Antara Fatwa dan Hukum

Grafis MUI mengeluarkan fatwa haram aktivitas buzzer. Foto/SINDOnews

Oleh Ahmad Sarwat, Lc.MA *

semarak.co-Banyak kalangan awam yang tidak mampu membedakan antara fatwa dan hukum. Dikiranya fatwa adalah hukum dan hukum adalah fatwa. Atau setidaknya mereka mengira bahwa fatwa itu punya kedudukan yang tinggi dalam hirarki hukum, padahal justru posisinya ada di bagian paling rendah.

Bacaan Lainnya

Dalam kajian fiqih atau ilmu hukum Islam, fatwa itu bukan hukum, posisinya justru berada paling bawah, di bawah undang-undang (qanun) dan vonis hakim (qadha’).

1. Qanun

Yang disebut dengan hukum dalam istilah syariah adalah qanun (قانون) atau undang-undang. Hukum Islam adalah qanun atau undang-undang yang disusun oleh para ulama syariah dan ahli hukum. Beberapa kampus membuka fakultas Syariah dan Hukum atau asy-Syariah wal Qanun (الشريعة والقانون).

Qanun ini punya sumbernya yang banyak, khususnya yang utama tentu saja Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Namun masih banyak lagi sumber lainnya. Di setiap negara yang menentukan undang-undang bisa beda-beda. Di Indonesia undang-undang itu disyahkan oleh DPR, di negaral lain disahkan oleh parlemen atau konstitusi atas draft usulan dari eksekutif.

2. Qadha’

Di bawah undang-undang, ada keputusan hakim atau dikenal dengan istilah qadha’ (قضاء). Atau kita mengenalnya sebagai vonis keputusan hakim. Qadha’ ini ditetapkan oleh seorang Qadhi atau hakim yang resmi di dalam majlisul qadha’ alias pengadilan atau meja hijau yang resmi.

Qadha’ merupakan hak preogratif seorang Qadhi yang resmi diangkat oleh penguasa yang sah. Di masa kenabian banyak shahabat yang diangkat jadi Qadhi di banyak wilayah, diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin di masa berikutnya.

3. Antara Qanun dan Qadha’

Lalu bagaimana hubungan antara Qanun dan qadha’? Begini, kalau qanun adalah aturan bakunya, maka qadha’ adalah vonis seorang hakim kepada tersangka karena dianggap melanggar qanun.

Kekuatan qanun dan qadha’ inilah yang luar biasa. Seorang tersangka kejahatan pembunuhan, bisa saja diqishash alias dihukum mati secara legal dan sah oleh vonis hakim.

Atau seorang wanita yang awalnya hanya diduga berzina, maka majelisul qadha’ lah yang membuat nya sah dan legal divonis hukuman mati dengan cara rajam atau dicambuk 100 kali.

4. Fatwa

Lalu dimana kedudukan fatwa? Fatwa itu bukan hukum, bukan qanun dan bukan qadha’. Fatwa adalah opini subjektif dari siapapun. Namun biasanya memang dari ulama ahli fiqih atau mujtahid.

Dibandingkan dengan qanun dan qadha’, fatwa sama sekali tidak punya kekuatan hukum. Karena pada dasarnya fatwa itu hanya sebatas opini yang sifatnya subjektif, bahkan fatwa bisa berubah kapan saja.

Biasanya fatwa itu merupakan pandangan subjektif seorang alim dan pakar dalam ilmu syariah. Namun kita tahu bahwa adalah sangat wajar dan logis ketika para ulama berbeda pendapat satu dengan yang lain.

Bahkan dalam jajaran hukum Islam, kita mengenal ada banyak mazhab ulama, mulai dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Semua bisa saja benar, mazhab yang mana saja dianut, dijamin tidak ada yang keliru.

5. Fatwa Mudah Berubah

Satu hal yang patut dicatat bahwa fatwa para ulama seringkali berubah sepanjang waktu. Contoh paling sederhana adalah Mazhab Syafi’i yang punya dua qaul yaitu qaul qadim dan Jadid. Seorang alim ahli fiqih sah-sah saja apabila karena satu dan lain hal, dia mengubah pandangannya, alias mengubah fatwanya.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menulis sebuah buku bagus berjudul (موجبات تغير الفتوى في عصرنا). Beliau menuliskan setidaknya ada 10 hal yang bisa membuat fatwa itu berubah-ubah, baik faktor zaman, tempat, ‘urf, dan lainnya.

Makanya posisi fatwa itu berada jauh di bawah qanun dan qadha’, sama sekali tidak punya kekuatan hukum apapun. Bisa didengarkan tapi boleh saja dibuang dan diabaikan begitu saja.

Karena fatwa itu sekedar opini yang sifatnya subjektif. Walaupun fatwa lahir dari pemikiran para ahli atau ulama, namun tetap saja mereka manusia biasa yang sangat mungkin punya pandangan subjektif yang berbeda-beda, bahkan bisa berubah-ubah juga.

Lalu apa dan bagaimana hubungan antara fatwa dengan vonis hakim? Dalam persidangan atau majlisul-qadha’, seorang qadhi atau hakim bisa saja minta pandangan, opini atau fatwa dari ulama. Tapi fatwa ulama itu tetap sekedar opini, bukan hukum.

Di zaman sekarang misalnya di pengadilan, fatwa ulama dan para ahli setara dengan kesaksian dari para ahli atau saksi ahli. Para saksi ahli kadang dibutuhkan opininya mewakili disiplin ilmu yang mereka miliki.

Dan opini para saksi ahli inilah yang disebut: fatwa. Jadi fatwa itu bukan vonis, apalagi undang-undang. Fatwa itu opini subjektif seorang yang dianggap ahli pada suatu bidang.

6. Fatwa Tidak Mengikat

Fatwa sama sekali tidak mengikat. Qadhi dan hakim yang minta fatwa tidak pernah diwajibkan taat dan tunduk pada fatwa yang dimintakan. Fatwa sangat mungkin ditaati atau dibuang.

Yang memberi fatwa sendiri pun tidak harus merasa kecewa apalagi marah kalau fatwanya tidak dipakai. Karena orang yang dimintai fatwa biasanya bukan orang sembarangan. Mereka tidak mungkin dimintai fatwa kalau bukan ahli di bidangnya.

Namun demikian, orang yang dimintai fatwa itu tahu kedudukan mereka bukan penegak hukum. Sehingga mereka paham sekali bahwa jenjang dan posisi fatwa mereka jauh sekali di bawah undang-undang dan vonis pengadilan. Wallahu’allam

 

sumber: WAGroup PA Al-Wasliyah P.Brayan (postRabu16/3/2022/irfanismaya)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *