita keluarkan. “Terkait soal haluan negara memang kelihatannya pemerintah ini menjadi seperti reaktif ya?” ujarnya.

Ada masalah baru, barulah diperbaiki. Tapi kita berusaha berpikir positif saja. Artinya jangan kita terlalu mengkritik sedemikian, kok tidak ada haluannya? Apakah besok dilanjutkan, saya rasa kalau dari manapun, dari partai manapun presidennya, kalau memang ini memperbaiki rakyat dan kalau itu tidak dilanjutkan, rakyat sendiri yang akan marah.

Apalagi anak muda sekarang ini sudah melek politik, lanjut dia, meskipun ada sedikit yang menganggap politik itu kurang baiklah istilahnya, tetapi mereka itu bukan bodoh dan tidak tahu. Artiya kita sudah melihat bahwa perpindahan ibukota ini didasari oleh salah satunya adalah global warning.

“Kedua baru tadi malam sepertinya, Cak Imin di Kawasan Gatot Soebroto Jakarta Selatan mau pergi ke suatu tempat, terpaksa turun dari mobil dan lebih memilih jalan kaki. Itukan sudah ngeri sekali, bagaimana bisa semacam itu kondisi ibu kota sampai harus jalan kaki,” sindir Mickhael.

Karena New York, Sydney, dan Kuala Lumpur tetap menjadi pusat ekonomi dan bahkan ini akan menjadi sesuatu yang baik untuk Jakarta, meskipun dia tidak dinamakan ibukota tetapi secara de facto tetap itu ibukotanya. Tetap orang mau berbisnis ke Jakarta juga, tidak mungkin ke Kalimantan,” kata Mikhael.

Mikhael optimistis, generasi muda khususnya dari PKB akan sangat menyambut baik rencana perpindahan ibukota negara ini. “Artinya, ibukota negara ini tak dibuat secara sembarangan memang sudah ada perencanaan yang matang, meskipun tak ada haluan negara,” jelas Mikhael.

Menurut Mikhael, Haluan Negara itu merupakan sesuatu yang opsional. “Opsional karena kalau presidennya berpikir secara logis itu akan tetap dilanjutkan. Kalau menurut saya begitu dan kalau dia berpikirnya kurang logis dan kebanyakan berpikir politik ya mungkin tidak dilanjutkan dan membuat proyek baru lagi, proyek baru lagi,” tutur Mikhael.

Mikhael sendiri secara pribadi sangat yakin wacana perpindahan ibukota negara akan dilanjutkan dan diimplementasikan. “Saya yakin, saya optimis dengan iklim politik sekarang yang cukup sejuk saya yakin ibukota negara ini tetap akan dilanjutkan. Itu menurut saya,” pungkas Mikhael Benjamin Sinaga.

Pembicara terakhir Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas Feri Amsari. Feri mengatakan, kalau dilihat struktur awalnya Undang-undang 25 tahun 2004, itu jauh lebih presisi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dari pemerintah sebelum ke pemerintah pengganti.

“Bukankah gagasan GBHN yang sangat abstrak itu lalu kemudian dilakukan teknis detail di dalam UU 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Jadi tidak ada soal sebenarnya dengan haluan negara ada atau tidak untuk keberlanjutan, karena kalau dilihat misalnya ya pasal 33 UU N0 25 Tahun 2004,” ujarnya.

Bahwa harus ada dalam upaya perekonomian pembangunan segala macamnya, sambung Feri, itu prinsip kebersamaan dan keberlanjutan. “Jadi bagi saya sebenarnya perdebatan soal haluan negara ini sudah selesai semenjak lahirnya UU No 25 tahun 2004,” paparnya.

“Jadi bagaimana mungkin ini tidak berlanjut kalau sudah diprogramkan, apakah kemudian IKN ini masuk Bappenas dan segala macamnya direncanakan dengan baik-baik dalam rencana pembangunan jangka menengah, itu yang mungkin perlu ditelaah lebih baik. Kalau sudah masuk apa persoalannya?” ujarnya.

Justru yang agak dikhawatirkan Feri adalah persoalan proyek mercusuar, multi years, ada yang takut jangan-jangan arah politik. “Bisa saja berubah dan arah pembangunan IKN bukan menghalangi pembangunan, tapi persoalan teknis terutama kasus-kasus korupsinya,” ulas Feri dosen Universitas Andalas.

