Ady Amar dan Isa Ansori *
semarak.co-Pemimpin yang diendorsenya berambut putih, itu pastilah menunjuk pada Ganjar Pranowo. Sedang yang berwajah cling bersih, itu pastilah menunjuk pada calon presiden (capres) Anies Baswedan. Inilah politik pembelahan khas Jokowi dan ia seperti orang yang bicara demikian tanpa beban.
Tanpa memikirkan dampak polarisasi yang muncul lebih keras lagi dalam masyarakat, utamanya masyarakat lapis bawah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang penebar janji yang jitu. Terkadang menebar janji terang-terangan, tapi terkadang perlu dengan samar-samar, meski yang dimaksudkan itu semua orang mampu menangkap siapa yang disasarnya.
Terkadang sambil perlu juga ia menyentil dengan mengecilkan pihak lain dengan istilah yang dibuatnya. Sentilannya pun semua orang bisa menerka diarahkan ke mana, dan atau ditujukan pada siapa. Tebar janji bagi seorang Jokowi, itu seperti sudah jadi kebiasaan yang sulit bisa dihindari, sudah jadi kebiasaan.
Tebar janji bahkan pada hal yang tidak etis, perihal kepemimpinan nasional sekalipun, Jokowi seolah penentu siapa yang nantinya jadi penggantinya. Soal yang semestinya bukan ranah untuk diungkap, berkenaan dengan suksesi kepemimpinan nasional, dikomentari Jokowi dengan begitu nafsunya.
Sesuatu yang tidak pernah dilakukan presiden sebelumnya, tapi jadi kebiasaan Jokowi memunculkan. Dalam berkomunikasi pun Jokowi memilih gaya tidak biasa. Gaya komunikasi aneh buat manusia sewajarnya, di mana antara yang ada dipikiran dengan apa yang dimunculkan dari mulutnya tidak sama.
Tidak sinkron. Sehingga sulit bisa menebak apakah yang diomongkan itu hal sebenarnya, atau hanya sekadar gimmick, karena bisa berubah secepat membalik telapak tangan. Ada kebiasaan Jokowi, mungkin dimaksudkan agar bisa menyenangkan seseorang yang ditemuinya sesaat dan lalu yang muncul dari mulutnya semacam janji-janji yang diberikan.
Orang biasa menyebut itu dengan angin surga. Adalah Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI, yang juga Ketua Umum Gerindra belum lama yang lalu juga merasakan angin surga Jokowi itu. Jokowi saat menghadiri undangan ultah Partai Perindo, yang juga dihadiri Prabowo Subianto–kandidat Capres Partai Gerindra–Jokowi mengatakan secara eksplisit bahwa penggantinya yang akan datang adalah Prabowo Subianto.
Mendengar itu Prabowo dengan sikap sigap memberi hormat pada Jokowi. Angin surga itu perlu diulang Jokowi hingga dua kali, dan dua kali pula Prabowo berdiri sigap memberi hormat. Jauh sebelum itu, dalam acara Pro Jokowi (Projo), jelas-jelas Jokowi menyebut penggantinya selanjutnya, tidak perlu kesusu disebut namanya.
Tapi kode keras dimunculkan, meski yang bersangkutan mungkin hadir di sini. Saat itu, yang hadir dalam acara Projo, di antaranya Ganjar Pranowo, yang memang digadang-gadang sebagai capres. Meski namanya tidak disebut, pastilah Ganjar Pronowo yang dituju Jokowi. Kedekatan Jokowi dengan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, itu bukan rahasia umum.
Sepertinya Jokowi amat berharap benar agar penggantinya itu Ganjar. Sehingga segala cara tak wajar dilakukan. Konon, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)–terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP–itu tiket yang disediakan Jokowi sebagai persiapan jika saja Ganjar tak dapat tiket dari PDI-P.
Memangnya Jokowi punya kekuatan sampai bisa “mengondisikan” 3 partai yang berkoalisi untuk memilih Ganjar. Kita lihat saja nanti. Semua sepertinya bisa dilakukan Jokowi, power full. Bahkan akhir-akhir ini, Jokowi pede bicara tidak saja ngelantur seperti khasnya, tapi menyentil seseorang yang tidak disukainya.
Pastilah itu hal yang tidak selayaknya dilakukan, keluar dari kepatutan (etika). Tapi itulah Jokowi, dan semua seolah dibuat jadi memakluminya. Pagi kemarin, Sabtu, (26 November 2022), pada gelaran Nusantara Bersatu di GBK, Jokowi terang-terangan meng-endorse agar memilih si rambut putih, dan wanti-wanti pada relawan yang hadir di sana agar tidak memilih yang wajahnya cling, bersih tidak ada kerutan dalam Pilpres 2024 nanti.
“Perlu saya sampaikan, perlu saya sampaikan pemimpin, pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya itu keliatan. Banyak kerutan di wajahnya karena mikirin rakyat. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua, ada. Ada.” Tidak cukup sekali, tapi perlu sampai dua kali Jokowi mengulang, mungkin biar para relawan yang hadir di situ hafal betul kata per kata arahannya.
“Saya ulang. Jadi pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan dari penampilannya dari kerutan di wajahnya. Kalau wajahnya cling bersih tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati. Lihat juga, lihat rambutnya putih semuanya, ini mikir rakyat ini,” ucap Jokowi sambil sumringah wajahnya tanda bahagia.
Pemimpin yang di-endorse-nya berambut putih, itu pastilah menunjuk pada Ganjar Pranowo. Sedang yang berwajah cling bersih, itu pastilah menunjuk pada Anies Baswedan. Inilah politik pembelahan khas Jokowi, dan ia seperti orang yang bicara demikian tanpa beban. Tanpa memikirkan dampak polarisasi yang muncul lebih keras lagi dalam masyarakat, utamanya masyarakat lapis bawah.
Mengumpulkan relawan di GBK, itu banyak yang menyebut kekhawatiran Jokowi akan elektabilitas Anies yang makin tak terkejar. Maka, perlu digeber pertemuan relawan nasional, ingin menunjukkan kekuatan yang masih dipunya Jokowi.
Tentu tidak sedikit uang dihamburkan untuk menghelat acara itu, entah berapa ratus bus dikerahkan dari berbagai daerah. Rasanya acara itu lebih penting sehingga mampu mengubur rasa empati pada bencana gempa Cianjur.
Kehadiran Anies Baswedan, calon presiden dari Partai NasDem di beberapa daerah memang mendapat sambutan luar biasa. Sambutan yang tanpa perlu dimobilisasi. Relawan Anies itu real, datang dengan kesadaran yang terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu gula-gula manis meski selembar rupiah.
Endorse Jokowi pada si rambut putih, atau siapa pun yang di-endorse nya, menurut lembaga survei Kompas, jika didapatkan cuma akan menolong 15% saja suara. Sedang Anies si wajah cling bersih–ganteng, dong–elektabilitasnya makin naik dan rasanya sulit dibendung. Bisa jadi itu sebab yang sampai Jokowi perlu endorse si rambut putih, meski menubruk etika kepatutan. (*)
Indonesia ini negara besar, hati-hati memilih pemimpin, pilihlah pemimpin yang mengerti denyut nadi rakyat. Itulah pesan yang disampaikan oleh Jokowi kepada para pendukungnya, Sabtu, 26 November 2022 di Gelora Bung Karno, Jakarta
Bahkan Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden mengarahkan para relawannya untuk memilih calon presiden dengan ciri ciri rambut putih, muka berkerut, itu sebagai tanda memikirkan rakyat. Sebuah pesan yang sarat makna akan kriteria calon pemimpin Indonesia kedepan.
Nampaknya apa yang disampaikan oleh Jokowi adalah sebuah arah bahwa dirinya sudah berada di jalur yang tepat dalam memimpin bangsa ini selama 10 tahun dan arah itu harus dilanjutkan oleh sosok yang memenuhi kriterianya.
Jokowi adalah sosok yang sulit ditebak, bahkan ada adagium untuk memahami Jokowi yaitu dengan memahami yang sebaliknya. Kalau Jokowi sedang berbicara ekonomi kita meroket, maka sejatinya ekonomi kita sedang nyungsep.
Suatu saat Jokowi pernah berpidato bahwa untuk bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini, baginya sangat mudah, kalau dia dipilih sebagai presiden, nyatanya setelah beliau hampir 10 tahun memimpin negeri ini, data mengatakan bahwa utang Luar Negeri kita meningkat.
Kemiskinan kita menurun, menurun kepada anak cucu kita. Juga ketika Jokowi mengatakan bahwa disakunya ada uang Rp11.000 triliun untuk membangun bangsa ini, kita tak perlu utang. Nyatanya utang kita juga meningkat bahkan kita berpotensi memasuki jebakan China dalam berutang.
Ada lagi ketika Jokowi mengatakan produksi mobil nasional Esemka, yang menurutnya saat itu sudah ada yang indent sebanyak 6.000 unit, namun nyatanya sampai periode kepemimpinannya 10 tahun kita tak melihat lalu lalang mobil Esemka.
Jokowi berupaya mendominasi makna, seolah dialah yang benar dan yang lain salah, Jokowi mengatakan dirinya adalah presiden yang merakyat dan dipilih secara demokratis, itulah yang oleh Gramscy disebut hegemoni.
Jokowi berupaya menghegemoni rakyat melalui makna yang disebar ke para relawannya. Mengapa itu dilakukan? Karena Jokowi sudah kehilangan trust bagi kebanyakan rakyat Indonesia kecuali kepada para pendukungnya yang membabi buta.
Melalui pendukung dan relawannya itulah Jokowi ingin membenturkan rakyat dengan rakyat, antara pendukungnya dan oposisi. Begitulah gaya Jokowi menjalankan kepemimpinannya. Berusaha membelah, mendukung yang sepaham dan menghantam yang dianggap berseberangan.
Kalau toh harus merangkul, maka Jokowi akan membuat kuncian agar yang dirangkul tak berkutik. Pidato Jokowi dihadapan para relawan dan pendukungnya menegaskan karakter asli Jokowi bila dipahami apa yang sebaliknya. Memilih pemimpin yang merakyat, adalah memilih pemimpin yang menjadikan rakyat sebagai obyek ditangan para subyek oligarki yang mengambil untung banyak dari kekuasaan ini.
Hal lain yang bisa dimaknai dari pidato Jokowi dihadapan para relawannya dengan memberikan isyarat-isyarat tertentu bisa dimaknai sebagai kegalauan Jokowi terhadap sosok lain yang tidak sesuai dengan kriteria yang dia sebutkan, kegalauan Jokowi semakin menunjukkan kelas Jokowi bukanlah kelas negarawan apalagi mentor dan orang tua yang bijak dalam suksesi kepemimpinan dan demokrasi.
Harapan untuk menjadikan Jokowi sebagai negarawan hanyalah isapan jempol, karena Jokowi sejatinya masih belum mampu menempatkan dirinya sebagai negarawan. Jokowi dalam perilakunya masih belum mampu konsisten, Jokowi ibarat pepatah Jawa “isuk dele, sore tempe”, sesuatu yang sulit dipegang, baik janji maupun perilakunya.
Sebagai presiden dan kepala negara, sikap Jokowi yang sulit ditebak dan berubah-ubah, tentu membuat rakyat akan kehilangan kepercayaan, apapun yang dikatakan tentu akan membuat rakyat abaikan dan tidak percaya. Hal seperti ini tentu akan menyulitkan dirinya membangun persatuan dan perdamaian.
Harapan tentu tetap akan kita semaikan kepada Jokowi, agar sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang bisa mengembalikan kepercayaan rakyat.
Kita berharap Jokowi menjadi semakin sadar dan bijak bahwa perilaku kepemimpinan yang dia semai selama ini adalah perilaku yang jauh dari nilai-nilai etik kepemimpinan. Semoga saja semakin mendekati kontestasi pilpres, Jokowi mampu menjadi negarawan yang husnul khotimah.
*) kedua penulis adalah Kolumnis
sumber: kbanews.com,27 November 2022 7:00 PM di WAGroup 12.Jarnas Mileanies Sumut (postMinggu27/11/2022/opuuaci)/kbanews.com,Surabaya 27 November 2022 6:41 PM