Jonru,“Engkau boleh memenjarakan ragaku, namun pemikiran dan hati nurani ku adalah suara kebenaran yang tidak akan pernah bisa engkau jebloskan ke penjara manapun”.
Selama mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya (sejak 30 September 2017 lalu) saya tidak bisa pegang handphone, tak ada laptop, tak ada akses Internet. Saya nyaris ketinggalan perkembangan berita terbaru. Biasanya saya mengetahui berita tertentu dari cerita teman teman atau kerabat yang datang menjenguk. Terkadang mereka mencetak berita tertentu dari media online, lalu membawakannya untuk saya baca.
Salah satu berita memprihatinkan yang saya dengar adalah:
Setiap kali ada akun baru di medsos yang pakai nama Jonru, maka akan segera di serang, sehingga akhirnya tumbang. Bahkan sejumlah postingan di akun teman teman yang membahas Jonru pun tiba tiba hilang karena di laporkan sebagai spam.
Sungguh ini merupakan upaya yang sangat sadis dan brutal dari mereka yang ingin membungkam aspirasi masyarakat. Sangat jelas terlihat bahwa mereka sangat takut terhadap pengaruh tulisan tulisan saya yang menyuarakan kebenaran serta membongkar kebobrokan mereka.
Maka merekapun melakukan berbagai macam upaya untuk “membinasakan” segala sesuatu tentang Jonru dari media sosial.
Saya tiba tiba teringat pada sosok ulama besar Turki, Badiuzzaman said Nursi. Hmm.. . saya bukan ingin membandingkan diri yang hina ini dengan sosok ulama ternama. Sungguh , saya sangat tidak ada apa apanya di banding beliau.
Saya hanya hendak berkata bahwa situasi yang saya alami saat ini mirip sekali dengan yang dulu di alami Said Nursi.
Pemerintah Turki yang sekuler, ketika itu sangat tidak menyukai keberadaan said Nursi. Ulama besar ini sangat gencar mendakwahkan Islam kepada masyarakat. Bahkan ketika beliau “di penjara” di sebuah desa terpencil sekalipun. Tetap saja banyak warga yang mendatangi beliau utk belajar.
Karena itu, pemerintah Turki pun akhirnya mengasingkan Said Nursi ke sebuah desa yang sangat terpencil dan sangat sulit di jangkau, bernama Barla. Tujuannya agar tidak ada lagi orang yang bisa mendatangi beliau. Juga agar secara perlahan namun pasti Said Nursi di lupakan oleh masyarakat.
Di desa Barla, said Nursi memang benar benar terasing, hanya bisa bertemu dan berinteraksi dengan penduduk setempat yang jumlahnya sangat sedikit.
Kita mungkin berfikir bahwa itu merupakan akhir dari riwayat hidup said Nursi sebagai seorang ulama. Ia akan menghabiskan hidupnya di sana, kesepian, tak ada yang peduli padanya.
Namun ternyata, situasi tersebut justru menjadi awal dari kebangkitan besar bagi pergerakan umat Islam di Turki.
Saat itu Said Nursi menulis catatan pemikirannya di atas secarik kertas. Lalu kertas itu beliau serahkan kepada orang kepercayaannya di desa Barla. Orang kepercayaannya kemudian membawa kertas tersebut keluar dari desa melalui perjalanan yang sangat jauh dan memakan waktu yang lama dan sungguh perjalanan yg melelahkan. Di desa lain dia menyerahkan kertas itu kepada teman nya, lalu temannya ini membawa lagi kertas tersebut kepada orang lain.
Akhirnya , catatan Said Nursi tiba di tangan para murid beliau. Mereka mencetaknya , lalu menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Seperti itulah proses penyebarluasan kertas demi kertas yg berisikan catatan dari Sa’id Nursi. Tanpa terasa , jumlah tulisan beliau ternyata sudah sangat banyak. Hingga akhirnya di terbitkan menjadi buku berjudul “Risalah Nur”
Buku tersebut sangat luar biasa, mempengaruhi pemikiran banyak orang. Bahkan pemimpin baru di Turki ketika itu mulai bersikap moderat dengan cara memperbolehkan pengajaran agama Islam di sekolah , dan seterusnya.
Dalam bahasa yang sederhana , bisa saya simpulkan bahwa Risalah Nur merupakan salah satu wasilah bagi kebangkitan Islam di Turki saat ini.
Dari novel API TAUHID karya Habiburrahman El shirazy saya mendapat gambaran bahwa proses sekularisasi Turki di era Mustafa Kamal sungguh sangat sadis dan kejam.
Bayangkanlah; ketika itu ibu kota Turki sampai di pindahkan ke Ankara, karena Islamabad adalah simbol Islam di sana pada saat itu. Semua sekolah Islam di bubarkan. Pemakaian bahasa Arab di larang, bahkan lantunan adzan pun harus dalam bahasa Turki.
Pemerintah Turki saat itu berusaha memadamkan api Islam dari negeri mereka, bahkan di musnahkan sampai habis tak bersisa. Bahkan simbol simbol Islam seperti pakaian dan bahasa Arab pun di larang di gunakan.
Dalam situasi yg sangat gelap gulita seperti itu. Justru pemikiran pemikiran Badiuzzaman said Nursi yang terangkum dalam buku Risalah Nur berhasil mempertahankan nilai-nilai Islam yang pada akhirnya mejadi cikal bakal dari kebangkitan Islam di Turki.
Jadi jika hari ini kita melihat Islam bisa bangkit lagi di Turki di bawah kepemimpinan presiden Erdogan, kita tidak boleh lupa bahwa ada peran Risalah Nur di dalamnya.
***
Kebenaran tidak akan pernah bisa di bungkam. Itulah kesimpulan saya setelah membaca kisah Badiuzzaman Said Nursi.
Semakin di bungkam, semakin hendak di matikan, justru api kebenaran akan semakin membara.
Hari ini di Indonesia, kita bisa menyaksikan bahwa pada skala tertentu, situasi yang di hadapi oleh umat Islam punya kemiripan dengan kondisi umat Islam di Turki pada era Mustafa kamal.
Memang situasinya belum seburuk Turki. Kita masih bebas mengumandangkan adzan dalam bahasa aslinya. Pesantren pesantren masih bebas beroperasi dan bahasa Arab pun masih boleh di gunakan.
Ya, nasib kita saat ini masih jauh lebih baik. Namun kita tidak boleh lupa bahwa banyak ulama di Indonesia yang hari ini di kriminalisasi, ormas ormas Islam mulai di bubarkan( bahkan kini ada payung hukumnya berupa perpu), banyak aktivis di media sosial ( termasuk saya ) yang di tangkap.
Sementara para penghina Islam masih bebas berkeliaran di luar sana. Mereka seperti kebal, tidak mempan sama sekali oleh jeratan hukum.
Yang saya ceritakan pada bagian awal tulisan ini,yakni usaha untuk ” membinasakan” segala sesuatu tentang Jonru dari media sosial , hanyalah contoh kecil dari upaya upaya memadamkan api Islam di Indonesia.
Haruskah kita menyerah ?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya ingin mengajak teman-teman untuk kembali menyimak perjuangan para ulama besar beserta para pendukung nya yang telah juga di uraikan di atas.
Jika di cermati dengan seksama , kita akan sangat takjub saat menyadari bahwa proses penyebarluasan catatan catatan said Nursi dari desa Barla ketika itu sangat mirip dengan cara memviralkan status Facebook.
Kita tiba tiba akan menyadari di era ketika belum ada komputer , belum ada internet, dan media sosial. Bahkan di masa ketika umat Islam di tekan dan dzalimi dengan sangat buruk, jauh lebih buruk di banding perlakuan umat Islam di Indonesia.
Hari ini justru Badiuzzaman Said Nursi (di bantu oleh pendukung beliau) berhasil melahirkan karya yg sangat luar biasa. Risalah Nur.
Kita, umat Islam Indonesia, hari ini hidup di era yang lebih baik. Kita hidup di era media sosial yang sangat canggih, penuh dengan kenyamanan dan kemudahan.
Karena itu, sungguh sangat konyol jika kita demikian mudah menyerah hanya karena banyak ulama dan aktivis yang di kriminalisasi.
Saya, Jonru, Inshaa Allah tidak akan pernah menyerah.
Walaupun saya harus berhadapan dengan sekelompok manusia barbar yang akan menghilangkan segala sesuatu tentang Jonru dari media sosial.
Walau saya harus menggunakan tulisan tangan di atas lembaran lembaran kertas pada sebuah buku, di ruang tahanan yang penuh dengan keterbatasan.
Namun saya sebagai seorang Muslim cyber army (MCA) Inshaa Allah akan terus berjuang hingga tetes darah penghabisan.
Saya mungkin tidak bisa melahirkan karya sehebat Risalah Nur. Namun saya terinspirasi oleh perjuangan Said Nursi beserta para pendukung beliau.
Kita hari ini bisa menyaksikan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang hendak menghentikan perjuangan MCA. Mereka hendak memadamkan semangat MCA, membinasakan perjuangan kita dari media sosial.
Bahkan secara lebih luas, mereka hendak memadamkan api Islam dari bumi NKRI tercinta, mirip dengan Turki di era Mustafa Kamal.
Haruskah kita menyerah ??
Jawaban saya TIDAK
Bagaimana dengan anda ??
Rutan Polda Metro Jaya
8 November 2017
Jonru Ginting
Dikutip dari WAG DPP Gape DKI Jakarta, kiriman Siswati Tabran, Kamis (9/11).