Biasanya, kata dia, kalau tidak suka pada seseorang atau lawan politiknya bukan menghalangi programnya, tapi apakah di program itu ada korupsinya? “Nah cenderung dalam berbagai program potensi korupsinya luar biasa besar, maka ini problematika kita yang sudah beranak-pinak, beranak cucu yang kita tidak kita selesaikan sampai sekarang,” sindirnya.

Kalau kita lihat UU No 25 tahun 2004 dan UU No 17 tahun 2007, kata Feri, maka proyek IKN ini sudah aman. Cuma memang ada masa transisi yang mengkhawatirkan menjelang rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) yang baru akan berakhir 2025.

“Bagaimana posisi IKN dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional yang baru ini. Kalau ketiga calon presiden yang beredar saat ini kemudian ada yang jadi, konsekuen dengan apa yang mereka bicarakan dan kampanyekan, sekali lagi ini tidak akan jadi persoalan. Ini kemungkinan ada yang tidak konsekwen,” ujar Feri.

Inilah yang akan jadi problematika jika tidak konsekwen dan catatan politik kita itu selalu apa yang di kampanyekan mudah sekali dihilangkan ketika sudah jadi pemimpin. “Nah ini problematika tersendiri, kalau masing-masing kita punya catatan politis saya pikir apa yang kita khawatirkan ini sekali lagi tidak terjadi,” harapnya.

Fauzy menambahkan, segala kemungkinan dalam politik bisa saja terjadi, kalau bicara apakah pembangunan IKN bisa atau tidak bisa dilanjutkan, maka dalam politik tidak ada sesuatu yang tidak bisa. Semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu perlu dicari kunci penutupnya sehingga kebijakan pembangunan IKN itu tidak bisa lagi diutak-atik.

Bahkan senada Feri, Fauzy mengakui kadang-kadang muncul ego pada suatu rezim. Di mana rezim pemerintahan berikutnya merasa proyek IKN ini misalnya bukan berasal dari rezim yang lama, dengan egonya bisa menjalankan kebijakan yang berbeda dengan rezim sebelumnya.

“Dalam hal IKN, ego rezim itu harus ditekan. Karena program pembangunan IKN bukanlah atas nama atau kehendak pribadi seorang presiden, tetapi merupakan produk pemerintahan. Karena itu, program pembangunan IKN harus ditindaklanjuti, siapa pun rezim pemerintahan berikutnya,” tegasnya.

MPR saat ini masih memproses penyusunan PPHN. Yang masih menjadi persoalan adalah payung hukum PPHN, apakah dimasukan dalam UUD atau dalam bentuk Ketetapan MPR? Artinya melalui amandemen UUD atau melalui jalan nonamandemen, yaitu melalui UU atau konvensi ketatanegaraan.

“PPHN ini harus dibuat ketika negara dalam suasana sejuk. Bila dilakukan menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, penyusunan PPHN akan dilihat dari sudut pandang politik. Mudah-mudahan setelah 2024 kita bisa melanjutkan pembahasan PPHN,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan wartawan, Achmad Jaka mengakui pihaknya sering mendapatkan pertanyaan dari masyarakat maupun investor, yaitu bagaimana keberlanjutan pembangunan IKN setelah Pemilu 2024. Karena itu, perkembangan dan dinamika politik satu dan dua tahun ke depan mendapat perhatian.

“Tapi kalau kita sudah memahami bahwa pembangunan IKN ini adalah amanat undang-undang, yaitu UU No. 3 Tahun 2022. Maka siapapun presidennya harus menjalankan undang-undang itu. Kecuali jika tidak mau melanjutkan pembangunan IKN maka UU itu harus diubah bila tidak direvisi maka bisa dikatakan melanggar UU,” tutur dia.

Menurut Achmad Jaka, diperlukan Haluan untuk membangun sebuah negara dengan landasan utama UUD NRI Tahun 1945. Inilah kesempatan kita membangun ibu kota negara dengan konsep yang utuh sebagai sebuah ibu kota negara.

“Untuk mewujudkannya perlu proses yang panjang dan dimasukkan dalam haluan negara untuk membuktikan kita bisa membangun secara berkesinambungan. Kita perlu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai sebuah bangsa besar memiliki ibu kota negara yang kita banggakan,” terangnya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas, Feri Amsari berpendapat jika mengacu pada UU, maka keberlanjutan proyek pembangunan IKN tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, tanpa PPHN pun proyek pembangunan IKN tetap berlanjut. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *