Serikat Pekerja Jakarta Internasional Container Terminal (SP JICT) mengklarifikasi berita Dewan Redaksi Media Group yang ditulis Suryopratomo soal kiprah Hutchison di Indonesia dengan tajuk ABS. Apalagi ditemukan perpanjangan kontrak Hutchison tanpa izin konsesi pemerintah.
Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim mengatakan, Hutchison Ports milik taipan Hong Kong, Li Ka Shing mengoperasikan pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia, JICT. Kontraknya selama 20 tahun (1999-2019), namun diperpanjang 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Dari investigasi Panitia Angket DPR tentang Pelindo II dan Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menemukan perpanjangan kontrak JICT (2015-2039) kepada Hutchison tanpa izin konsesi pemerintah. Selain itu merugikan negara sedikitnya Rp 4,08 triliun, lanjut Sofyan, Hutchison juga ditunjuk langsung tanpa tender yang memadai. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus tersebut.
“Menjadi pertanyaan kenapa Suryo tidak menulis manifestasi bisnis Hutchison yang menurut BPK melanggar aturan di Indonesia. Lagipula pelanggaran hukum Hutchison dalam kasus JICT, merupakan ancaman serius terhadap reputasi global grup bisnis Li Ka Shing. Namun seolah ada pihak-pihak ingin meyakinkan Li, ada celah Hutchison untuk bisa langgeng di JICT,” ujar Sofyan dalam rilisnya, Rabu (8/11).
Klarifikasi berikutnya, tulis Sofyan, JICT sudah dikelola anak bangsa sejak 1978. Saat itu bernama Unit Terminal Petikemas (UTPK). Ketika Hutchison datang tahun 1999, 99 persen putra putri bangsa tetap mengoperasikan JICT. Dalam perjanjian 1999, tercantum ‘saham merah putih’ untuk semangat nasionalisasi saat berakhir kontrak tahun 2019. Seharusnya alih pengetahuan dan teknologi sudah selesai. Indonesia bisa berdaulat atas pintu gerbang perekonomian nasional pada tahun 2019.
Pemerintah pun dapat memberikan Hutchison kesempatan menggarap pelabuhan lain yang belum maju. Menurut Suryo, kutip Sofyn, Hutchison berjasa dalam memberikan remunerasi terbaik dan melatih karyawan. Namun gaji terendah pegawai JICT bukanlah Rp 36 juta seperti ditulis Suryo, melainkan Rp 7,9 juta. Remunerasi ini telah menghitung kemampuan perusahaan dan produktivitas pekerja.
Sampai saat ini, produktivitas JICT yang terbaik di Indonesia. Jika dibandingkan, kata dia, Pelindo II jauh lebih banyak mengirimkan pegawai untuk belajar ke luar negeri. Anggaran training JICT juga hanya terserap kurang dari 20% dalam 3 tahun terakhir. “Bahkan biaya ‘technical know how’ yang dipungut Hutchison bernilai triliunan Rupiah. Namun realisasi “know-how” tidak pernah jelas seperti apa. Biaya ini sangat besar ketimbang biaya training setiap pekerja USD 1.000 per tahun,” sindirnya.
Para pekerja yang dikirim ke luar negeri, kebanyakan untuk memperbaiki produktivitas pelabuhan Hutchison. Contoh di Oman dan Tanzania. Bahkan pelabuhan Felixtowe, Inggris belajar sistem petikemas yang dioperasikan langsung oleh putra putri bangsa. Jadi kemampuan anak bangsa sangat diakui oleh Hutchison. Terakhir, kata Sofyan mengklarifikasi, ini bukan soal penafsiran sempit nasionalisme dan sentimen berlebihan anti asing.
Tapi dari fakta objektif kasus JICT, penting bagi pemerintah mengambil sikap tegas. Pemerintah harus menjadikan kasus JICT sebagai preseden penegakan hukum di Indonesia. Investor akan senang jika ada kejelasan aturan main. Ini justru yang harus digelorakan kepada Presiden. Namun dalam kasus JICT, seperti ada pihak yang coba bermain di area abu-abu untuk membidik “mutualisme” sempit dalam bentuk rente. (lin)