Pengangkatan Penjabat dan Tunda Pilkada Serentak Langgar Konstitusi

Picsart grafis ilustrasi Pilkada serentak. Foto: internet

Oleh Anthony Budiawan *

semarak.co-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan serentak, artinya terjadi bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, serentak untuk kepala daerah yang sudah habis masa jabatan 5 tahunnya, agar dilaksanakan serentak di semua daerah.

Bacaan Lainnya

Tetapi, serentak bukan berarti ditunda, seperti yang terjadi sekarang. Yaitu, pilkada yang seharusnya dilaksanakan 2022 baru akan dilaksanakan 2024. Itu namanya ditunda secara serentak. Sementara itu, kepala daerah yang dipilih secara demokratis, yang masa jabatan 5 tahunnya sudah habis, diberhentikan.

Dengan demikian, menurut UUD Pasal 18 ayat (4), telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah tersebut, seperti terjadi di DKI Jakarta. Karena, menurut konstitusi, kepala daerah wajib dipilih secara demokratis.

Artinya dipilih oleh rakyat melalui pilkada, bukan ditunjuk atau diangkat oleh mendagri atau bahkan presiden. Artinya, pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Mendagri tetap menunjuk dan mangangkat Penjabat Kepala Daerah.

Di samping melanggar konstitusi, pilkada serentak 2024 sepertinya juga dipolitisasi. Tahun 2024 juga tahun pemilu dan pilpres. Pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden. Anehnya, jadwal pilpres dilaksanakan lebih dahulu dari jadwal pilkada. Padahal Pilkada sudah tertunda lama sekali.

Pelaksanaan Pilpres dijadwalkan Februari 2024, sedangkan pilkada dijadwalkan November 2024. Pertanyaannya, kenapa bukan pilkada yang dilaksanakan terlebih dahulu, baru kemudian pilpres? Sehingga kepala daerah yang dipilih secara demokratis tersebut bisa bersikap netral ketika pilpres.

Kalau pilpres dilaksanakan terlebih dahulu, apakah Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk pemerintah, sehingga dapat dikatakan “orang pemerintah”, dapat bersikap netral? Hampir dapat dipastikan, tidak.

Sebagai “orang pemerintah”, Para Penjabat Kepala Daerah tersebut diperkirakan akan bertindak untuk kepentingan pemerintah, atau koalisi pemerintah. Politisasi jadwal pilkada seperti ini akan berdampak negatif terhadap demokrasi, menghancurkan demokrasi, menuju jurang kehancuran.

Pelanggaran Konstitusi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

UNDANG-Undang Dasar atau Konstitusi mengatur tentang, antara lain, Pemilihan Umum dan Pemerintah Daerah. Perintah Konstitusi ini tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk Presiden, DPR, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Pasal 22E ayat (1) UUD berbunyi Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Yang dimaksud dengan Pemilihan Umum adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pasal 18 ayat (4) UUD berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis, yang tentu saja bermakna dipilih oleh rakyat. Seperti halnya makna Pemilihan Umum, dipilih oleh rakyat.

Hal ini diperkuat di dalam Undang Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 3 PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) 1/2014 yang disahkan dengan UU 1/2015 menyatakan Pemilihan (Kepala Daerah: ditambahkan) dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yang dimaksud dengan “secara serentak”, tentu saja, pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang jatuh tempo pada tahun yang sama akan dilaksanakan secara bersamaan. Bukan Pilkada yang jatuh tempo dari berbagai macam waktu (tahun) disatukan menjadi serentak.

Karena hal ini pasti bertentangan dengan Pasal 3 tersebut. Yaitu Pilkada harus dilaksanakan setiap lima tahun. Pelaksaaan Pilkada yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut di atas berarti bertentangan dengan Konstitusi, dan karena itu wajib batal.

Seperti halnya rencana penundaan Pilkada tahun 2022 menjadi tahun 2024. Antara lain Pilkada DKI Jakarta yang jatuh tempo 2022, juga rencananya akan ditunda ke tahun 2024. Terkait penundaan ini, pemerintah juga akan memberhentikan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya pada 2022.

Dan mengangkat penggantinya sebagai Penjabat Kepala Daerah sampai dilaksanakan Pilkada berikutnya, yaitu tahun 2024. Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi. Karena menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah harus dipilih secara demokratis, artinya pemilihan secara langsung oleh rakyat.

Selain itu, pencalonan Kepala Daerah harus diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan sesuai Pasal 39 huruf a dan huruf b UU 1/2015. Selain itu, kriteria pengganti Kepala Daerah sudah ditentukan terlebih dahulu.

Yaitu, Jabatan Pimpinan Tinggi Madya untuk Gubernur dan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama untuk Bupati dan Walikota. Yang mana kriteria ini bertentangan dengan kriteria pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang hanya menetapkan jenjang Pendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.

Sehingga, berarti, kriteria Penjabat Kepala Daerah tersebut juga bertentangan dengan prinsip demokratis yang diamanatkan UUD, Pasal 18 ayat (4). Oleh karena itu, pengangkatan Kepala Daerah oleh pihak manapun, dalam kondisi apapun, bertentangan dengan UUD. Karena hal ini tidak demokratis.

Serta menghilangkan hak memilih rakyat daerah dalam pemilihan Kepala Daerah, yang mendasari jiwa dan semangat UU otonomi daerah. Dengan demikian, Pilkada serentak dengan menunda Pilkada dan mengangkat Kepala Daerah tidak melalui proses secara demokratis (dipilih oleh rakyat) akan bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, wajib batal.

Penundaan Pilkada 2022 Melanggar Konstitusi

MASA jabatan beberapa kepala daerah akan segera berakhir pada 2022 ini, setelah menjabat 5 tahun sejak 2017. Kepala daerah yang segera berakhir masa jabatannya antara lain DKI Jakarta.

Sedangkan menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) harus dipilih secara demokratis, artinya tentu saja dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain, kepala daerah tidak boleh ditunjuk atau diangkat oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Karena hal tersebut melanggar UUD Pasal 18 ayat (4) tersebut di atas.

Karena itu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) wajib dilaksanakan ketika masa jabatan kepala daerah bersangkutan berakhir. Hal tersebut sebagai konsekuensi “Kepala Daerah dipilih secara demokratis”. Maka Pilkada tidak bisa ditunda. Karena masa bakti kepala daerah ditetapkan 5 tahun, maka Pilkada juga wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Seperti kemudian ditegaskan pada Pasal 3 Perppu No 1/2014 yang disahkan oleh UU No 1/2015. Perppu No 1/2014 dan Pasal 3 bahwa Pilkada harus dilaksanakan setiap 5 tahun adalah koreksi dan pembatalan atas UU No 22/2014 yang menetapkan Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Artinya, tidak ada ruang lagi Kepala Daerah dipilih DPRD sekaligus menegaskan bahwa Kepala Daerah harus dipilih secara Demokratis oleh rakyat, sesuai perintah UUD 1945. Karena itu, penundaan Pilkada tahun 2022 (dan 2023) serta pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi, dan wajib batal. Sebagai konsekuensi, Pilkada 2022 harus dilaksanakan secepat mungkin.

Kepala Daerah tak Boleh Ditunjuk atau Diangkat

Masa jabatan beberapa Kepala Daerah akan segera berakhir pada 2022 ini, setelah menjabat 5 tahun sejak 2017. Kepala Daerah yang segera berakhir masa jabatannya antara lain DKI Jakarta. Sedangkan menurut Pasal 18 ayat (4) UUD, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) harus dipilih secara demokratis, artinya tentu saja dipilih oleh rakyat.

Pada Kenyataannya Presiden Tidak Bertanggungjawab Kepada Sapa-siapa. Dengan kata lain, Kepala Daerah tidak boleh ditunjuk atau diangkat oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Karena hal tersebut melanggar UUD Pasal 18 ayat (4) tersebut di atas. Karena itu, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) wajib dilaksanakan ketika masa jabatan Kepala Daerah bersangkutan berakhir.

Hal tersebut sebagai konsekuensi “Kepala Daerah dipilih secara demokratis”. Maka Pilkada tidak bisa ditunda. Tragedi Kanjuruhan dan Poster dengan Tulisan ‘Pak Polisi, Rakyat Bukan Musuhmu’. Karena masa bakti Kepala Daerah ditetapkan 5 tahun, maka Pilkada juga wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Seperti kemudian ditegaskan pada Pasal 3 PERPPU No 1/2014 yang disahkan oleh UU No 1/2015. PERPPU No 1/2014 dan Pasal 3 bahwa Pilkada harus dilaksanakan setiap 5 tahun adalah koreksi dan pembatalan atas UU No 22/2014 yang menetapkan Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD. Artinya, tidak ada ruang lagi Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.

Sekaligus menegaskan bahwa Kepala Daerah harus dipilih secara Demokratis oleh rakyat, sesuai perintah UUD. Karena itu, penundaan Pilkada tahun 2022 (dan 2023) serta pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi, dan wajib batal. Sebagai konsekuensi, Pilkada 2022 harus dilaksanakan secepat mungkin. ()

*) Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

 

rmolaceh.id/Selasa, 1 Februari 2022 | 08:02/ rmoldkijakarta.id/Senin, 4 April 2022 | 17:10/ poinnews.com/18 September 2022 | 14:52/semua di WAGroup ANIS BS YA KAMI SEMUANYA (postSabtu22/10/2022)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *