Oleh Zuly Qodir *
Inilah yang saat ini sedang terjadi di negeri kita sekarang. Banyak perguruan tinggi dengan akademisi yang tampak hebat bak mercusuar, mengalami defisit akhlak-moral individu dan moral publik.
semarak.co-Tuntutan atas karya publikasi dan riset yang dialamatkan pada para pendidik-akademisi di negeri ini ternyata berdampak negatif. Para akademisi kemudian mengubah dirinya menjadi “pemburu gelar” dan publikasi dengan berbagai cara yang menempatkan dirinya menjadi seorang munafik dan penjual diri.
Fenomena perlombaan menerbitkan artikel pada jurnal-jurnal ternama bereputasi internasional sekarang benar-benar menjadi pertarungan yang dilakukan para pendidik di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Bahkan, di perguruan tinggi swasta, aroma persaingan untuk mampu menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi benar-benar menjadi “kredo suci” para pimpinan perguruan tinggi, demi mendapatkan pengakuan dari negara dan berbagai lembaga pemberi sertifikat bergengsi dalam bidang akademik.
Perguruan tinggi swasta tak akan dilirik publik jika tidak nangkring pada ranking 10 besar perguruan tinggi swasta. Syukur-syukur mampu menyalip ranking perguruan tinggi negeri. Hal ini akan menjadi credit point di mata calon mahasiswa dan orangtua mahasiswa.
Ranking perguruan tinggi tentu saja tidak salah dan absah saja adanya. Namun, hanya mengandalkan pada ranking sebagai satu-satunya acuan memilih perguruan tinggi menjadi persoalan serius. Namun, ranking perguruan tinggi tidak kemudian berbanding lurus dengan etika-moral dosen yang ada di dalamnya.
Ranking perguruan tinggi tentu saja membanggakan para dosen dan mahasiswa. Namun, ranking perguruan tinggi tidak kemudian berbanding lurus dengan etika-moral dosen yang ada di dalamnya. Hal inilah yang agaknya sering kali kurang mendapatkan perhatian perguruan tinggi yang mengejar ranking terbaik.
Ranking terbaik dapat diperoleh, namun akhlak-moral dosen ambruk ke jurang, tidak mendapatkan perhatian. Padahal semestinya seperti pernah dikatakan Nietzsche dan Voltaire: “Aku telah berbuat baik sedikit. Itulah karyaku yang terbaik”. Inilah pesan untuk para akademisi saat ini.
Hadirnya kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan seksual, penyalahgunaan jabatan, penyelewengan kedudukan pada sesama dosen atau terhadap mahasiswa. Agaknya ada hubungannya dengan kurangnya perhatian perguruan tinggi bahkan negara yang lebih memerhatikan kualitas perguruan tinggi dalam hal karya publikasi dan riset oleh para akademisi.
Inilah yang saat ini sedang terjadi di negeri kita sekarang. Banyak perguruan tinggi dengan akademisi yang tampak hebat bak mercusuar, mengalami defisit akhlak-moral individu dan moral publik.
Mahkota tanpa martabat
Jika boleh dikatakan, para akademisi yang bekerja bagaikan mesin untuk memproduksi karya ilmiah, artikel dan riset di laboratorium tanpa memberikan tekanan pengabdian kepada masyarakat/rakyat kecil yang tertindas —atau mahasiswa yang terdominasi oleh para akademisi.
Para kolega dosen yang terzalimi karena kekuasaan, jabatan, kedudukan dan kedekatan dengan penguasa— sejatinya dia adalah sosok pengkhianat akademik. Sosok semacam itu lebih tepat dikatakan sebagai pemilik gelar namun tanpa mahkota.
Seseorang yang memiliki gelar doktor, profesor, ataupun associate professor yang mampu memproduksi artikel di jurnal-jurnal internasional. Mendapatkan hibah riset dari negara, namun abai dengan etika seorang akademisi, merupakan bentuk nyata dari kemunafikan kaum akademisi yang telah dinobatkan oleh panggung akademik.
Manusia semacam ini hanyalah seorang yang memiliki gelar akademik, namun tidak memiliki martabat. Martabat telah dijual demi beroleh pengakuan di jurnal internasional tanpa memberikan sumbangan konkret pada masyarakat yang sengsara.
Hadirnya para akademisi yang berperilaku munafik sejatinya telah tampak ketika negeri ini lebih menghamba pada para pengelola jurnal-jurnal internasional sebagai ukuran kehebatan dan kualitas perguruan tinggi.
Kemunafikan akademik ini kian diperparah dengan adanya peleburan lembaga-lembaga riset oleh negara, yang lebih berbau politik ketimbang berjibaku pada riset-riset yang bermanfaat untuk mengentaskan kesengsaraan rakyat banyak. Lembaga riset identik dengan lembaga politbiro politik.
Prostitusi akademik
Prostitusi akademik (simbol) untuk para intelektual-cendekiawan yang menjual dirinya demi mendapatkan kemegahan, kemewahan dan kekuasaan dari pihak-pihak yang memberinya kemewahan dan harta.
Oleh sebab itu, prostitusi akademik (cendekiawan) merupakan bentuk lain dari pengkhianatan kaum cendekiawan yang tidak turun ke lapangan atau turun jalan bersama rakyat untuk membebaskan keterpasungan dan keterpinggiran rakyat.
Mudah sekali saat ini menemukan akademisi yang rakus kekayaan dan jabatan. Rakus atas jabatan politik dan posisi-posisi strategis di pemerintahan maupun di dunia kampus dengan menindas teman sejawatnya.
Penindasan yang dilakukan pun dengan cara “membegal” aktivitas sesama kolega yang tulus ikhlas memperjuangkan kredibilitas sebagai pendidik. Mudah sekali saat ini menemukan akademisi yang rakus kekayaan dan jabatan.
Para penjual gelar akademik ini— baik itu doktor, profesor ataupun lektor— tidak pernah peduli, bahwa apa yang dilakukan merupakan bentuk-bentuk pencurian dan pembegalan atas nama kecendekiawanan. Inilah yang sesungguhnya tengah terjadi di negeri ini.
Para begal telah bergentayangan dalam dunia kampus dan birokrasi pemerintahan, demi mendapatkan rekognisi. Para pengkhianat akademik— mengikuti istilah Julian Benda— merupakan para akademisi (cendekiawan priayi) yang tidak melibatkan diri dalam perjuangan kemanusiaan atau pun perang melawan kejahatan.
Cendekiawan priayi merupakan sosok yang memperjuangkan posisi untuk dirinya dengan menindas koleganya, me mobilisasi politik kekuasaan. Orang lain selalu salah, sementara dirinya selalu benar. Kita masih dapat berharap akan lahirnya para cendekiawan yang membela rakyat dengan berbagai aktivitas kecendekiawanan, yang tidak rakus atas jabatan kekuasaan, tidak silau terhadap glamor duniawi.
Tentu saja cendekiawan tidak harus hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Namun, kita berharap para cendekiawan yang sungguh-sungguh dapat turut serta merasakan denyut nadi kesusahan rakyat banyak. Bukan sosok cendekiawan yang hanya “menghamba pada kekuasaan” dan jabatan akademik.
Inilah yang saat ini sedang terjadi di negeri kita sekarang. Banyak perguruan tinggi dengan akademisi yang tampak hebat bak mercusuar, mengalami defisit akhlak-moral individu dan moral publik.
*) penulis adalah Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
sumber: beritasenator.com/Senin, 17 Januari 2022 | 11:10 WIB di WAGroup Dosen STAI PTJ (postSabtu22/1/2022)