Oleh Anonym *
semarak.co-Demokrasi dibajak oleh kekuatan modal, maka mayoritas yang muncul bukanlah orang-orang yang kompeten pada bidangnya. Orang-orang baik, berkualitas, namun tak punya modal harus tersungkur sebelum elektoral dilakukan.
Terganjal oleh aneka syarat yang berujung pada jumlah uang. Minim oleh syarat nilai-nilai moral, kapasitas dan kapabilitas. Ironis lagi, ada sosok yang dianggap baik namun berkompromi dengan pemodal. Ini artinya Pemilu bisa saja menjadi ajang pengulangan/kontinuitas yang ujungnya kekuatan modal.
Oligarki akan kembali berkuasa. Hal ini terjadi pada Reformasi 1998. Saat itu kita tidak lakukan bersih-bersih sistem dan oknum penghianat bangsa dan negara, dan langsung melakukan Pemilu. Alhasil beberapa tahun Reformasi berjalan oligarki bersama oknum pejabat berkolaborasi, berupaya mengendalikan negara.
Kejadian itu jangan lagi terulang
Akibatnya yang muncul bukan dikawal/dipimpin oleh orang yang ahli di bidangnya serta memiliki sense of moral yang dapat dipertanggung jawabkan, malah sebaliknya. Akibat itu. Jadi salah urus, salah kelola, salah analisa, salah antisipasi, salah pengendalian, dll. Kacau, berantakan, “bubrah” menurut bahasa Jawanya.
Bahaya, jika tidak segera dibenahi. Selama Pemilu, Capres, Partai belum bisa menjamin tidak ada keterlibatan oligarki, dan syarat pengajuan calon presiden (capres) Cawapres masih 20%, maka sulit kita keluar situasi ini. ()
*) penulis anonym maksudnya karena sampai artikel ini ditayangkan semarak.co belum ditemukan nama penulis selama artikel ini menjadi pesan berantai. Tentu otomatis direvisi dengan mencantumkan nama penulisnya jika kelak ditemukan juga.
*) penulis belum ditemukan hingga berita ini tayang, namun jika kelak ditemukan otomatis akan dikoreksi untuk pencantuman nama.
sumber: WAGroup Ngaji Berkah (postKamis6/10/2022/umimarwah)