Terkait Penundaan Pemilu dan Pilkada, Sungguh Republik yang Menakjubkan

Chris Komari. Foto: ist

Oleh Chris Komari *

semarak.co-Penundaan Pilkada DKI dari 2022 ke tahun 2024 bersamaan atau serentak pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) pemilihan legislative (pileg) adalah keputusan politik yang direncanakan penguasa dan tidak memberi kewenangan menggantikan gubernur yang dipilih langsung warga DKI Jakarta lewat Pemilu (election) dengan Gubernur pelaksana tugas (Plt) hasil penunjukan (appointment) Presiden.

Bacaan Lainnya

semarak.coo-Apalagi kalau mengundur Pemilu 2024, itu tindakan inkonstitusioniL Mengundurkan pilkada hingga 2,5 tahun juga tindakan inkonstitusionil. Semua pejabat executive daerah yang mau dicopot secara inkonstitusionil itu berhak menolak untuk diganti. Jangan mau diganti.

Pejabat lama yang dipilih langsung oleh rakyat berhak menduduki jabatan yang sama hingga penggantinya dipilih rakyat lewat pemilihan umum (Pemilu) atau election bukan karena penunjukan (appointment). Kalau pun presiden, Mendagri, DPR RI, dan KPU menunda Pilkada kongkalikong, itu urusan mereka.

Tetapi jabatan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, harus tetap dijabat oleh orang yang sama hingga penggantinya dipilih oleh rakyat atau warga setempat pada pemilihan umum berikutnya. Kalau ditunda oleh penguasa, itu salahnya penguasa.

Tetapi yang tetap berhak menduduki jabatan yang sama adalah mereka yang telah dipilih langsung oleh rakyat lewat election dan bukan mereka yg ditunjuk (appointment) Presiden.

Presiden dan Mendagri tidak punya hak, tidak punya wewenang dan kekuasaan secara hukum dan konstitutional untuk mencopot KEPALA DAERAH yang dipilih langsung oleh rakyat, kemudian diganti dengan PLT selama 2,5 tahun yang ditunjuk presiden. Itu demokrasi akal bulus. Bullshit.

Kepada semua kepala daerah yang masa jabatan akan berakhir tahun 2022 ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jangan mau dicopot dan jangan mau diganti. Lawan kelicikan dan abuse of power presiden beserta Mendagri dengan menggugat keputusan pergantian jabatan yang inkonstitusionil itu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketika proses judicial review dilakukan di MK, maka kepala daerah yang bersangkutan harus tetap menjabat posisi yang sama hingga keputusan MK keluar. Hancurkan rencana busuk dan kelicikan penguasa lewat IKN dan pengunduran pilkada selama 2 tahun.

Menunda pilkada hingga 2 tahun karena kelicikan politik penguasa harus dilawan at all cost karena penundaan itu bukan karena tidak ada waktu, tidak mampu atau tidak ada dana, tetapi karena kelicikan politik penguasa.

Jangankan 2 tahun, 1 tahun atau 6 bulan saja sudah lebih dari cukup waktu untuk melakukan pilkada di masing-masing daerah. Kepala daerah dipilih oleh rakyat dan hanya bisa diganti oleh rakyat lewat pilkada (election) bukan lewat penunjukan (appointment) oleh Presiden.

Karena jabatan kepala daerah dan memilih kepala daerah adalah hak rakyat daerah dan bagian dari autonomous daerah. Jangan Mau dikadali oleh penguasa dengan a bunch of bullshiters. Ketika masa jabatan kepala daerah berakhir dan pilkada tidak bisa dilakukan apapun alasan, maka kepala daerah yang sama akan tetap menjabat dengan waktu perpanjangan (extension) hingga pilkada dilakukan dan kepala daerah baru dipilih.

Karena kepala daerah yang samalah yang diberi mandat oleh rakyat daerah, bukan diganti oleh penunjukan Presiden. Pilkada diundur bukan karena tidak mampu dan tidak ada dana, tetapi karena kelicikan dan abuse of power Presiden dan Mendagri yang harus dilawan, dengan mengugatnya di MK.

Rakyat biasa yang menjadi konstituen di daerah bisa ramai-ramai mengugatnya di MK karena setiap konstituen di daerah memiliki legal standing. Pilkada Diundur 2 tahun hingga 2024 Adalah Pelanggaran Konstitusi Terhadap Kedaulatan Tertinggi Rakyat.

Kekuasaan Tertinggi Bukan Ditangan DPR, Presiden Atau Mendagri dan Pemerintahan Dijalankan Bukan Atas Persetujuan DPR Atau Presiden, Tidak Semua Masalah Bangsa Harus Diputuskan Oleh DPR.

Apakah anggota DPR paham dan mengerti dengan prinsip-prinsip demokrasi…??? Jangan biarkan “DPR”, “Presiden” atau “Mendagri” melanggar kedaulatan tertinggi rakyat, melanggar Konstitusi UUD 1945, melanggar hukum dengan menunda pilkada hingga 2 tahun….!!! Prinsip demokrasi nomer #2 itu berbunyi:

“…. Government based upon the consent of the governed….” (pemerintahan itu dijalankan atas persetujuan yang dipimpin), dalam hal ini adalah rakyat. Bukan atas persetujuan yang memimpin, seperti Presiden, Mendagri, DPR, atau Partai Politik….!”

