Mengukir dan “Meluruskan Sejarah” Mumpung Masih Berkuasa

Desmond J Mahesa/ foto: law-justice.co

Oleh Desmond J Mahesa *

semarak.co-Memegang tampuk kekuasaan itu bisa digunakan sebagai sarana untuk menjalankan agenda-agenda yang dimiliki oleh pemegang kuasa. Karena kekuasaan tidak semata-mata menjalankan amanah rakyat yang dibebankan kepadanya, tetapi juga bermakna menjalankan misi pribadi atau kelompok yang diwakilinya.

Bacaan Lainnya

Oleh karena itu mumpung masih berkuasa, kesempatan untuk menjalankan agenda agenda “terselubung” tersebut perlu dioptimalkan sedemikian rupa supaya tidak menyesal nantinya ketika kekuasaan itu sudah sirna.

Salah satu agenda yang biasa dijalankan oleh seorang penguasa adalah bagaimana meninggalkan jejak baik yang bisa dikenang oleh generasi berikutnya atau sekurang kurangnya oleh anak cucunya. Jejak jejak ini dinarasikan dalam bentuk tulisan yang bisa saja dilakukan dengan mengoreksi sejarah yang sudah ada atau mengusulkan hal baru yang menguntungkannya.

Karena pada prinsipnya sebagai pemegang kuasa akan relatif lebih bebas untuk menentukan segalanya. Sejalan dengan adanya adagium yang mengatakan bahwa Sejarah itu ditulis oleh Pemenang, yang mengandung makna bahwa pemenang (penguasa) bisa menentukan arah sejarah yang ingin ditulisnya.

Apakah memang benar bahwa sang pemenang bisa menentukan arah sejarah yang ingin ditulisnya? Seperti apa kira kira gambaran upaya yang pernah dilakukan oleh rejim yang sekarang berkuasa memanfaatkan peluang kuasa yang ada untuk menulis ulang sejarah sesuai keinginannya?

Sejarah Ditulis Pemenang

Adagium “Sejarah ditulis oleh pemenang”, pernah di ungkapkan oleh Winston Churchill mantan perdana menteri Inggeris paling terkenal di dunia. Ungkapan itu mengandung makna bahwa orang yang menang akan menulis semua yang baik-baik, yang hebat-hebat mengenai dirinya.

Segala kelemahan dan kepincangan akan ditutup rapat rapat sehingga terlihat indah sempurna karena penampakannya terlihat tanpa cacat dan cela. Tidak terlihat adanya penyimpangan selama berkuasa meskipun selama bertahun tahun menduduki kursi kekuasaannya sebenarnya banyak borok boroknya juga.

Tetapi dalam sejarah diupayakan agar yang nampak adalah sisi sisi baiknya saja berupa kejayaan, prestasi, kehebatan, kemuliaan dan segala yang menunjukkan kesempurnaannya selama menjadi penguasa.

Pada hal kalau dipikirkan secara nalar saja, tidalah mungkin seorang manusia itu ketika menjadi pemimpin bisa lengkap sempurna tanpa cacat dan cela. Bahkan di zaman para khalifah sahabat Nabi pun mereka memimpun bukan tanpa  cacat dan cela.

Itu semua terjadi karena manusia memang tempatnya lupa, cacat dan cela sehingga diperlukan koreksi,kritik atau pengawasan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari rel kebenaran yang seharusnya dipegangnya.

Tetapi memang tidak semua orang khususnya para pemegang kuasa dan kaki tangannya sadar akan posisi dirinya sehingga sering mengupayakan untuk menihilkan kesalahan, cacat dan cela itu berbekal kekuasaan yang ada ditangannya.

Ia akan dengan keras menutupi segala aib, cacat dan cela melalui catatan catatan sejarah yang ditulisnya ketika sedang berkuasa. Pada giliranya nanti, ketika sedang tidak berkuasa, catatan sejarah itu akan dikoreki lagi oleh rejim yang berkuasa setelahnya, apakah memang harus begini yang bakalan tersaji di hadapan anak cucu kita?

