Oleh Furqan Jurdi *
semarak.co-Pemerintahan otoriter dalam sejarah lahir dari kebiasaan membuat “keadaan darurat” untuk melegitimasi dirinya bertindak melampaui hukum. Sejarah para tiran memberikan ilham kepada kita, bagaimana otoritarianisme menggunakan “kegentingan memaksa” untuk mengesampingkan konstitusi demi melayani hasrat kekuasaan yang besar.
Dalam sejarah Republik Weimar atau yang disebut Reich Kedua telah memberikan petunjuk kepada Adolf Hitler untuk menggunakan “keadaan pengecualian” (state of exception) untuk berkuasa penuh. Selama 12 tahun Reich Ketiga di bawah kekuasaan Hitler, Jerman adalah negara dalam keadaan darurat (state of emergency).
Presiden Republik Weimar Paul von Hindenburg pada 1930-an, menggunakan instrument Pasal 48 untuk menyatakan kondisi darurat atau keadaan pengecualian (state of exception). Pada 1930, secara terus menerus Hindenburg mengeluarkan lima dekrit darurat (state of emergency) yang disahkan.
Pada 1932, sebanyak 66 keputusan darurat yang dianggap perlu. Cukup jelas, pada 1932 Jerman telah berhenti beroperasi dalam arti sebagai demokrasi parlementer. Keadaan negara darurat dalam terminologi lain disebut sebagai state of emergency merupakan kondisi di mana pemerintah dalam suatu negara melakukan sebuah respons luar biasa (extraordinary response) dalam menyikapi ancaman yang dihadapi negara.
Negara dapat dikatakan dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya lazim dikenal dalam kondisi-kondisi seperti perang, krisis ekonomi, mogok massal, epidemi penyakit dan juga bencana alam. Menghadapi ancaman darurat seperti itu konstitusi memberikan kewenangan kepada eksekutif (dalam hal ini presiden) menggunakan ketentuan Konstitusi.
Dalam UUD NRI 1945, Pasal 12 menyebutkan bahwa, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”
Keadaan bahaya yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 dapat berbentuk produk hukum seperti peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) sebagai kewenangan subjektif dan prerogatif presiden. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Kewenangan tersebut memberikan kekuasaan lebih kepada eksekutif untuk mengatur negara dengan cara-cara, bahkan melampaui konstitusi. Namun harus dilihat bahwa tidak semua persoalan bisa dikeluarkan Perppu sebagai jawaban. Sebuah Perppu dikeluarkan untuk menjawab tiga hal menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Tiga syarat tersebut, yaitu: Adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Tiga syarat itu adalah syarat objektif keluarnya Perppu. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka Perppu dianggap sah dan konstitusional. Namun kalau syarat- syarat tidak terpenuhi, maka Perppu itu dapat dianggap sebagai tindakan otoriter.
Namun posisi sebuah Perppu baru dinyatakan sah dan dapat diundangkan apabila mendapatkan persetujuan dari DPR. Pasal 22 ayat (2) mengatur bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan.”
Sementara ayat (3) menyebut “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”. Di sini peran lembaga legislatif begitu penting untuk menilai objektif atau tidaknya keluarnya sebuah Perppu.
DPR tidak membahas Perppu, tetapi menolak atau menyetujui Perppu itu. Maka dengan posisi itu DPR dapat menilai apakah Perppu keluar berdasarkan kondisi darurat atau tidak. Untuk menilai keluarnya Perppu itu objektif atau tidak dilihat dari tiga syarat yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Yaitu adanya kebutuhan mendesak; terjadi kekosongan hukum dan tidak dapat membuat undang-undang dengan cara normal. Kalau tidak memenuhi syarat, DPR wajib menolak Perppu itu. Kalau memaksakan Perppu itu berlaku, potensial akan lahir pemerintahan yang dijalankan dengan Perppu,
Yaitu dengan tindakan mengesampingkan konstitusi dengan memaksakan kegentingan untuk memperluas kekuasaan. Keluarnya Perppu itu adalah bagian dari penggunaan kekuasaan eksekutif yang besar atau penggunaan kekuasaan secara maksimal untuk mengatur negara dengan alasan darurat.
Kalau syarat-syarat objektif itu dikesampingkan, kemudian DPR tidak melakukan kontrol terhadap keluarnya Perppu dan menyetujui keluarnya Perppu, bukan tidak mungkin pemerintahan otoriter akan memerintah.
Bernegara dengan Perppu Periode kedua Pemerintahan Jokowi telah menghasilkan beberapa Perppu. Pertama Perppu 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penanganan Pandemi Covid-19.
Perppu itu bukan hanya menyatakan kondisi darurat, namun juga memberikan kekebalan hukum bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan, serta mengesampingkan banyak peraturan perundang-undangan lain.
Perppu kedua yang dikeluarkan oleh Jokowi adalah perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilihan Umum. Perppu itu memang untuk menghadapi keadaan yang mendesak dan kekosongan hukum mengenai daerah-daerah pemilihan baru setelah terjadinya pemekaran di Papua.
Perppu ketiga adalah Perppu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menyelamatkan Undang-undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Perppu ini menjadi kontroversi, karena melawan putusan MK Putusan No 91/PUU-XVIII Tahun 2020 yang menyatakan bahwa pembuatan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang.
