by Agus Hernawan 02/01/2023
semarak.co-Kekuasaan itu semantikal kelupaan. Aforisme ini tepat menggambarkan tabiat berpolitik pendukung Jokowi. Di mata para Jokower, Anies tak ada baiknya, tak ada prestasinya. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilai hanya cakap tata kata, tapi tak bisa kerja.
Mereka lupa. Anies yang cakap bertata kata itu justru jadi daya ungkit elaktabilitas Jokowi. Mari mundur ke Pilpres 2014. Kala itu, Prabowo adalah sosok ideal untuk seorang presiden. Datang dari kasta satria, cerdas dan orator, plus berduit. Satu lagi, Prabowo good-looking di mata emak-emak. Pesona personal ini didukung kekuatan politik.
Mayoritas partai politik, berhimpun dalam Koalisi Merah Putih mendukung Prabowo. Jalan menuju Istana seperti tinggal selenggang. Tapi, mengapa justru Jokowi yang sampai ke Istana? Jokowi hebat, tidak juga. Keunggulan Jokowi ada pada kontradiksi.
Prabowo seperti Akhilles dalam mitologi Yunani. Putra Peleus dan peri Thetis itu memiliki tubuh dewata kecuali pada tumitnya. Prabowo memiliki Achilles hell itu. Satu kelemahan yang bersumber dari masa lalu. Prabowo pernah menjadi bagian keluarga Soeharto. Ini melekat sebagai “identitas”.
Anies Diundang
Prabowo adalah anasir dan bahaya laten Orba. Kekuasaan monolitis yang membangun struktur impotensi, meminjam istilah Herbert Spencer, lewat jalan “darah dan besi panas”. Gambaran tentang Prabowo dan Orba dibangun paralel. Diproduksi dan diresonansi dalam imaji publik untuk satu efek elektoral. Memilih Prabowo berarti memilih kembali ke rezim bertangan besi yang korup dan menindas.
Prabowo dan Jokowi diorkestra dalam kontradiksi. Prabowo yang elit dan patrician. Jokowi yang wong ndeso dan plebeian. Prabowo yang Orba, didukung Golkar, Jokowi sebagai anak kandung Reformasi didukung partai-partai yang lahir di era dan pasca Reformasi (PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura).
Untuk penegas Jokowi sebagai antitesa Prabowo yang Orba, ikon personal dibutuhkan. Karena itu, di malam tanggal 27 Mei 2014, dari Posko Pemenangan Jalan Sisingamaraja, Jokowi menelepon Anies. “Mohon saya dibantu, Pak Anies,” begitu permintaan Jokowi.
“Saya mengiyakan undangan tersebut sebagai sebuah ikhtiar turun tangan ikut mendorong orang baik mengelola pemerintahan,” ujar Anies kepada awak media menjelaskan alasannya menerima ajakan Jokowi.
Anies pun ditunjuk jadi juru bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK. Di Pilres 2014 itu, bukan Luhut, Airlangga atau Erick Tohir, Anieslah yang selalu menempel Jokowi. Dukungan Anies kian menajamkan kontradiksi yang memberi keuntungan elektoral pada Jokowi.
Keduanya mewakili pikiran dan rasa generasi pasca-Orba. Keduanya menjadi sahabat. “Sangat dekat. Nyaris 24 jam, Anies menemani Jokowi,” begitu disampaikan Jusuf Kalla (JK) dalam podcast bersama Rocky Gerung.
Anak Panah Paris
Adanya Anies di sisi Jokowi membawa horizon harapan pada banyak orang akan era baru kepemimpinan nasional. Keduanya saling melengkapi. Jokowi dengan politik mendengar, Anies dengan kecanggihan orasi. Jokowi yang mengedepankan rasa dan empati, Anies yang berjalan dengan gagasan dan visi.
Di paruh pertama Kepemimpinan Jokowi-JK, berbagai gagasan besar diusung. Ada Nawacita, ada Indonesia Poros Maritim Dunia, Revolusi Mental yang semua lahir dari kehendak memenuhi janji kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, masuk paruh kedua Jokowi-JK, Anies dikeluarkan dari Kabinet Kerja. Dari situ mulai diternak cerita tentang Anies yang tak cakap kerja. Ternak cerita itu terus dilanjutkan sampai hari ini. Jokowi, di balik impresi kesederhanaannya, melampaui sekedar politisi.
Kekuasaan itu ialah bagaimana menggenggam. Segala perlambang dan relasi kuasa dibangun untuk muara ke ndherek karsa dalem (terserah kepada kehendak raja). Anies itu lurus berpolitik. Buat Jokowi, bisa jadi, Anies cuma alat. Anak panah Paris, Pangeran Troya yang dilesatkan ke tumit Akhilles.
Anies sebagai intelektual publik perlu hadir. Ia merepresentasikan tubuh politik, pandangan dan preferensi politik, juga harapan generasi Reformasi. “…Baswedan played a leading role in the student movements that helped oust Indonesian dictator Suharto,” tulis Majalah Foreign Policy.
Di majalah terbitan Carnegie Endowment for International Peace yang berpusat di Washington itu, Anies masuk dalam daftar 100 Tokoh Intelektual Dunia. Di situ ada nama-nama intelektual yang sudah dikenal luas seperti Noam Chomsky, Francis Fukuyama, Samuel Huntington, Jurgen Habermas, Yusuf Qardhawi, Al Gore, dan Muhammad Yunus.
Adanya Anies berarti memenangkan pengakuan, dan tentunya juga dukungan dunia. Sejarah mungkin bisa jadi akan berbeda, sekira Anies ada di kubu Prabowo-Hatta Rajasa.
Mengapa Anies Dibenci?
Pertanyaan, Mengapa Anies Dibenci? agaknya terkait dengan kuasa nubuat. Sebuah ramalan tentang pemimpin yang dinantikan. Ada satu peristiwa di Jumat malam, tanggal 5 Februari 2015, lebih kurang satu tahun sebelum Anies dipecat Jokowi. Peristiwa apa itu? Saya sajikan di catatan politik berikutnya. Berjudul Anies dalam Kuasa Ramalan.
Foot Note:
Trust Channel
#Sejarah tidak pernah berdusta.
#KacangJanganLupaKulit
#MenolakLupa
27 Mei 2014, dari Posko Pemenangan Jalan Sisingamaraja, Jokowi menelepon Anies. “Mohon saya dibantu, Pak Anies,” begitu permintaan Jokowi. Sebuah realitas yang dilupakan oleh Jokowi dan para pendukungnya akan peran besar Anies menghantarkan dan mendampinginya pada periode pertama Jokowi-Jusuf Kalla.
Sangat kontras dengan narasi yang dibangun saat ini ketika Anies berseberangan dengan kekuasaan, namun Anies tidak pernah menghina penguasa dan pendukung kekuasaan yang menghinanya dengan narasi tidak bersahabat (narasi tanpa bukti dan tidak berakal sehat). Silahkan baca dengan nurani dan akal sehat sebuah tulisan yang sangat beradab dalam nuansa Indonesia yang berakhlak mulia.
sumber: free.facebook.com di WAGroup FORUM UMMAT ISLAM (postSenin23/1/2023)