Mengapa tidak legowo untuk menuliskan sejarah apa adanya dengan menampilkan sisi baik dan sisi buruk kalau memang memang begitu kenyataannya? Sejarah tidak seyogyanya hanya mencatatkan kejayaan, kehebatan, kegemilangan dan yang baik-baik tetapi juga meriwayatkan kejahatan, kezaliman, keangkuhan pemimpin kalau memang begitu faktanya.

Jika tidak, sudah pasti kita tidak akan dapat membaca dan mendengar kisah-kisah kekejaman Firaun, Qarun, Hitler, Polpot, Soeharto, Marcos, Mugabe dan lain-lainnya. Bagaimana kisah-kisah kezaliman dan kekejaman kerajaan dan pemimpin ini terbongkar? Semuanya terjadi setelah mereka diadili, diajalkan dan digulingkan kekuasaannya.

Ketika sejarah ditulis oleh pemenang dan mereka hanya menuliskan yang baik baiknya saja, justru pada akhirnya akan menanggung malu manakala kesalahan penulisan sejarah itu kemudian di koreksi oleh rejim atau penguasa setelahnya karena faktanya memang tidak demikian adanya.

Oleh karena itu mereka yang terlalu bernafsu mengorek ngorek sejarah untuk menyuguhkan sisi yang baik baiknya saja kiranya bisa berpikir untuk tidak lagi melakukannya. Karena akan menunjukkan sifat benci kebenaran serta takut kalau sisi buruknya diketahui publik pada hal memang itulah fakta yang sebenarnya.

Menulis Ulang?

Kalau dicermati perjalanan selama dua kali pemerintahan Jokowi berkuasa, ada anasir anasir dalam pemerintahan atau kelompok tertentu yang begitu getol memperjuangkan kehendaknya untuk mengotak atik sejarah agar sesuai dengan keinginannya.

Sementara itu presiden Jokowi yang sering disebut sebagai petugas partai terkesan mengamini saja apa apa yang menjadi agenda kelompok tertentu itu untuk menuliskan sejarah sesuai kemauannya. Beberapa peristiwa sejarah yang mencoba untuk diluruskan keberadaannya oleh kelompok-kelompok tertentu itu boleh disebut diantaranya:

Menginisiasi Lahirnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila)

Beberapa waktu yang lalu kita di ributkan oleh munculnya RUU HIP sehingga memunculkan pertanyaan siapa sebenarnya inisiatornya? Menurut keterangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Assidiqie mengungkapkan PDI Perjuangan berada di balik munculnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara.

Partai berlambang moncong banteng ini pencetus RUU yang kemudian mengudang polemik dimedia.  “Kalau saya dengar ini inisiatif dari DPR, dalam hal ini PDI Perjuangan,” kata Jimly Assidiqie sebagaimana dikutip pers, Jakarta, Sabtu, 13 Juni 2020.

Tetapi untungnya usulan RUU tersebut mendapatkan tantangan keras dari masyarakat sehingga DPR menunda pembahasannya. Karena RUU itu dinilai kontroversial isinya dimana ia akan memeras Pancasila menjadi tri sila dan ekasila.

Menurut Jimly, salah satu pemicu banyaknya penentang RUU karena semangatnya ingin kembali kepada Orde Lama. Itu ditunjukkan pada materi RUU tentang Pancasila yang merujuk pada pidato Soekarno 1 Juni 1945.

Sinyalemen mantan Ketua MK yang menyatakan bahwa RUU HIP ditentang karena semangatnya untuk kembali kepada Orde Lama dengan merujuk pada ajaran Bung Karno tidak salah tentunya. Karena kalau kita lihat substansi Pancasila di RUU HIP memang kental bernuansa pemikiran Soekarno yang coba di daur ulang oleh “jamaahnya” untuk di masukkan ke RUU Haluan Idiologi Pancasila.

Sebagai seorang proklamator dan bapak bangsa, kita tentu wajib menghormati Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk dalam melahirkan dasar dan ideologi Pancasila.  Tetapi wujud penghormatan itu tidak harus dengan mengkultuskan ajaran dan pemikiran pemikirannya khususnya tentang Pancasila.

