Menag Terbitkan SE Pengeras Suara Masjid, DMI Dukung karena Aspek Kebisingan dan MUI Mengapresiasi

Pengeras suara atau speaker masjid. foto: internet

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni menyambut baik terbitnya Surat Edaran (SE) No 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Menurut Imam, Ketua DMI Jusuf Kalla mendorong terbitnya SE Menteri Agama (Menag) ini lantaran banyak masjid/musala yang menyebabkan peningkatan aspek kebisingan di sekitar masyarakat.

semarak.co-“DMI memaklumi SE itu karena sebenarnya yang mendorong pertama itu Pak JK karena populasi masjid itu sangat banyak. Dan suara keluar speaker dengan jumlah masjid yang semakin banyak itu serta tidak seragam memenuhi bahana yang bermacam-macam,” kata Imam saat dihubungi MNC Portal, Senin (21/2/2022) yang dilansir SINDOnews.com/Senin, 21 Februari 2022 – 17:56 WIB.

Bacaan Lainnya

Jadi ada aspek kebisingan sebenarnya, lanjut Imam, khususnya di daerah-daerah perkotaan itu. DMI juga dilibatkan dalam penyusunan aturan pengeras suara masjid. Namun pada hasilnya, akan lebih baik jika ditandatangani bersama oleh DMI. “Di awal-awal prosesnya ada, termasuk FGD, DMI dilibatkan diundang sebagai narasumber,” katanya.

Ke depan, DMI juga akan mendorong diberlakukan adzan daerah sewaktu. Masing-masing masjid dipasang transistornya atau transmisinya yang dapat relay dan adzan akan disentralkan pada satu masjid besar. “Pak JK mendorong kemungkinan dilaksanakannya adzan daerah sewaktu. Misalnya Jakarta dan sekitarnya itu waktunya sama, adzannya bareng disentralkan supaya suaranya itu tidak berganti-gantian,” katanya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengapresiasi atas terbitnya SE itu sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemalahatan dalam penyelenggaraan aktftas ibadah. SE ini sejalan dengan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan 2021.

Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, substansinya juga sudah dikomunikasikan dengan MUI serta didiskusikan dengan para tokoh agama. Tapi dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat; jamaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah.

“Intinya, dalam pelaksanaan  ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk adzan,” papar Asrorun dalam rilisnya seperti dilansir melalui WAGroup Jurnalis Syariah, Senin malam (21/2/2022).

Karenanya, perlu aturan yg disepakati sbg pedoman bersama, khususnya terkait penggunaan pengeras suara di tempat ibdah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban serta mencegah mafsadah yg ditimbulkan. “Aturan ini harus didudukkan dalam kerangka aturan umum,” ujar Asrorun yang juga ustadz.

Namun, kata dia, dalam implementasinya, aturan ini harus memperhatkan kearifan lokal, tidak bisa digeneralisir. “Kalau di suatu daerah, terbiasa dengan tata cara yg sdh disepakati bersama, dan itu diterima secara umum, maka itu bsa dijadikan pijakan. Jadi penerapannya tidak kaku,” tutupnya.

Sebelumnya Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran (SE) yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menurut Menag, penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan, masyarakat Indonesia juga beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya. Sehingga, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” ujar Menag Yaqut di Jakarta, Senin (21/2/2022) seperti dirilis humas Kemenag melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Senin petang (21/2/2022).

Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit 18 Februari 2022 ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia.

Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia. “Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola atau takmir masjid dan musala dan pihak terkait lainnya,” tegas Menag. (net/snc/smr)

Berikut ini ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala:

1. Umum
a. Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar. Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/musala. Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/musala.

b. Penggunaan pengeras suara pada masjid/musala mempunyai tujuan:
1) mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian AlQur’an, selawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu salat fardu;
2) menyampaikan suara muazin kepada jemaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika salat berjemaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jemaah; dan
3) menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid/musala.

2. Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara
a. pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/musala;
b. untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik;
c. volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel); dan
d. dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, selawat/tarhim.

3. Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara

a. Waktu Salat:
1) Subuh:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.

2) Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan
b) sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.

3) Jum’at:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur’an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) penyampaian pengumuman mengenai petugas Jum’at, hasil infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jum’at, Salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.

b. Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.
c. Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan Upacara Hari Besar Islam:
1) penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam;
2) takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
3) pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;
4) takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam; dan
5) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar.

4. Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi persyaratan:
a. bagus atau tidak sumbang; dan
b. pelafazan secara baik dan benar.

5. Pembinaan dan Pengawasan
a. pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang.
b. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *