Oleh Ulil Abshor Abdalla *
semarak.co-Malam ini, saya membongkar koleksi buku-buku yang sudah cukup lama tidak saya sentuh di kamar perpustakaan pribadi saya. Di antara tumpukan koleksi itu, saya menemukan buku lama yang disunting oleh Ahmad Rifa’i Hasan berjudul, Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah atas Karya-Karya Klasik.
Buku ini diterbitkan oleh Mizan pada 1987 atas kerjasama dengan LSAF, lembaga pimpinan (alm) Prof. Dawam Rahardjo. Dulu (sekarang tidak lagi!), saya sangat teliti membubuhkan keterangan pada setiap buku yang saya beli: kapan saya beli, di mana, dengan harga berapa, dan keterangan lain yang relevan.
Buku suntingan Hasan tadi itu memuat semacam “kolofon” sederhana yang saya buat pada halaman pertama: saya beli pada 12 Desember 1991, pada saat saya masih menjadi mahasiswa di LIPIA (cabang Universitas Imam Muhammad ibn Saud, Riyadh, yang ada di Jakarta). Harganya? Rp. 3600.
Ada banyak artikel menarik dalam buku ini, misalnya ulasan tentang Tafsir Munir karya Imam Nawawi Banten; juga ulasan tentang sebuah karya yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniri (ulama Aceh yang menjadi lawan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dalam debat soal pandangan wujudiyyah atau “manunggaling kawula gusti”).
Ada juga ulasan tentang karya Ronggowarsito, “Wirid Hidayat Jati”, yang ditulis oleh Prof. Simuh. Dua artikel lain mengulas soal teori martabat tujuh yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan Haji Hasan Mustapa (Penghulu Besar Bandung pada awal abad ke-20 dan sahabat dekat sosok kontroversial, Snouck Hurgronje).
Salah satu ulasan tentang martabat tujuh ini ditulis oleh Prof. Ajip Rosidi. Di antara seluruh tulisan dalam buku ini, artikel Prof. Rosidilah yang paling menarik perhatian saya. Saya tertarik bukan karena isi tulisannya, melainkan karena bahasa yang dipakai dan diperagakan oleh Prof. Rosidi dalam tulisannya yang sangat bagus ini.
Saya melihat, salah satu problem terbesar dunia akademis kita di Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu dan sekaligus gaya bahasa yang berkembang di kalangan sarjana kita. Ada masalah pada aspek kualitas dan juga stilistika atau uslub.
Menurut saya (boleh jadi saya salah), bahasa Indonesia dalam dunia jurnalisme dapat kita katakan mengalami “pembaharuan” dan peningkatan, baik dari segi mutu maupun stilistika, melalui “jihad kebahasaan” yang dikembangkan majalah Tempo sejak terbit pertama kali pada akhir tahun 70an dulu.
Tentu saja peran sosok Goenawan Mohamad tak bisa diabaikan di sana. Sekarang, bahasa Indonesia jurnalistik kita sudah lumayan baik, dan berkembang cukup bagus, meski akhir-akhir ini dirusak kembali oleh praktek berbahasa sejumlah media online yang berkecambah dalam sepuluh terakhir ini.
Tetapi di dunia akademis, di kampus secara khusus, dan di lingkungan kersarjanaan kita secara umum, belum ada usaha ke arah “pembaharuan” dan juga “pembakuan” bahasa Indonesia untuk penulisan karya-karya ilmiah. Saya melihat, bahkan ada kemerosotan kualitas berbahasa di kalangan dunia akademis kita.
Saat membaca karya-karya ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal berbahasa Indonesia yang sudah terakreditasi (jumlahnya sekarang ratusan, bahkan ribuan), saya sering mengalami frustrasi. Sumber frustrasi saya bukan semata-mata soal substansi, tetapi juga mutu bahasa Indonesia yang dipakai para sarjana kita akhir-akhir ini.
Buruk sekali. Begitu buruknya sehingga kadang jidat saya menderita karena berkali-kali terkena tepok. Sebagian karya-karya ilmiah yang terbit di jurnal-jurnal yang sudah terakreditasi itu memakai bahasa Indonesia yang bahkan secara gramatik-dasar saja kadang-kadang bermasalah.
Misalnya, masih sering saya jumpai kalimat yang tak jelas mana subyek, dan mana predikat. Ini karya akademis di jurnal lho! Belum lagi jika kita perhitungkan aspek gaya atau stilistika, bahasa Indonesia yang dipakai oleh kalangan akademis kita miskin stilistika (tentu saja saya bicara di sini tentang stilistika yang pas dan cocok untuk tulisan akademis, bukan tulisan yang berwatak “kreatif”).
Nah, di tengah-tengah frustrasi saya ini, tiba-tiba, malam ini, saya berjumpa dengan tulisan Ajip Rosidi dalam buku suntingan Ahmad Rifa’i Hasan tadi itu. Saya lega sekali. Lega, karena saya berjumpa dengan contoh tulisan akademis yang secara kebahasaan baik, runut, dan secara logika juga koheren.
Artikel Prof. Rosidi itu memberikan contoh berbahasa Indonesia yang baik dalam konteks tulisan ilmiah. Sudah lama saya mengenal tulisan-tulisan Prof. Rosidi, baik puisi, cerpen, maupun kritik sastra. Karya akademis Prof. Rosidi yang pertama kali saya kenal adalah buku tebal yang ia sunting dengan judul, “Langit Biru Laut Biru”, berisi antologi puisi Indonesia dari berbagai angkatan, disertai catatan kritis yang cukup mendalam.
Buku itu dulu saya pinjam waktu masih menjadi santri di Kajen, dari perpustakaan yang ada di pesantrennya Kiai Sahal Mahfudz. Pertama kali membaca buku ini lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, saya belum menyadari aspek kebahasaan dalam tulisan Prof. Rosidi.
Malam ini, membaca kembali tulisannya, saya baru sadar, ternyata Ajip Rosidi telah memberikan teladan sejak lama tentang bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dalam konteks tulisan ilmiah. Tulisan Prof. Rosidi mengingatkan saya pada tulisan-tulisan ilmiah dalam jurnal-jurnal ilmiah berbahasa Inggris pada umumnya: bahasanya rapi, logikanya runtut, dan enak dibaca.
Saya curiga, para dosen dan pembimbing tesis atau disertasi di kampus-kampus kita, jarang memberikan perhatian khusus pada praktek berbahasa di kalangan mahasiswa. Ada semacam asumsi tersembunyi, bahwa mahasiswa dan para sarjana itu, karena lahir di Indonesia dan memakai bahasa ini dalam komunikasi sehari-hari, dengan sendirinya akan mampu berbahasa Indonesia dengan baik.
Kenyataannya tidak demikian. Lahir di dan memakai bahasa Indonesia sejak lahir tidak menjamin seseorang bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Ada beberapa sarjana Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, disertai dengan stilistika yang membuat tulisan-tulisan mereka hidup.
Tulisan-tulisan mereka ini sudah selayaknya disebarkan oleh para dosen kepada para mahasiswa mereka, untuk menunjukkan: Ini lho contoh menulis tulisan ilmiah dengan bahasa Indonesia yang baik.
Beberapa sarjana yang saya maksud itu adalah: Ignaz Kleden, F. Budi Hardiman, Setyo Wibowo (dosen filsafat STF Driyarkara), Taufik Adnan Amal (penulis buku penting tentang sejarah Qur’an), Syamsurizal Panggabean, dan teman saya sendiri Ihsan Ali-Fauzi. Ini hanya contoh saja. Masih banyak yang lain.
Sarjana lain yang menulis dengan bahasa Indonesia yang sangat baik adalah Mas Abdul Gaffar Karim. Sejak menulis skripsi di UGM pada tahun 90an dulu tentang Gus Dur, dan diterbitkan oleh LKiS, Mas Gaffar sudah masuk dalam “radar” perhatian saya karena menulis dengan bahasa yang sangat baik.
Mutu kehidupan ilmiah tidak saja ditentukan oleh kualitas ide-ide yang dipercakapkan di sana, melainkan juga oleh mutu bahasa yang dipakai. Kesadaran tentang memakai bahasa yang benar dan “indah” di kampus kita, saya lihat, masih rendah sekali.
Yang tampak menonjol adalah justru sikap buruk yang melihat bahasa sebagai alat yang bisa dipakai untuk sekedar menyampaikan gagasan saja. Pokoknya, asal gagasan sampai, tak peduli dengan corak bahasa yang bagaimana. Ini sikap berbahasa yang berbahaya dan buruk, dan, karena itu, harus berubah. []
Catatan: Ada kekeliruan dalam menyebut Ahmad Rifa’i Hasan, penyunting buku yang saya bahasa dalam tulisan ini, pada versi pra-revisi sebagai almarhum. Mohon maaf atas kekeliruan ini. Terima kasih kepada Mbk Lies Marcoes.
*) penulis adalah budayawan
sumber: WAGroup Dosen STAI PTJ (postKamis26/1/2023/marzuki)