Artinya keluarnya Perppu 2 tahun 2022 merupakan bagian dari upaya untuk menyangkal keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk memperbaikinya. Dalam waktu dua tahun apabila tidak dapat diperbaiki, maka akan dinyatakan inkonstitusional permanen.
Putusan MK itu bagi saya adalah jalan tengah antara kepentingan politik dengan kepentingan konstitusi. Meskipun putusan itu kelihatan seperti hasil kompromi, ternyata Presiden tidak sabar untuk menggunakan kekuasaan absolut untuk mengembalikan UU Cipta Kerja itu dengan Perppu.
Padahal Pemerintah dan DPR dapat membahas bersama dalam waktu dua tahun. Masa sidang DPR masih terbuka dan DPR selama dua tahun masih dapat bersidang. Namun jalan yang diinginkan oleh konstitusi dan putusan MK tidak diindahkan.
Presiden Jokowi terkesan menggunakan kewenangan otoritatif untuk memaksakan kegentingan, atau memaksakan keadaan darurat. Inilah letak bahayanya bagi negara demokrasi konstitusional.
Mengutip Dr. Ahmad Yani, M.H, Perppu itu adalah penggunaan kekuasaan yang absolut dan mengancam demokrasi dan konstitusi. Menurut Ahmad Yani, Perppu itu keluar karena tidak berlandaskan kondisi sosiologis, filosofis dan yuridis sebagai alasan konstitusional keluarnya Perppu. Lebih keras lagi Jimly Asshidiqie.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut menyebut bahwa Perppu 2 Tahun 2022 adalah penggunaan rule by law yang kasar dan sombong. Menurut Jimly, Perppu a quo mengabaikan peran DPR sebagai lembaga legislasi dan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
Maka secara politik hukum, mengabaikan prinsip-prinsip konstitusi dan legislasi adalah tindakan melampaui hukum. Kalau sudah melampaui hukum, maka presiden sebagaimana ketentuan pasal 7A UUD NRI dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan melakukan perbuatan tercela.
Kalau itu terjadi, menurut Jimly, presiden dapat di-impeach Dengan ketentuan pasal 7B UUD 1945. Persoalan dapat di-impeach atau tidak, tergantung kemauan politik DPR. Namun secara konstitusional, Perppu tidak boleh dikeluarkan hanya untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan, sebab Perppu adalah untuk menyelamatkan negara dari bahaya.
Memaksakan kegentingan Kekuasaan yang menggunakan kegentingan untuk memaksakan diri menggunakan kekuasaan yang besar akan melahirkan pemerintahan otoriter. Kegentingan itu harus nyata dan objektif, bukan subjektif. Mengeluarkan Perppu memang kewenangan subjektif, tetapi keluarnya perppu harus objektif.
Sebagaimana saya singgung di atas, membiasakan keadaan darurat dengan menggunakan kekuasaan maksimal berbahaya bagi negara hukum. Sebab dalam keadaan pengecualian atau keadaan darurat presiden dapat menangguhkan hukum dan konstitusi dengan menggunakan kekuasaan yang besar menyatakan kehendaknya.
Kalau ini terjadi, maka kita akan bertemu dengan sejarah, di mana kondisi darurat akan melahirkan kekuasaan otoriter dan diktator. Soekarno pernah menggunakan keadaan bahaya dengan mengeluarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya (selanjutnya disebut Perppu Keadaan Bahaya).
Perppu itu digunakan Soekarno untuk mengendalikan negara dengan cara-cara otoriter. Pada akhirnya Soekarno menjadi penguasa tunggal dari tahun 1959 sampai tahun 1965. Soekarno juga diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Tapi tidak ada yang membayangkan, Perppu Keadaan Bahaya itu digunakan oleh Soeharto untuk menangkap dan mengadili orang-orang Soekarno dan digunakan orde baru selama 32 tahun berkuasa. Sejarah yang sama terjadi di Republik Weimar (Reich Kedua/Jerman).
Paul Von Hindenburg menggunakan keadaan pengecualian sebagaimana diatur dalam Konstitusi Weimar, dan membuat keadaan darurat secara terus menerus. Tapi tidak ada yang menyangka bahwa kebiasaan Hindenburg digunakan Hitler untuk menyatakan keadaan bahaya dan keadaan pengecualian selama 12 tahun berkuasa.
Karena itu kita waspada dan khawatir, kalau keadaan darurat terus menerus menjadi alasan untuk menyangkal konstitusi dan membuat kekuasaan eksekutif menggunakan kekuasaan maksimal, bukan tidak mungkin akan keluar keadaan-keadaan bahaya selanjutnya.
Kalau itu terjadi, maka ada dua bahaya, bahaya otoritarianisme dan bahaya runtuhnya republik. Keduanya harus kita hindari, karena itu kesadaran bernegara menjadi penting dan kearifan bernegara menjadi syarat untuk memperkuat negara hukum dan negara republik. Keduanya harus dijaga dan dirawat dengan kearifan, bukan kekuasaan.
*) Praktisi Hukum dan Penulis Aktivis Muda Muhammadiyah
sumber: kompas.com – 13/01/2023, 06:00 WIB di akun media sosial Twitter