Mengundur pilkada 2 tahun adalah anomali demokrasi dan kudeta terhadap kedaulatan tertinggi rakyat Indonesia yang harus di lawan! Kedaulatan tertinggi bukan ditangan Presiden, DPR, bukan di tangan mendagri, bukan ditangan pengusaha dan juga bukan ditangan partai politik.

Mengundur pilkada karena alasan politik tanpa mendapat persetujuan dari rakyat (the consent of the people) jelas melanggar kedaulatan tertinggi rakyat, melanggar hukum, melanggar Konstitusi UUD 1945.

Rakyat memilih kalian sebagai wakil rakyat di DPR dan DPD untuk mewakili kepentingan rakyat untuk menjaga dan membela, menghormati Dan menegakkan kedaulatan tertinggi rakyat, bukan malah mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat.

Prinsip demokrasi nomer #1 yang tertinggi, berbunyi:

1). Sovereignty of the people (Kedaulatan Rakyat). Bukan sovereignty of the President.

Prinsip demokrasi nomer #2, berbunyi:

2). Government based upon the consent of the governed (pemerintah dijalankan atas persetujuan dari yang dipimpin, dalam hal ini adalah RAKYAT. Bukan persetujuan dari yang memimpin.

Mengundur pilkada selama 2 tahun dan nenggantikan ratusan pemimpin daerah dengan appointment dan bukan election adalah anomali dalam demokrasi. Mengundur PILKADA itu cukuplah dalam waktu 1 bulan atau 2 bulan, bukan 2 tahun.

Waktu 6 bulan hingga 1 tahun itu more than enough time untuk mempersiapkan pilkada. Mengundur pilkada sampai 2 tahun, itu jelas anomali demokrasi dan pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat. Appointment atau pejabat sementara itu bisa dilakukan dalam waktu sementara, 1 bulan, 2 bulan dan tidak lebih dari 3 bulan.

Lho ini diundur sampai 2 tahun. Apa-apa ditentukan oleh pusat, rakyat dipaksa harus mengikuti aturan pusat, harga ditentukan pusat, vaksin juga dipaksakan harus mengikuti kehendak orang pusat, karantina dipaksakan, test PCR dipaksakan, test Antigen dipaksakan dan semua menjadi mandatory.

Eh tahu-tahunya pejabat pusat ternyata monkey business PCR juga. Ada Menteri PCR, ada Madam Bansos dan Menteri Bansos, ada Menteri Lobster, Gubernur e-KTP, ada menteri punya korporasi seabrek-abrek dijadikan menteri yang ngurusin BUMN dan investasi, kok nggak malu dengan rondo ucul narcistic yg bernama: conflict of interest.

Kok nggak punya rasa malu ya, sudah ketangkap basah nilep bansos, malakin publik dgn test PCR, ternyata mereka juga yg jualan PCR dan masih juga sok suci dan mau ikut nyapres. Yang namanya demokrasi itu lewat election (pemilihan umum) bukan lewat appointment (penunjukan).

Apalagi ini menyangkut kepala daerah sebanyak 271 jabatan public. Jelas itu satu bentuk pelanggaran Konstitusi UUD 1945, kejahatan terhadap kedaulatan rakyat dan tidak demokratis. Kok ada, kepala daerah setelah masa jabatan berakhir, pilkada diundur 2 tahun dan semua kepala daerah sementara di appointed oleh head of executive (Presiden).

Ini demokrasi model apa lagi. Kok ada pilkada ditunda selama 2 tahun. Apa nanti akan ada pilpres ditunda selama 3 tahun. Demokrasi itu lewat election bukan lewat appointment. Pejabat sementara itu a short term, bukan a long term sampai 2 tahun. Ngeblek! Apalagi yang menjadi pejabat sementara adalah para kepala daerah.

Apakah mendagri, presiden dan DPR kolaborasi kongkalikong mau ngakali demokrasi dan mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat seperti partai politik. Semua jabatan publik dan pejabat publik yang dipilih oleh rakyat ketika masa jabatannya berakhir, maka sebelum masa jabatan itu berakhir harus dilakukan election.

Itulah pentingnya perencanaan. Lagian 2 tahun itu kan waktu yg lama untuk bisa mempersiapkan pilkada? Pilkada itu bisa dikerjakan dan dilakukan oleh masing-masing KPU dan Bawaslu di tingkat daerah. Justru pusat itu harus hand off.

Pilkada adalah hak daerah dan bagian dari autonomous daerah untuk memiliki pemimpin DAERAH. Kenapa semua harus pusat yang menentukan. Mau ngibul rakyat daerah lagi. Tidak ada justification atau alasan apapun untuk menunda pilkada dalam waktu 6 bulan, apalagi menunda hingga 2 tahun. Apa DPR itu sekarang menjadi Dewan Penipu Rakyat? Busyettt! Kalian itu wakil rakyat atau penipu rakyat?

*) penulis adalah Activist Democracy Tinggal di AS

 

sumber: beritaind.com/2022/03/06 di WAGroup

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *