Konyol dan Inkonstitusional: Presiden 2 Periode Calonkan Diri sebagai Wakil Presiden

Capres 01 Jokowi pamer kartu, salah satunya kartu pra kerja saat kampanye Pilpres 2019. foto: internet

Oleh Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum *

semarak.co-CnnIndonesia.com mewartakan pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK)  bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya.

Bacaan Lainnya

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, tak ada peraturan yang melarang hal tersebut. Namun lebih kepada etika politik jika presiden dua periode ingin menjadi wakil presiden di periode selanjutnya. “Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya,” kata Fajar saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Pertanyaannya adalah motif apa tiba-tiba muncul pernyataan MK tersebut. Saya menilai pernyataan MK melalui jubirnya Fajar Laksono tidak tepat kalau menempatkan moral etika itu di bawah persoalan normatif. Ingat MK itu bukan saja sebagai “the guardian of constitution” melainkan juga sekaligus sebagai “the guardian of moral ideology” bangsa, yakni Pancasila.

Pancasila itu isinya moral dan UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 ttg PPP secara tegas menyatakan bahwa Pancasila itu sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional. Dengan demikian menegakkan hukum di negeri ini tidak bisa hanya berdasarkan ketentuan normatif, melainkan harus didasarkan pada aspek moral.

Yaitu nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sbgman diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Disebutkan bahwa: “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat”.

Sehinga pernyataan jubir MK: “Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya” tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral.

MK sebagai pengadilan di mana bercokol di sana para dewa hukum harus membaca hukum tidak secara normatif legistis saja melainkan harus melampaui yang serba normatif legistis, yaitu membaca hukum konstitusi secara moral seperti yang dinyatakan oleh Ronald Dworkin tentang moral reading on constitution.

MK harus menempatkan moral etika di atas hukum normatif.  Pernyataan MK yang sangat normatif legistis seperti ini patut diduga sudah tercemar arus politik kekinian soal perpanjangan waktu presiden dan masa jabatan 3 kali periode. Keduanya jelas tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan amandemen terhadap konstitusi.

Jalan satu-satunya melestarikan hegemoni kekuasaan sekarang adalah manuver politik yg didukung legalitas yakni presiden yang sudah menjabat 2 kali periode menjadi calon wakil presiden pada pemilu berikutnya. Ini tampaknya ada manuver politik berbaju legalitas hukum.

Seorang netizen bernama Anthony Budiawan mempertanyakan soal pernyataan MK melalui Jubirnya ini. Pertama, apakah ada permohonan resmi pihak tertentu kepada MK terkait uji materi, presiden 2 periode boleh maju sebagai cawapres? Kedua, kalau tidak ada, apakah MK bisa mengeluarkan pendapat tanpa uji materi, dan ketiga, apakah pendapat juru bicara merupakan pendapat resmi MK?

Saya akan menjawab secara singkat 3 pertanyaan tersebut sebagai berikut:

Pertama. Setahu saya, hingga sekarang tidak ada permohonan resmi pihak tertentu kepada MK terkait uji materiil terhadap masa jabatan presiden dan wapres.

Kedua. MK itu bersifat pasif bukan aktif. Mekanisme constitutional control harus digerakkan dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan.

Jadi MK tidak boleh mengeluarkan pendapat, putusan tanpa ada permohonan dari pihak yg memiliki legal standing tertentu. Batas wewenang MK yang telah diberikan secara limitatif UUD 1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Lalu sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang dengan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketiga. Saya berpendapat pernyataan juru bicara MK berarti harus diyakini itu sebagai pendapat MK atau setidaknya mewakili pendapat MK. Namanya saja juru bicara, mestinya sebelum bicara jubir sudah konsultasi lebih dahulu dengan majelis hakim MK. Jadi, pernyataannya mesti dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan, bukan perorangan.

Jika dianalisis secara mendalam, memang betul bahwa kalau Presiden 2 periode menjadi Wakil Presiden, kemudian kembali menjadi Presiden (3 periode) karena Presidennya berhalangan, maka secara SUBSTANSI bertentangan dengan Pasal 7 UUD, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya 2 periode saja: terlepas bagaimana cara menjabatnya.