Karena sekarang ini para “jamaah” Soekarno terkesan mendewa dewakan pemikiran tokoh yang dikaguminya dan memasukkannya kedalam RUU Haluan Idiologi Pancasila. Pada hal pemikiran pemikiran Bung Karno tentang Pancasila itu sendiri sebenarnya hanya salah satu usulan sama posisinya dengan usulan tengan Pancasila dari banyak tokoh bangsa lain yang memiliki pemikiran terkait dengan Pancasila.

Namun para “jamaah” Soekarno yang sekarang berkuasa terkesan mengkultuskan pemikiran Soekarno tentang Pancasila yang sebenarnya saat itu masih berupa draft usulan belum disetujui sebagai konsep Pancasila final seperti yang tertuang di pembukaan UUD 1945.

Sebagai wujud fanatisme para “jamaah” Soekarno ini sering mengutip ajaran Soekarno tentang Pancasila seperti acap kali terdengar melalui pidato Ketua Umum partai yang sekarang berkuasa. Mereka selalu membawa bawa nama Soekarno ketika berbicara mengenai Pancasila. Seolah olah mereka tidak rela dengan rumusan Pancasila yang disepakati bersama sebagaimana yang tertuang di pembukaan UUD 1945.

Menjadikan 1 Juni Sebagai Hari Lahir Pancasila

Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, 1 Juni tak selalu dirayakan sebagai Hari Lahir Pancasila. Ketika itu isu yang berkembang adalah bahwa 1 Juni 1945 tak dianggap sebagai hari lahirnya Pancasila, melainkan hari lahirnya “istilah Pancasila”. Ini merujuk pada momen Soekarno yang menyampaikan gagasan soal lima prinsip dasar negara dalam rapat BPUPKI, 1 Juni 1945.

Sementara, menurut pemerintahan Orde Baru saat itu, lima sila yang terkandung dalam Pancasila sebetulnya sudah dengan sendirinya ada pada diri bangsa Indonesia. Rezim Soeharto menganggap bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945. Sebab, saat itu UUD 1945 diresmikan menjadi kosntitusi yang mana memuat 5 dasar negara dalam Pancasila.

Soeharto sendiri lebih sering memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober setiap tahunnya. Momen tersebut merupakan tanda gagalnya Gerakan 30 September 1965 yang membuat Pancasila dianggap sakti sehingga identik dengan saat kelahirannya.

Sepertinya lahir Pancasila yang menurut pemerintah Orba jatuh pada 18 Agustus 1945 itu kurang bisa diterima oleh kelompok tertentu di lingkungan rejim yang sekarang berkuasa sehingga mereka mengupayakan supaya 1 Juni ditetapkan sebagi Hari Lahir Pancasila.

Pada akhirnya setelah 70 tahun Indonesia merdeka, pemerintahan Jokowi mengukuhkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Penegasan itu diputuskan Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 yang terbit pada 1 Juni 2016.

Meski keputusan presiden diteken Jokowi pada 2016, peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan Hari Libur Nasional baru berlaku mulai tahun 2017. Meskipun 1 Juni sudah secara resmi di kukuhkan sebagai hari lahir Pancasila namun hingga saat ini masih ada saja pihak pihak tertentu yang mempertanyakan validitasnya.

Mana yang lebih tepat, Pancasila lahir tanggal 18 Agustus 1945 ketika UUD 1945 diresmikan dimana disitu memuat 5 dasar negara Pancasila atau tanggal 1 juni 1945 saat Presiden pertama Indonesia melahirkan “istilah Pancasila”?

Menetapkan Hari Kedaulatan Indonesia

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Adapun penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara dilakukan dengan sejumlah pertimbangan antara lain dalam rangka menanamkan kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa guna memperkuat kepribadian dan harga diri bangsa yang pantang menyerah, patriotik, rela berkorban, berjiwa nasional, dan berwawasan kebangsaan, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, perlu menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini sempat menuai kontroversi karena tidak mencatumkan sosok yang dianggap tokoh utama dalam Serangan 1 Maret 1949 di Yogyakarta yaitu Soeharto Presiden Kedua Indonesia.

Dalam kaitan ini Ketua Umum Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho menilai sosok Soeharto merupakan salah satu tokoh yang berperan besar dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.”Saya kira, ini sebuah keputusan politik yang sulit diterima akal sehat. Agak aneh saja bagi saya,” kata Hardjuno, Minggu (6/3/2022).

Menurutnya, peranan Soeharto dalam peristiwa tersebut sangat besar, menghilangkan peran Soeharto sama dengan bagian memanipulasi sejarah bangsa Indonesia.”Menghilangkan peran pak Harto dalam peristiwa 1 Maret 1949 sangat tendensius. Ini keputusan politik yang dilandasi kebencian dari rezim yang berkuasa saat ini,” ucapnya.

Sementara itu, Politikus Partai Gerindra Fadli Zon mendesak pemerintah segera merevisi Keppres No.2/2022 tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara. Pernyataan itu disampaikan Fadli Zon untuk menanggapi polemik mengenai tidak dicantumkannya peran Letkol Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dia mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera merevisi Keppres tersebut karena dinilai banyak data sejarah yang salah. Hal itu dia anggap sebagai kesalahan yang fatal, begitu katanya.

Menanggapi hal tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan penjelasan terkait tidak adanya nama Soeharto dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Mahfud menjelaskan bahwa Keppres yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu bukan memang buku sejarah yang harus mencantumkan nama-nama pihak yang terlibat dalam peristiwanya.

Berjuang Mencabut TAP MPRS 25/1966

Saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI, partainya PDI Perjuangan juga berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Dalam RUU HIP  yang di inisiasi PDIP diketahui juga tidak memasukkan TAP MPRS tentang Pembubaran PKI di Indonesia.

Selain itu, harian RAKYAT MERDEKA, pada Selasa 29 Juli 2003/29 Jumadil Awal 1424 H menurunkan sebuah laporan berjudul “PDIP Siap Berjuang Habis-habisan: Tarik-Menarik Soal Tap Komunisme” dan sebuah transkrip wawancara dengan mantan Mendagri Tjahjo Kumolo yang sudah meninggal dunia.

Dalam berita yang dimuat di harian Rakyat Merdeka tersebut dinyatakan bahwa  PDIP bakal berjuang keras agar Tap soal komunisme agar dicabut di Sidang Tahunan (ST) Agustus 2003.  Mereka juga berjuang soal rehabilitasi nama Soekarno hingga pencabutan larangan ajaran komunis dan Leninisme.

Mengapa PDIP begitu getol memperjuangkan pencabutan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 yang tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia., pada hal PKI sudah jelas jelas memberontak ingin mengganti dasar negara Pancasila?

Negara Harus Minta Maaf Kepada Soekarno dan keluarganya

Peristiwa terakhir yang berupaya mengubah sejarah perjalanan bangsa terjadi belakangan ini ketika kelompok tertentu itu meminta supaya Pemerintah Indoensia meminta maaf kepada Soekarno dan keluarga besarnya.

Sebuah permintaan maaf yang menurut hemat saya mengada ada dan lucu lucuan saja.Yang membuat saya harus di demo dan dituntut meminta maaf karena pernyataan saya itu dinilai melecehkan Presiden Pertama Indonesia.

Mengapa permintaan maaf pemerintah kepada Presiden Soekarno dan keluarganya saya anggap mengada ada karena pada zaman Presiden Soeharto/Mandataris MPR telah memberi gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mempertegas dengan memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 2012.

Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional kepada Bung Karno ini belum cukup untuk memulihkan nama Bung Karno sesuai harapan para pendukung dan keluarga besar Bung Karno, sehingga Pemerintah sekarang tak harus meminta maaf kepada Presiden Soekarno dan keluarganya?

Kalau kita lihat latar belakangnya, Pemerintah saat ini dituntut meminta maaf kepada Soekarno dan keluarganya bermula dari peristiwa tanggal 12 Maret 1967. Saat itu MPRS berpendapat bahwa pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul Nawaksara pada 22 Juni 1966, yang kemudian dilengkapi dengan surat presiden tentang Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967, tidak memenuhi harapan rakyat Indonesia.

Artinya tidak diterima oleh MPRS yang menyidangkannya. Dalam butir a pertimbangan, MPRS berpendapat bahwa Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI.

Dalam kaitan dengan ini yang dipersoalkan oleh kelompok tertentu itu sepertinya bukan masalah pemberhentian Presiden Sukarno oleh MPRS. Tetapi salah satu alasan pemberhentian tersebut yang menurut pihak tertentu sangat mencoreng dan merugikan nama Sukarno, karena dianggap mendukung G-30S-PKI.

Apalagi Pasal 6 TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tersebut berbunyi “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden (dalam hal ini Presiden Soeharto-penguasa Orba).

Masalahnya, penyelesaian persoalan hukum tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga Sukarno (Bung Karno) meninggal dunia sehingga persoalan hukum ini tidak mungkin lagi dapat ditindaklanjuti penyelesaiannya. Lagi pula TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 juga sudah dibatalkan oleh TAP MPR No 1/MPR/2003, dan dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum selanjutnya.

Tetapi, rupanya pemberian gelar Pahlawan kepada Soekarno dan pencabutan TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 saja dianggap belum cukup dan mereka masih meminta pemerintah Indonesia perlu menyampaikan permohonan maaf kepada Sukarno dan keluarga besarnya karena pernah mengeluarkan TAP MPRS tersebut yang mungkin dinilai merugikan nama baik Soekarno dan keluarga besarnya.

Kalau dikaji secara hukum tata negara, akan menjadi tanda tanya, apakah bisa pemerintah yang sekarang berkuasa menyampaikan permohonan maaf kepada Soekarno dan dan keluarganya.

Karena yang mengeluarkan TAP MPRS adalah lembaga MPR(S) yang mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari pemerintah (atau presiden sebagai mandataris MPR(S), maka, logisnya, pemerintah tidak bisa minta maaf atas keputusan MPR(S) tersebut.

Karena, permintaan maaf dari pemerintah bisa mempunyai implikasi, pemerintah (seolah-olah) telah melakukan koreksi terhadap keputusan lembaga MPR yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pemerintah (ketika itu), yang mana berarti pemerintah melanggar hierarki kelembagaan negara?

Kalau ini terjadi, maka bisa menjadi preseden buruk, di mana pemerintah bisa melakukan koreksi terus-menerus terhadap lembaga MPR, yang saat ini mempunyai kedudukan sederajat kelembagaan tinggi negara lainnya, bukahkah ini sangat berbahaya?

Mengutip pendapat Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), yang bisa membatalkan keputusan MPR adalah lembaga MPR itu sendiri. Artinya, TAP MPR harus dibatalkan dengan TAP MPR lagi, tidak bisa oleh undang-undang, apalagi keputusan presiden.

Dan ini sudah dilaksanakan, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 sudah dibatalkan oleh TAP MPR No I/MPR/2003. Kalau pembatalan ini belum cukup dan negara perlu minta maaf, maka yang harus minta maaf seharusnya adalah lembaga MPR yang telah mengeluarkan ketetapannya bukan Presiden atau Pemerintah apalagi pemerintah yang sekarang berkuasa.

Cuma kendalanya akibat amandemen UUD 1945 asli sebanyak empat kali sejak 1999-2002, MPR saat ini sudah tidak bisa mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat kebijakan dan mengikat keluar seperti sebelumnya.

Artinya, MPR tidak bisa minta maaf kepada pihak luar, dalam hal ini kepada Sukarno dan keluarga besarnya? Lagi pula, atas dasar apa MPR saat ini bisa menyatakan bahwa TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tersebut keliru sehingga perlu minta maaf kepada Soekarno dan keluar besarnya?

Jadi kalau kemudian saya berpendapat bahwa adanya dorongan dari pihak pihak tertentu agar Pemerintah Indonesia meminta maaf kepada Soekarno dan keluarga besarnya itu sebagai sesuatu mengada ada, apakah itu suatu hal yang memang pada tempatnya atau bagaimana? Apakah pendapat itu dianggap salah karena tidak sesuai dengan keinginan pihak pihak tertentu yang merasa dirugikan kepentingannya?

*) Penulis adalah Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

sumber: law-justice.co, Minggu, 13/11/2022 17:57 WIB di WAGroup 2# AMPERA~IND.PUSAT (postSenin14/11/2022)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *