Pengamat Ubedillah Nilai Tunda Pemilu Wujud Praktik Demokrasi Semu, Cek Kata Denny Indrayana dan Yusril?

Grafis tentang pemilu yang bertujuan merebut kekuasaan. Foto: internet

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi (Joko Widodo) yang dilontarkan Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto adalah wujud dari praktik demokrasi semu (pseudo democracy).

semarak.co-Menurut Ubedillah, ide penundaan pemilu bukan hanya kemunduran tetapi juga merusak praktik demokrasi. Sebab, ciri dari demokrasi yang sehat adalah adanya pergantian kekuasaan secara teratur.

Bacaan Lainnya

“Pseudo democracy maksudnya jalannya negara tidak lagi dijalankan oleh institusi demokrasi yang baik yang mendengarkan aspirasi rakyat, tapi dikendalikan institusi yang buruk yang dipandu oligarki bukan dipandu daulat rakyat,” sindir Ubedillah kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/3/2022).

Selain itu, lanjut Ubedillah, ide penundaan pemilu juga secara moral mengkhianati agenda Reformasi 1998 yang membatasi masa jabatan Presiden hanya untuk dua periode, agar tidak mengarah pada praktik absolutisme kekuasaan.

Ubedillah melanjutkan, seharusnya pengalaman buruk pada akhir kekuasaan Presiden Soekarno dan Soeharto menjadi pelajaran supaya bangsa Indonesia menata negara ini secara lebih modern sesuai pandangan demokrasi, sebagaimana amanat para pendiri bangsa yang memilih jalan pemerintahan sebagai negara Republik dan bukan kerajaan.

“Berkaca dari pengalaman masa lalu dan guna membatasi kekuasaan Presiden, maka setelah reformasi dilakukan amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945,” ujar Ubedillah yang terkenal dengan keberanian melaporkan anak Presiden Jokowi ke KPK kasus suap.

Ubedillah memperkirakan, jika ide penundaan pemilu itu berlanjut dibawa ke DPR maka bakal menimbulkan gejolak politik yang dahsyat. Selain itu, alasan demi perbaikan ekonomi yang diembuskan sebagai dalih guna mengundur pemilihan umum atau memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 periode dinilai tidak masuk akal.

“Sebab di mayoritas temuan riset setelah pemilu justru ekonomi bangkit karena ada energi baru dan kepercayaan baru pada pemerintahan baru. Jika menggunakan diksi tunda karena kondisi ekonomi, justru proyek Ibu Kota Negara yang layak ditunda,” ujar Ubedillah.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar beralasan menurut analisis big data perbincangan di media sosial, dari 100 juta subjek akun, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.

Cak Imin mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dengan alasan pandemi Covid-19. Ia berkata akan membawa usul itu ke Presiden Joko Widodo. “Oleh karena itu, dari seluruh masukan itu saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun,” ujar Cak Imin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (23/2/2022).

Usul serupa pernah diutarakan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Dia bilang dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo atas nama pemulihan pascapandemi.

“Kalau kita mengecek di dunia usaha, rata-rata mereka memang berpikir adalah bagaimana proses demokrasi ini, dalam konteks peralihan kepemimpinan, kalau memang ada ruang untuk dipertimbangkan dilakukan proses untuk dimundurkan, itu jauh lebih baik,” tutur Bahlil di acara peluncuran survei Indikator Politik Indonesia, Minggu (9/1/2022).

Sedangkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto beralasan menerima aspirasi dari kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau, terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengatakan, ada sejumlah alasan yang membuat PAN mendukung penundaan pemilu. Yakni mulai dari situasi pandemi Covid-19 kondisi ekonomi yang belum stabil, hingga anggaran pemilu yang membengkak.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (Sekjen PSI) Dea Tunggaesti mengatakan, mereka menolak penundaan pemilihan umum 2024. Namun, dia menyatakan PSI mendukung supaya partai-partai di DPR mengupayakan amandemen UUD 1945 supaya masa jabatan presiden berubah maksimal menjadi tiga periode.

Gagasan itu disampaikan supaya Jokowi bisa meneruskan kepemimpinan melalui persaingan pada Pemilu 2024 mendatang. Pada 15 Maret 2021 lalu, Jokowi pernah menyatakan menolak wacana perpanjangan masa jabatan hingga 3 periode. Menurut dia, sikap itu tidak akan pernah berubah karena sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, penundaan pemilu tidak memiliki dasar hukum yang diatur Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Yusril menjelaskan, Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Selain itu, lanjut Yusril, penundaan pemilu akan menyebabkan timbulnya pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilakukan penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum. Adapun penyelenggara negara yang dimaksud Yusril adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam pemilu.

Dilansir eramuslim.com/ Minggu, 27 Februari 2022 16:10 WIB/ Yusril mengingatkan, penyelenggara negara (eksekutif) yang legal atau sah di pusat hanya Panglima TNI dan Kapolri. TNI bisa mengambil alih kekuasaan Negara. Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR.

“Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan illegal. Jika kedua institusi ini tidak kompak, maka bisa terjadi pengambilalihan kekuasaan sementara oleh TNI dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara,” ujar pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan, Minggu (27/2/2022).

Yusril menekankan bahwa TNI dan Polri saat ini bukan lagi ABRI zaman dulu yang berada di bawah satu komando, Panglima ABRI. TNI dan Polri sekarang terpisah dengan tugas masing-masing. TNI dan Polri punya komando sendiri yang masing-masing bertanggung jawab secara terpisah kepada presiden.

“Jika Presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang kepada perintah Presiden yang ilegal itu. Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis,” jelas Yusri seperti dikutip Pojoksatu.

Kata Yusril, pemilu adalah  pelaksanaan kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 2. Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR dan DPD, lalu membentuk MPR.

“Secara spesifik Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” ujar Yusril yang juga Ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB).

Ketentuan-ketentuan tersebut, sambungnya, berkaitan erat dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya.

Penegasan ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra menyusul adanya sejumlah pejabat negara dan petinggi partai politik yang mulai terang mengusulkan penundaan Pemilu 2024. Yusril pun bertanya-tanya, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya.

Sebab sejauh amatannya, tidak ada dasar hukum sama sekali yang mengatur itu. Jika dipaksa diundur, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah ilegal alias tidak sah atau tidak legitimate. Jika para penyelenggara negara itu semuanya ilegal, maka tidak ada kewajiban apapun bagi rakyat untuk mematuhi mereka.

“Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Rakyat berhak untuk membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR. Rakyat berhak menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal,” tegasnya.

Dalam kondisi demikian, maka penyelenggara negara (eksekutif) yang masih legal di tingkat pusat tinggal Panglima TNI dan Kapolri. Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR. “Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal,” lanjutnya seperti dilansir rmol.

Sejumlah pimpinan partai koalisi sudah mulai terbuka menyampaikan usulan agar Pemilu 2024 ditunda yang artinya masa jabatan Presiden Joko Widodo turut diperpanjang. Namun demikian, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mempunyai satu pertanyaan berkaitan dengan upaya mewujudkan usulan tersebut.

Pertanyaan ditujukan kepada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengusulkan penundaan pemilu. “Kalau pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya,” tanya Yusril kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (25/2/2022).

Selain itu, dia menekankan bahwa konsekuensi dari penundaan pemilu adalah masa jabatan presiden, wapres, kabinet, DPR, DPD, dan MPR akan habis dengan sendirinya. Pertanyaan kedua, lembaga apa yang berwenang memperpanjang jabatan para pejabat itu.

“Lembaga apa yang berwenang memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tersebut? Apa produk hukum yang harus dibuat untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab dan dijelaskan oleh Cak Imin, Zulhas maupun Pak Bahlil,” sambungnya.

Menurutnya, jika asal menunda pemilu dan asal memperpanjang masa jabatan para pejabat negara tanpa dasar konstitusional dan pijakan hukum yang kuat, maka ada kemungkinan timbul krisis legitimasi dan krisis kepercayaan.

“Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana. Hal tersebut bisa berdampak besar karena amandemen UUD 1945 menyisakan persoalan besar bagi bangsa, yakni kevakuman pengaturan jika negara menghadapi krisis seperti tidak dapatnya diselenggarakan Pemilu,” ulasnya.

Sementara tidak ada satu lembaga apapun yang dapat memperpanjang masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, atau menunjuk seseorang menjadi Pejabat Presiden seperti dilakukan MPRS tahun 1967. Yusril mengkhawatirkan munculnya konflik politik jika Pemilu 2024 ditunda.

Yusril mengatakan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilakukan sembarangan. Ketiadaan landasan hukum akan membuat kebijakan itu krisis legitimasi. “Keadaan seperti ini harus dicermati betul karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana,” kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (5/2/2022).

Yusril menyampaikan siapa pun boleh mengutarakan gagasan apa pun dalam negara demokrasi. Namun, menurutnya, gagasan penundaan pemilu berbenturan dengan undang-undang dan konstitusi. Dia menyampaikan Indonesia sebagai negara hukum harus mematuhi aturan dalam undang-undang dan konstitusi.

“Kalau Pemilu ditunda, maka lembaga apa yang berwenang menundanya? Konsekuensi dari penundaan itu adalah masa jabatan presiden, wapres, kabinet, DPR, DPD, dan MPR akan habis dengan sendirinya,” ujar mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg).

Yusril bertanya kepada Cak Imin soal lembaga yang berwenang memperpanjang masa jabatan presiden. Dia juga mempertanyakan landasan hukum yang akan digunakan untuk keputusan itu. “Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab dan dijelaskan oleh Cak Imin maupun Pak Bahlil,” tuturnya.

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan, wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi. Dalam teori ketatanegaraan, ia menjelaskan, pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, tetapi alasannya harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menyebutkan, hal itu bisa diukur dari dampak tindakan pelanggaran konstitusi semata-mata demi menyelamatkan negara. Indikator lainnya adalah tetap adanya pembatasan kekuasaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar utama dari prinsip konstitusionalisme. (net/kpc/smr)

 

sumber: WAGroup PERKOKOH PERSATUAN MUSLIM (postRabu2/3/2022/misra)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *