Oleh dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK
semarak.co-Belakangan ini memang ada oknum yang menyebarkan paham anti-Arab atau seolah-olah budaya Arab yang dibawa ke Indonesia ini bertentangan dengan Pancasila dan kesatuan NKRI. Setelah ditinjau lebih dalam, sebenarnya tujuan utama mereka adalah anti-Islam yang berkedok anti-Arab.
Ada beberapa cara oknum tersebut:
1. Menyebarkan bahwa budaya Arab itu tidak sesuai dengan hak asasi manusia, seperti budaya jilbab dan cadar. Misalnya, mereka menuduh jilbab dan cadar akan mengekang para wanita dan merampas hak asasi mereka.
Jawaban: Jilbab dan cadar tidak pernah mengekang para wanita, justru mereka bahagia dan merasa terhormat dengan pakaian sesuai syariat tersebut.
2. Menyebarkan bahwa budaya Arab itu akan mengancam kebudayaan Indonesia dan nusantara.
Jawaban: Sebenarnya budaya Arab dan ajaran Islam sudah sejak lama mewarnai budaya nusantara kita dan tidak akan merusak kebhinekaan Indonesia. Kalau mau jujur, budaya Barat dan budaya Korea juga banyak masuk ke Indonesia, seperti memakai celana jeans ketat, hot-pants, dan lain-lain. Akan tetapi, mereka tidak mempermasalahkan hal ini, mereka hanya mempermasalahkan budaya Arab saja.
3. Mempopulerkan istilah-istilah yang menyudutkan bahkan menjelekkan Arab atau yang berbau Arab.
Misalnya:
“Kadrun (kadal gurun)”;
“Pulang sana ke Arab”;
“Jilbab kan budaya Arab”.
Jawaban: Julukan ini mereka populerkan dan menunjukkan justru mereka yang tidak toleransi. Ketika seseorang memilih berpakaian ala Korea lalu mempopulerkannya, mereka tidak mempermasalahkan. Coba saja ada yang berkata:
“Pulang sana ke China”
“Ini kan budaya China?”
Tentu kalimat ini adalah kalimat “rasis” dan tidak toleransi.
4. Mereka mengeneralisir bahwa orang seperti itu tidak memiliki toleransi dan rasis terhadap minoritas di Indonesia serta tidak setia NKRI.
Jawaban: Kita dapati bahwa orang keturunan Arab banyak yang mendukung dan menjadi tokoh kemerdekaan Indonesia bersama bapak Soekarno-Hatta di awal-awal kemerdekaan. Apabila kita belajar sejarah, justru yang mendukung kemerdekaan Indonesia banyak berasal dari negara-negara Arab.
Kami nukilkan tulisan Ustadz Yulian Purnama:
Jangan lupakan sejarah. Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia:
1. Portugis
2. Spanyol
3. Belanda
4. Prancis
5. Britania Raya (UK)
6. Jepang
Negara-negara yang paling awal mengakui kemerdekaan RI adalah:
1. Mesir
2. Yordania
3. Libanon
4. Suriah
5. Irak
6. Arab Saudi
7. Yaman
Semuanya negara Arab. Lah kenapa sekarang banyak orang Indonesia yang malah anti-Arab?”
(Selesai nukilan, sumber: Status FB Ustadz Yulian Purnama ditulis pada 17 Agustus 2020).
Fakta di atas bukan maksudnya menyebarkan kebencian kepada negara-negara yang pernah menjajah Indonesia. Karena sekarang kita sudah hidup damai dan sejak dahulu kala sudah banyak peperangan antar negara berlalu. Kalau kita masih dendam, tidak akan ada habisnya.
Akan tetapi, kita ingin menekankan, ada oknum yang sebenarnya anti-Islam, tetapi berkedok anti-Arab. Kami akan membahas beberapa poin berikut bahwa agama Islam itu tidak anti-total dengan budaya. Dan agama Islam di Indonesia ini sejak dahulu kala tidak pernah membuat kegaduhan dan mengancam kebudayaan serta keutuhan NKRI.
Inilah langkah yang dilakukan oleh kalangan liberal dan munafik (mengaku beragama Islam, tetapi sebenarnya tidak suka dengan Islam dan bahkan ingin menghancurkannya). Orang munafik sejak zaman dahulu kala mengaku mereka sedang melakukan kebaikan di muka bumi, padahal sedang melakukan kerusakan.
Demikian juga orang munafik di zaman ini, mereka mengaku sedang menjaga keutuhan negara dan toleransi, namun justru mereka yang tidak toleransi. Allah Ta’ala berfirman tentang orang munafik,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ﴿١١﴾ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ ﴿١٢﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِنْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman!’ Mereka menjawab, ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 11-13)
Bahaya yang lebih besar justru muncul dari orang munafik karena mereka ibarat “menggunting dalam lipatan” dan menusuk dari dalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ، كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa umatku adalah setiap munafik yang pandai bicara.” (Shahih Al-Jami’ no. 239)
Agama Islam tidak anti total dengan budaya, bahkan apabila budaya setempat tidak bertentangan dengan syariat, kita diperintahkan untuk menyesuaikan dengan budaya dan kebiasaan. Misalnya, memakai baju batik bagi laki-laki; atau memakai sarung dan kopiah ketika ke masjid bagi laki-laki.
Bahkan ada kaidah dalam agama Islam yang justru menjadikan adat dan budaya sebagai sandaran hukum pada kasus tertentu,
العادة محكمة
“Adat (kebiasaan) dapat dijadikan sandaran hukum.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menjelaskan bahwa adat akan menjadi patokan apabila syariat dan bahasa tidak menjelaskan definisi, beliau berkata,
ولهذا قال الفقهاء: الأسماء ثلاثة أنواع:
نوع يعرف حده بالشرع؛ كالصلاة والزكاة.
ونوع يعرف حده باللغة؛ كالشمس والقمر.
ونوع يعرف حده بالعرف ، كلفظ القبض، ولفظ المعروف.
“Oleh karena itu, para ahli fikih menjelaskan bahwa istilah (nama) itu ada tiga macam:
Pertama, yang didefinisikan oleh syariat; seperti shalat dan zakat.
Kedua, yang didefinisikan oleh bahasa; seperti matahari dan bulan.
Ketiga, yang didefinisikan oleh adat (budaya) seperti lafaz jual beli dan patokan berbuat baik.” (Al-Iman, hal. 224)
Apabila ada budaya dan adat yang baik serta tidak bertentangan dengan Islam, justru kita diperintahkan untuk melakukannya agar mencocoki dan bersesuaian dengan kebiasaan masyarakat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata,
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه.
“Mencocoki (menyesuaikan) kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang syuhrah (suatu yang tampil beda sekali dan mencolok, pent). Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berpakaian syuhrah. Jadi, sesuatu yang menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.” (Syarhul Mumti’, 6: 109).
Demikian, semoga bermanfaat.
sumber: muslim.or.id/23 September 2021 di WAGroup APIK DPW JAWA BARAT (postSelasa11/1/2022/mozi)