Larangan seorang mantan Presiden 2 periode itu mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden pada Pilpres berikutnya adalah bukan hanya alasan masalah etika, tetapi juga dilarang secara normative bahkan berpotensi melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan akan menciptakan crisis constitutional.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pencalonan presiden 2 periode menjadi calon presiden pada pemilu berikutnya jelas dilarang secara constitutional. Seorang Presiden 2 periode bila diperbolehkan ikut Pilpres menjadi Cawapres dan akhirnya akan menjabat menjadi seorang Wakil Presiden.

Benar sekali pertanyaan yang diajukan: “Bagaimana bila Presidennya meninggal dunia?” Sesuai ketentuan Konstitusi, maka apabila presiden mangkat atau berhalangan tetap, Wakil Presidenlah yang akan menggantikan kedudukan presiden.

Jadi, wakil presiden yang semula presiden 2 periode itu yang akan menjadi Presiden yang ketiga periode. Bolehkah? Jelas itu melanggar Konstitusi UUD dan tidak mungkin bisa dilakukan karena bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945.

Untuk menghindari “crisis constitutional” seperti itu, maka seorang Presiden 2 kali periode dilarang untuk ikut menjadi Cawapres Itu alasan constitutional-nya. Itulah salah satu alasan normative, mengapa seorang Presiden 2 periode itu tidak boleh mencalonkan diri menjadi wakil presiden.

Apalagi kalau hal ini ditinjau dari sisi etika kehidupan berbangsa sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001. Terkait dengan isu dibolehkannya presiden dua periode mencalonkan diri menjadi Cawapres pada pemilu berikutnya, saya perlu menyampaikan beberapa rekomendasi:

Pertama, saya perlu mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa untuk mendorong agar semua penyelenggara negara memiliki jiwa negarawan untuk patuh pada aspek moral etik konstitusi bukan mengikuti nafsu pribadi dan golongan tertentu.

Di era demokrasi ini, semua orang termasuk presiden 2 periode dan pendukungnya harus sadar bahwa bagi seorang pemimpin bangsa (leaders/presidents), waktu 8 tahun atau 10 tahun sebagai penguasa (pemimpin bangsa) adalah waktu yg sangat lama dan lebih dari cukup untuk membuktikan janji-janji politiknya.

Dan sekaligus membuat perubahan yang significant dalam pemerintahan (regime) kepada rakyat, bangsa dan negara. Bila selama waktu 10 tahun tidak juga mampu mewujudkan janji-janji politik dan membuat perubahan.

Berarti presiden atau pemimpin itu tidak mempunyai kapabilitas dan integritas sbg Presiden. Memberi tambahan waktu 5 tahun, apalagi 10 tahun sebagai wakil presiden 2 term; posisi yg lebih rendah dari presiden dengan alasan politik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Atau ingin membuat perubahan kepada bangsa dan negara, hanyalah alasan absurd, konyol alias tidak masuk akal. Kita pun boleh mengatakan: Lha wong menjadi presiden saja tidak mampu membuat perubahan, apalagi menjadi wakil presiden. Piye nalare?

Kedua, khusus kepada MK, wahai “dewa-dewa hukum” dan juga juru bicaranya, tolong cermati dan dijiwai kembali kedudukan dan fungsi MK untuk tidak secara aktif memberikan pendapat hukum tanpa diminta atau adanya permohonan jika hal itu justru menimbulkan kegaduhan, ketidakpastian bahkan constitutional crisis.

MK harus mau dan mampu mengeja konstitusi secara moral (moral reading on constitution) sehingga pendapat dan putusannya memang sejiwa dengan apa yang dikehendaki oleh ideologi Pancasila dan konstitusi yakni UUD 1945.

Jangan sampai lantaran ada hubungan keluarga antara Ketua MK dengan Presiden, lalu MK melalui Jubir membuat pernyataan yang terkesan mengamini, mengiyakan skenario dan manuver rezim sekarang untuk melanggengkan kekuasaannya dengan membuka wacana absurd.

Yaitu adanya kebolehan normatif bahwa Presiden 2 Periode dapat mencalonkan diri sbg Wapres untuk pemilu berikutnya. Padahal dapat diprediksikan bahwa hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi dan sebenarnya juga inkonstituional jika MK mau membaca konstitusi secara moral. Tabik! []

Semarang, Selasa: 13 September 2022

*) Pakar Hukum dan Masyarakat

 

sumber: tintasiyasi.com/September 13, 2022 di WAGroup Relawan Anies Kalsel (postRabu14/9/2022/bachruddin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *